Setelah tertatih-tatih berlayar di Samudra Hindia, kapal penjelajah ringan AL Jepang Naka akhirnya mencapai Teluk Banten pada 3 April 1942. Kendati tak jadi ditarik, flagship Skadron Destroyer ke-4 AL Jepang itu mesti berlayar dengan ditemani Seiha-maru dan dikawal kapal-kapal dari Seksi ke-2 Divisi Destroyer ke-22 AL Jepang.
Naka menderita kerusakan parah setelah ditorpedo kapal selam Amerika Serikat (AS) Seawolf di Pulau Christmas, Australia. Pertempuran Pulau Christmas berlangsung tak lama setelah Jepang menduduki pulau kecil 200 mil di selatan Jawa itu.
Pulau Christmas yang saat itu dimiliki Inggris –dan pemerintahannya dipegang Straits Settlement yang berpusat di Singapura– menjadi salah satu palagan laut di awal Perang Dunia II. Selain sebagai pos pengamatan terbaik antara India-Australia, pulau seluas 100-an kilometer persegi itu punya fasilitas komunikasi nirkabel dan kaya akan fosfat. Penambangan fosfat di sana telah dilakukan sebuah perusahaan berbasis di London sejak tahun 1900 dengan mendatangkan kuli Tiongkok dan sedikit Melayu.
Fosfat amat dibutuhkan Jepang untuk bahan baku industrinya. Maka tak lama setelah menguasai Jawa, pada 14 Maret 1942 Markas Besar Tentara Kekaisaran mengeluarkan Operasi X guna merebut dan menduduki Pulau Christmas.
“IGHQ [Departemen Angkatan Laut] memutuskan untuk menjalankan [operasi] merebut pulau itu segera setelah penaklukan Jawa, dan pada 14 Maret memberikan arahan untuk merebutnya kepada panglima tertinggi Armada Gabungan. Pada 15 Maret, Laksamana Yamamoto mengeluarkan perintah kepada Komandan Satuan Tugas Selatan Laksamana Madya Kondo Nobutake untuk merebut pulau tersebut, yang kemudian memerintahkan Komandan Unit Hindia Belanda Laksamana Madya Takahashi Ibo untuk mengeksekusinya,” tulis buku yang dikompilasi dan dieditori Willem Remmelink, The Operations of the Navy in the Dutch East Indies and the Bay of Bengal.
Baca juga: Pertempuran Laut Jawa
Pasukan Pendudukan Armada Ekspedisi Selatan Kedua dengan pemimpinnya Laksamana Muda Shoji Nishimura diplot sebagai pelaksana operasi itu. Armada itu berangkat ke Pulau Christmas dari Teluk Banten pada 29 Maret pukul 19.00. Dua hari kemudian, 31 Maret pagi, armada tiba di muka Flying Fish Cove di ujung utara pulau. Setelah memuntahkan tembakan pembuka dari udara dan laut, armada itu buang sauh.
“Garnisun Inggris menyerah pukul 07.00, bahkan sebelum pendaratan selesai,” kata Tameichi Hara, komandan kapal Amatsukaze, dalam memoar yang ditulisnya bersama Fred Saito dan Roger Pineau, Japanese Destroyer Captain: Pearl Harbor, Guadalcanal, Midway –the Great Naval Battles as Seen Through Japanese Eyes.
Tiadanya perlawanan dalam pendaratan pasukan Jepang itu disebabkan bukan semata karena perimbangan kekuatan yang timpang; di mana garnisun hanya dijaga kurang dari 50 personel dan meriam 150mm buatan tahun 1940 serta beberapa meriam berukuran lebih kecil. Pada 31 Maret itu pimpinan garnisun Inggris, termasuk komandan Kapten LWT Williams, telah tewas dibunuh setelah dikudeta bawahannya asal Punjab pada 11 Maret. Para serdadu Inggris asal India Punjab yang didukung polisi Sikh itu melakukan kudeta karena termakan propaganda Jepang bahwa India akan merdeka dari Inggris. Maka ketika pasukan Jepang tiba, bendera putih sebagai tanda menyerah telah dikibarkan para serdadu Punjab.
Baca juga: Cerita Para Pembelot India
Namun, para serdadu Punjab itu tak mendapatkan apa yang mereka harapkan. Setelah pendaratan pasukan Jepang berjalan mulai pukul 09.45, mereka semua ditawan. Mereka ikut dipekerjakan untuk mengumpulkan fosfat. Setelah Jepang meninggalkan pulau itu, mereka ditawan di kamp Surabaya.
Kendati bombardir terhadap pulau telah dihentikan pukul 08.00, para personel militer Jepang tetap siaga. Naka terus berupaya mengejar sambil sesekali memuntahkan kanonnya ke arah kapal selam AS yang dilihatnya pukul 07 dengan jarak sekitar 12.000 meter 48o di pelabuhan. Bersamanya ikut pula kapal-kapal dari Seksi ke-1 Divisi Destroyer ke-9. Tak ketinggalan pesawat-pesawat intai amfibi yang diluncurkan dari Natori dan Nagara, mereka membombardir wilayah dekat permukiman di Flying Fish Cove dan kemudian baterai Inggris di Smith Point.
Sementara pengejarannya belum membuahkan hasil, Naka kembali ke pelabuhan untuk melindungi pendaratan pasukan. Dalam posisi inilah dia diserang tiga torpedo dari kapal selam AS dari jarak 1000 meter pada pukul 09.40. Naka selamat, tiga torpedo itu meleset. Naka langsung membalas serangan dengan memuntahkan peluru kedalaman (depth charges).
Kendati dianggap oleh Nishimura telah berhasil dilumpuhkan, kapal selam AS itu ternyata tak sedikitpun cedera. Kapal selam itu merupakan Seawolf, kapal terakhir dari rangkaian evakuasi Sekutu dari Jawa ke Australia. Dalam perjalanan evakuasi itu sambil berpatroli, komandan Seawolf Letnan Commander Freddy Warder mendapat perintah.
Baca juga: Celaka di Selat Sunda
“Saat berdiri di gerbang keluar selatan Selat Sunda, dekat ujung barat Jawa, Warder menerima kabar dari Wilkes untuk pergi ke selatan 200 mil ke titik kecil di Samudra Hindia yang dikenal sebagai Pulau Christmas. Jepang telah menginvasi Christmas; mungkin ada target yang bermanfaat. Warder berbelok ke selatan,” tulis Clay Blair dalam Silent Victory: The US Submarine War Against Japan.
Warder langsung membawa kapalnya menyelam dan mendekati Flying Fish Cove. Pukul 06 lewat tanggal 31 Maret, Seawolf melepaskan empat torpedonya dari jarak 1000 yard menuju Naka. Namun, semua torpedo itu gagal mengenai sasaran. Serangan serupa kembali dilancarkan Seawolf keesokan paginya dengan sasaran Natori. Namun, serangan itu kembali gagal.
Karena logistik minimnya semakin menipis, Warder tak ingin meninggalkan Pulau Christmas tanpa hasil. Maka petang 1 April dia kembali ke Flying Fish Cove. Warder yakin Jepang lebih bersiaga. Namun, dia tak ingin gagal. Di muka pelabuan, Seawolf langsung memilih targetnya. Dari sekian kapal Jepang yang berjaga, Naka yang dipilih Warder. Dari jarak 1.100 yard, Seawolf menembakkan dua torpedo terakhirnya.
Baca juga: Satu Episode Pertempuran Laut
Hampir tak ada serdadu Jepang yang melihat torpedo Seawolf itu kecuali Tameichi Hara. Dia segera membuat Amatsukaze-nya menembakkan kanonnya ke arah sasaran sembari memberitahu kapal-kapal lain.
“Pada pukul 18.05 tanggal 1 April, saya melihat di dalam air sebaris buih menakutkan melesat menuju kapal penjelajah andalan kami, Naka. Torpedo ini berlari tidak lebih dari 700 meter dengan sudut 50 derajat dari sisi kanan Naka. Kapal penjelajah itu membelok ke kanan –tapi terlambat. Torpedo menghantam bagian tengah kapal dan mematahkan tiang depan Naka. Benturan dan ledakan meninggalkan lubang setinggi lima meter di lambungnya. Ajaibnya, bagaimanapun, tidak ada satupun awak yang terbunuh,” kata Tameichi dalam memoarnya.
Seawolf berhasil memangsa Naka. Kapal-kapal perusak Jepang di sekitar Naka yang marah langsung memburunya. Kanon-kanon mereka terus memuntahkan pelurunya. Namun, Seawolf terus menyelam dan berlari menghindari kejaran lawan. Setelah Warder yakin sudah aman dari para pemburunya, Seawolf muncul ke permukaan sekira pukul 1 dini hari tanggal 2 April. Saat itu para kru Seawolf sudah di batas akhir kekuatan fisik maupun mental mereka. Seawolf akhirnya berlayar ke timur dan sampai di Australia dengan selamat.
Di sisi lain, Naka yang rusak parah akibat torpedo Seawolf memutuskan kembali ke Teluk Banten. Kabar kerusakan Naka sampai di telinga Laksamana Madya Takahashi, komandan Unit AL Jepang di Hindia Belanda, yang pada 2 April 1942 memerintahkan Seksi 2 Divisi Destroyer ke-22 menjemput dan mengawal Naka sampai ke Banten. Kapal Seiha-maru yang dipersiapkan menarik Naka gagal bertugas karena Naka masih bisa berlayar. Rombongan itu berhasil selamat mencapai Teluk Banten.