Sebagai orang kedua di jajaran intelijen Angkatan Darat, Kolonel Junus Samosir selalu melaporkan informasi penting kepada atasannya Mayjen S. Parman. Apakah itu menyangkut keamanan dalam negeri maupun isu politik nasional yang sedang hangat. Pada Oktober 1964, Junus Samosir melaporkan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada Jenderal Parman.
“Setelah laporan-laporan dari lapangan disaring, maka hasilnya disampaikan kepada Letnan Jenderal Yani pada tanggal 13 September 1965. Tetapi ketika disampaikan kepada Bung Karno, Yani mendapat teguran keras, ‘Yan, ojo phobi,’ kata Bung Karno,” seperti dicatat Payaman Simanjuntak dalam Keteladanan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Junus Samosir dan Landasan Moral Pembangunan.
Data intelijen yang dipasok Junus Samosir sehubungan dengan kedudukannya sebagai Wakil Asisten (Waas) I Menpangad. Sementara, Mayjen S. Parman menjabat Asisten I Menpangad yang mengurusi bidang intelijen (SUAD I), sedangkan Letjen Ahmad Yani menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad).
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Pada pagi 30 September 1965, Samosir kembali menghadap Parman. Dilaporkan Samosir bahwa PKI akan melancarkan tindakan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Samosir juga menyimpulkan aksi-aksi massa PKI menjelang hari itu hanyalah pengalihan untuk tujuan sebenarnya. Tapi, laporan Samosir tidak segera ditindaklanjuti oleh Parman karena masih kurangnya alat bukti. Parman hanya memberi sebuah disposisi supaya Samosir melakukan kroscek lagi. Itulah sebabnya Parman memerintahkan Samosir agar tidak meneruskannya dulu kepada A. Yani. Namun, untuk berjaga-jaga, Parman memerintahkan pimpinan Kodam V/Jaya mengirimkan regu-regu pengawal ke rumah Yani.
Beberapa jam kemudian, Samosir mencurigai sesuatu yang ganjil di markas SUAD. Sejumlah perwira, khususnya dari kalangan intelijen, tidak berada di tempat. Tidak diketahui di mana keberadaan mereka. Sementara itu, Letjen Yani memulangkan regu pengawal dari Kodam Jaya yang dikirim ke rumahnya pada sorenyaa lantaran merasa masih aman.
Menpangad Letjen Yani, menurut Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema, termasuk yang menolak penambahan pengawalan di rumahnya. Perwira teras lain yang juga menolak pengawalan yakni Deputi II/Menpangad Mayjen Soeprapto, Deputi III Mayjen M.T. Harjono, Mayjen S. Parman, dan Asisten IV Brigjen D.I. Pandjaitan. Harjono bahkan masih menghadiri Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Senayan tanpa pengawalan ajudan pada 30 September malam.
Baca juga: Kisah Para Deputi Jenderal Yani
Angkatan Darat pada akhirnya benar-benar kecolongan mengantisipasi penjagaan terhadap para perwira tingginya. Parman, Yani, dan empat jenderal lain SUAD terbunuh pada subuh 1 Oktober 1965 dalam operasi yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S). Pihak militer, terutama Angkatan Darat haqqul yakin PKI yang mendalangi gerakan tersebut.
Kendati demikian, tidak kurang cercaan dialamatkan kepada SUAD I yang dianggap gagal mencegah terjadinya penculikan para jenderal. Junus Samosir termasuk salah satu perwira yang menjadi bulan-bulanan. Seorang jenderal bahkan menudingnya menghilang pada tiga hari pertama sejak 1 Oktober 1965. Padahal, kematian Brigjen D.I. Pandjaitan yang merupakan sahabat dan kerabatnya itu sangat menohok batin Junus Samosir.
“Tidak berapa lama setelah pemakaman jenazah para Pahlawan Revolusi di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tuduhan itu telah dilontarkan kepadanya. Tuduhan itu berat karena Kolonel Junus Samosir merasakan telah berbuat cepat dan bijaksana dalam situasi yang serba tidak menentu itu,” catat Payaman Simanjuntak.
Baca juga: Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S
Tuduhan terhadap Junus Samosir diulangi lagi ketika jenderal tersebut kemudian menjabat Deputi II Pangad. Samosir sempat berbicara dari hati ke hati dengan sang jenderal. Mereka berdua saling memahami dan selaku teman lama saling merangkul dengan hangat. Si jenderal bahkan mengakui tidak dapat berbuat lebih baik bila bertukar peran dengan Samosir.
Ketika Samosir pindah tugas ke Seskoad, tuduhan terhadap dirinya kembali ditiupkan orang yang sama. Pengalaman itu terjadi setelah Seminar Hankam I pada November 1966. Kali ini berlangsung di ruang kerja Komandan Seskoad Mayjen Suwarto dan dihadiri Pangdam Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono serta Deputi II Pangad Mayjen Hartono. Di depan mereka, si jenderal yang telah menduduki posisi orang nomor dua di Angkatan Darat mengecam Samosir. Dikatakannya bahwa Samosir tidak akan diberi kedudukan komando atau jabatan vital di Angkatan Darat.
Hingga Junus Samosir berdinas di Bakin, tudingan yang sama masih suka diumbar-umbar. Keluarga pun turut menjadi korban perasaan. Istri Samosir, Pinatua br. Pandjaitan merasa tersakiti karena tudingan kepada suaminya serupa fitnah. Kesabaran Samosir rupanya ada batasnya pula.
Baca juga: D.I. Pandjaitan Cari Jodoh di Tengah Perang
Pada 25 Februari 1974, Junus Samosir atas namanya dan istrinya mengirimkan surat panjang lebar kepada jendral tersebut. Dalam suratnya, Samosir menguraikan kembali kejadian tanggal 1-3 Oktober 1965 dari sudut pandangnya. Termasuk tindakan yang dilakukannya pada hari-hari genting tersebut. Samosir juga mengenang hubungannya dengan jenderal tersebut sejak zaman laskar, menjadi tentara di Teritorium I/Bukit Barisan, dan hubungan antar-kedua keluarga di berbagai tempat. Di akhir surat, Junus Samosir dan istrinya berkesimpulan bahwa tidak ada alasan sakit hati dan balas dendam bagi jenderal tersebut untuk mendiskreditkan dirinya.
Beberapa hari kemudian, di bulan yang sama, jenderal yang bersangkutan berkunjung ke kediaman keluarga Samosir di Tebet Barat, Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu, si jenderal bersama Junus Samosir dan istrinya sama-sama saling memaafkan. Sebagai sesama penganut Kristen, sang jenderal memimpin doa memohon ampunan dan bimbingan dari Tuhan. Semua masalah dianggap selesai pada hari itu.
Dalam biografi Junus Samosir, Payaman Simanjuntak sama sekali tidak menyebut siapa nama perwira yang dimaksud. Namun, dari ciri-ciri yang disebutkan, sosok itu merujuk kepada Jenderal Maraden Panggabean. Setelah G30S, Maraden menjabat posisi Deputi II Pangad menggantikan Soeprapto yang gugur. Kemudian pada 1966, Maraden menduduki jabatan wakil panglima Angkatan Darat. Maraden mencapai puncak karier militernya ketika menjabat sebagai panglima ABRI periode 1973-1978. Seperti Junus Samosir, Maraden juga penganut Kristen. Sebelum G30S, Maraden bertugas di Kalimantan sebagai Deputi Wilayah/Panglima Komando antar Daerah (Pangkoanda) Kalimantan.
“Perwira tinggi yang menjabat Deputi II setelah G30S dan kemudian menjadi pimpinan TNI siapa lagi kalau bukan Maraden Panggabean,” ujar pengamat sejarah militer Universitas Pertahanan, Donatus Donny A. Sheyoputra kepada Historia.id.
Baca juga: Perintah Receh Jenderal Panggabean
Menurut Donny, sikap antipati Maraden kepada Junus Samosir bisa ditarik dari hubungan kekerabatannya dengan D.I. Pandjaitan, salah satu jenderal yang terbunuh dalam G30S. Maraden adalah adik ipar Pandjaitan sebab istri mereka kakak-beradik. Sementara itu, ketika peristiwa G30S terjadi di kediaman Pandjaitan, Junus Samosir adalah orang pertama yang dihubungi keluarga Pandjaitan. Namun, pertolongan kepada Pandjaitan tidak dapat diupayakan sampai dia meregang nyawa di hadapan regu tembak para penculiknya,
Dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi, Maraden Panggabean mengenang istrinya Matiur br. Tambunan jatuh pingsan saat meratapi jenazah abang iparnya, D.I. Pandjaitan, yang akan dimakamkan di TMP Kalibata. Suasana perkabungan itu, ingat Maraden sangat memilukan. Dalam peristiwa itu, Maraden sama sekali tidak menyebutkan nama Junus Samosir dalam otobiografinya yang terbit pada 1993.
Tidak ada yang tahu apakah Maraden masih memendam sinis kepada Junus Samosir. Namun, menurut Pinatua br. Pandjaitan, “fitnah itu masih kadang-kadang dimunculkan walaupun Almarhum Mayjen Samosir sudah tidak ada,” catat Payaman.
Baca juga: Derita Istri Jenderal yang Disingkirkan: Sri Suharyati Sayidiman
Junus Samosir wafat pada 11 Juni 1982. Dia tutup usia setelah delapan tahun berjuang melawan penyakit ginjal. Kepala Bakin periode 1974-1989 Jenderal Yoga Soegomo mengenangnya sebagai perwira tegas, brilian, dan memiliki hati yang lemah lembut.