S.M. Kartosoewirjo, imam DI/TII di Jawa Barat, mengirimkan sepucuk surat kepada Kahar Muzakkar, menawarkan pimpinan Tentara Islam Indonesia (TII) di Sulawesi. Kahar menerima tawaran itu pada 20 Januari 1952.
Kahar memiliki dua komandan kepercayaan, yaitu Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri. Namun, Bahar kemudian menyerah kepada pemerintah karena menentang keputusan Kahar dalam pembentukan pasukan Momok.
Kahar membentuk empat kesatuan kawakan itu untuk meningkatkan kapasitas tempur dalam melawan pasukan Republik.
“Satuan-satuan ini diberinya nama Momok, kependekan dari Moment Mobile Komando,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan.
Baca juga: Beberapa Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar
Keempat kesatuan Momok ini masing-masing mempunyai ukuran menurut warna, yaitu merah, hitam, hijau, dan putih dengan bulan bintang dicat di atasnya. Sejak awal 1955, Kahar memimpin satuan Momok putih, sedangkan Momok hijau, hitam, dan merah dipimpin oleh Partawari, Sjamsul Bachri, dan Andi Masse.
Menurut Van Dijk, Momok berfungsi sebagai pasukan gerak cepat, dan jauh lebih baik persenjataannya ketimbang kesatuan lain. Dalam konfrontasi dengan pasukan Republik, biasanya TII yang menyerang lebih dulu, bersama dengan satuan-satuan yang hanya bersenjata golok dan pisau.
Baca juga: Pemberontakan Kahar Muzakkar
“Sesudah mereka kena pukulan pertama, satuan-satuan Momok pun mulai digerakkan, maju besar-besaran, gelombang demi gelombang,” tulis Van Dijk.
Pada tahun-tahun kemudian Kahar memiliki tiga pasukan: Momok, TII yang terdiri dari dua divisi (Divisi 40.000 yang dipimpin Bahar Mattaliu dan Divisi Hasanuddin yang dipimpin Sjamsul Bachri), dan kesatuan Permesta dipimpin oleh Gerungan yang telah diusir pasukan Republik.
Pada masa pemberontakan PRRI/Permesta, Kahar melakukan reorganisasi pasukan lagi dengan membentuk Momok baru, yaitu Momok Ansharullah (pembantu-pembantu Allah). Kahar ingin mengintegrasikan ke dalam Momok baru ini, tidak hanya Momok lama, tetapi juga bagian terbesar kedua divisi TII, yaitu Divisi 40.000 dan Divisi Hasanuddin.
Rencana itu ditentang oleh Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri. Bahar menuduh Kahar bermaksud menghancurkan TII di Sulawesi. Menurutnya, gagasan Kahar membentuk Momok Ansharullah tidak lain daripada pendahuluan rasionalisasi TII besar-besaran atau bahkan menghapuskan seluruhnya karena TII telah ketularan panyakit krisis moral yang menyebabkan daya tempurnya merosot.
Baca juga: Operasi Penyelamatan Seorang Pastor dari Kahar Muzakkar
“Hampir terjadi konflik bersenjata antara kedua pihak, yaitu Kahar Muzakkar yang memimpin pasukannya melawan Bahar Mattaliu dan komandan-komandan Divisi 40.000 yang menolak dimasukkan dalam Momok Ansharullah,” tulis Van Dijk.
Kahar kemudian memberikan pilihan kepada Bahar Mattaliu menjadi Wakil Menteri Pertahanan NII atau pergi ke luar negeri melakukan studi. Bahar Mattaliu menolak keduanya. Sedangkan Sjamsul Bachri dikirim ke luar negeri.
Pada Desember 1958, Sjamsul Bachri meninggalkan Sulawesi Selatan menuju Mesir dengan alasan studi dan melakukan hubungan dengan kelompok-kelompok di luar negeri yang bersimpati pada gerakan DI/TII.
Baca juga: Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam
Menurut Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, tujuan Kahar Muzakkar membentuk Momoc Ansharullah itu menjadi semakin jelas, ketika Sjamsul Bachri dikirim ke luar negeri untuk belajar. Dengan kepergiannya, dua di antara resimen yang sebelumnya ada di Divisi Hasanuddin dipaksa masuk Momoc di bawah komando Kahar.
“Bahar dan lain-lain mulai curiga bahwa Kahar sedang merencanakan rasionalisasi dan reorganisasinya sendiri,” tulis Barbara.
Bahar Mattaliu kemudian mengirim utusan kepada Pimpinan Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk menyampaikan pesan bahwa Bahar telah mengambil alih pimpinan atas pasukan DI/TII sebagai protes terhadap perintah Kahar Muzakkar untuk membakar habis rumah-rumah orang sipil. Ketika mendengar maksud Bahar untuk menyerah, Pimpinan Militer lalu mengumumkan amnesti.
Pada 12 September 1959, Bahar Mattaliu yang menyebut dirinya Panglima DII/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara, secara resmi menyerahkan diri dan mengimbau kepada anggota-anggota DI/TII lain untuk mengikutinya.
Pesawat tentara Republik menjatuhkan selebaran yang berisi imbauan dari Bahar Mattaliu yang memerintahkan semua perwira militer dan pejabat sipil Negara Islam di Sulawesi Selatan menyerah kepada Republik.
Baca juga: Celana Dalam Al-Baghdadi dan Kahar Muzakkar
“Selanjutnya dilarangnya anggota-anggota DI/TII masuk ke dalam Momok Ansharullah atau Permesta karena kegiatan kedua kelompok pemberontak ini bertanggung jawab akan kehancuran Sulawesi Selatan,” tulis Van Dijk.
Bahar mengeklaim, segera setelah dia menyerah, Kahar Muzakkar kehilangan kira-kira tujuh puluh persen pengikutnya. Pembelotannya merupakan kemerosotan bagi Kahar. Untuk kedua kalinya dalam masa pemberontakan DI/TII, Kahar kehilangan sebagian pengikutnya karena perselisihan internal. Di lain pihak, hal ini membebaskannya dari pesaingnya.
Baca juga: Misteri Kematian Kahar Muzakkar
“Dengan tersingkirnya Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri dia telah melepaskan dirinya dari dua lawan utamanya yang potensial,” tulis Van Dijk.
Meskipun demikian, konflik internal itu menandai keruntuhan Kahar Muzakkar. Operasi-operasi militer TNI yang lebih terorganisasi dan terkoordinasi membuat Kahar semakin terdesak. Hingga akhirnya tentara Republik menemukan tempat persembunyiannya di sekitar Sungai Lasolo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Dia tewas ditembak pada 3 Februari 1965.
“Dengan meninggalnya Kahar Muzakkar pemberontakan Darul Islam di Sulawesi Selatan benar-benar berakhir,” tulis Van Dijk. “Menteri Pertahanannya, Gerungan, ditangkap pada bulan Juli [1965], dan kemudian diadili serta ditembak mati.”