Masuk Daftar
My Getplus

Mengubah Wajah Bisbol dengan Moneyball

Kisah manajer yang mencoba merevolusi bisbol. Berambisi membuat tim gurem melejit bermodalkan statistik.

Oleh: Randy Wirayudha | 31 Agt 2021
Biopik "Moneyball" mengisahkan seorang bos klub gurem yang mencoba menggegerkan dunia bisbol (Sony Pictures Entertainment)

YANKEE Stadium begitu riuh oleh puluhan ribu penonton tuan rumah pada malam 5 Oktober 2001. New York Yankees begitu superior saat menjamu Oakland Athletics di game 5 American Division League (ADL) Series 2001.

Billy Beane (diperankan Brad Pitt), General Manager Oakland A’s, memilih menyepi mendengarkan pertandingan itu lewat radio kecilnya. Dia serius dalam senyap di tribun stadion Oakland Coliseum.

Billy insyaf tim bisbolnya yang hanya ber-budget 39,7 juta dolar tentu kalah tajir dari Yankees yang bernilai 114,4 juta dolar dalam semusim. Keinginannya membangun tim juara pun terbentur keterbatasan uang belanja sang pemilik Oakland A’s, Stephen Schott (Bobby Kotick). Schott menolak belanja besar-besaran walau Billy memohon untuk bisa membeli tiga pemain pengganti yang hengkang di akhir musim: Johnny Damon, Jason Giambi, dan Jason Isringhausen. Billy pun pasrah. Ia hanya bisa blusukan mencari pemain dengan dana terbatas.

Advertising
Advertising

Baca juga: Konflik Kehidupan Roberto Durán dalam Hands of Stone

Pandangan Billy terhadap bisbol tiba-tiba berubah setelah bertandang ke markas tim Cleveland Indians. Billy ke sana mulanya ingin bertemu GM Indians Mark Shapiro (Reed Diamond) guna bernegosiasi mendapatkan beberapa pemain, namun gagal.

Kendati begitu, pertemuannya dengan Peter Brand (Jonah Hill) benar-benar mengubah pendekatan Billy terhadap bisbol dan itu menjadi fokus sutradara Bennett Miller dalam menggarap Moneyball. Film biopik olahraga ini diangkat dari kisah nyata Billy ditambah penguatan dari biografi tim Oakland A’s karya Michael Lewis berjudul Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game. Film ini mengisahkan tentang sebuah tim gurem yang hendak bangkit bermodalkan sejumlah perhitungan statistik.

David Justice, Scott Hatteberg, dan Chad Bradford, pemain direkrut dengan metode statistik (Sony Pictures Entertainment)

Cerita pun berganti ke adegan Billy pulang dari markas Indians. Alih-alih merekrut pemain, ia justru menjadikan Peter staf khususnya. Billy ingin lulusan anyar jurusan ekonomi Universitas Yale itu membangun tim berdasarkan hitungan kode statistik yang sejak 1970-an diperkenalkan pakar statistik Bill James namun tak pernah jadi perhatian tim-tim bisbol Amerika.

“Ini kode-kode yang saya tulis untuk proyek tahunan. Kode-kode ini membangun pengetahuan untuk menilai pemain. Semuanya dirangkum menjadi satu angka. Menggunakan statistik untuk membaca mereka dan kita akan menemukan nilai pemain yang tak pernah bisa dilihat orang lain. Orang lain menilai dengan alasan bias dan hanya dengan perasaan: umur, penampilan fisik, kepribadian. Bill James dan matematikanya melangkahi itu semua,” kata Peter.

Baca juga: Kisah Matematikawan yang Dipandang Sebelah Mata

Dengan bantuan Peter, Billy tak hanya mendapat belasan tapi sampai 20 ribu calon pemain potensial yang sesuai anggaran. Peter mencontohkan reliever (pelempar cadangan) bernama Chad Bradford (Casey Bond). Bradford diremehkan banyak scout (pemandu bakat) hanya karena gaya melemparnya yang aneh. Namun di mata Peter, Bradford adalah pelempar yang efektif jika menengok catatan statistiknya.

Billy yang terkesan pun menjalankan pendekatan radikal dalam membangun tim musim barunya. Selain Braford, Billy mendatangkan outfielder veteran, David Justice (Stephen Bishop), dan catcher yang bermasalah pada syaraf di tangannya, Scott Hatteberg (Chris Pratt).

Pelatih Art Howe (kiri) & kepala scout Grady Fuson yang menentang metode statistik "moneyball" (Sony Pictures Entertainment)

“Revolusi” Billy sayangnya ditentang sekumpulan scout senior Oakland A’s. Ketegangan pun terjadi hingga berujung pada pemecatan ketua scout Grady Fuson (Ken Medlock). Grady tak habis pikir Billy memilih percaya membangun tim hanya berdasarkan komputer dan angka ketimbang pengalaman dan intuisi tim scout-nya.

Masalah tak berhenti sampai di situ. Kepala pelatih Art Howe (Philip Seymour Hoffman) menolak menurunkan para pemain baru itu. Perang dingin pun terjadi dan Billy terpaksa menukar sejumlah pemain langganan Howe agar para rekrutan barunya bisa dimainkan.

Baca juga: Race, Drama Atlet Kulit Hitam di Pentas Olahraga Nazi

Billy juga percaya takhayul bahwa jika ia menonton langsung pertandingan, timnya akan kalah. Maka itu ia tak pernah menyaksikan langsung laga. Kala timnya bertanding, ia memilih ke luar stadion untuk putrinya, Casey Beane (Kerris Dorsey). Maklum Billy hanya punya jatah bertemu seminggu sekali setelah cerai dari istrinya, Sharon Beane (Robin Wright).

Tanpa dinyana, keputusan Billy tepat. Setelah Howe mengalah, Oakland A’s justru memetik rekor dalam sejarah bisbol Amerika dengan 20 kemenangan beruntun. Pendekatan “moneyball” itu bahkan menarik perhatian pemilik klub Boston Red Sox, John W. Henry (Arliss Howard). Henry mengajukan tawaran 12,5 juta dolar dan jika diterima, Billy akan jadi general manager (GM) dengan bayaran tertinggi dalam sejarah bisbol Amerika.

Apakah Billy dengan “moneyball”-nya benar-benar bisa mengubah wajah bisbol? Saksikan keseruan lanjutan filmnya di aplikasi daring Mola TV.

Tim Oakland A's yang mencetak 20 kemenangan beruntun sebagai imbas metode statistik "moneyball" (Sony Pictures Entertainment)

Uang Bukan Segalanya

Sebagaimana tone film yang cukup bervariasi antara terang dan muram, music scoring film ini pun cukup berwarna. Gemuruh penonton di stadion juga dihadirkan. Komposer Mychael Danna mengiringi beberapa adegan sang tokoh utama, Billy Beane, dengan variasi melodi mengharukan, lagu pop bertajuk ‘The Show” yang dipopulerkan biduan Lenka, serta musik instrumen khas 1980-an.

Iringan instrumen 1980-an itu cukup penting karena sutradara Miller membuat alur dramanya maju-mundur ke masa Billy masih jadi pemain. Di masa lalu itu Billy pernah membuat keputusan terbesar dalam hidupnya berdasarkan uang dan ia tak ingin mengulanginya lagi.

“Dia adalah orang yang pernah dinilai begitu tinggi semasa jadi pemain dan sekarang bekerja sebagai GM di tim papan bawah. Terdapat jurang yang begitu besar bagi tim-tim seperti ini, di mana mereka takkan pernah bisa setara, mereka takkan pernah bisa kompetitif,” kata Brad Pitt, si pemeran utama, kepada National Public Radio, 13 Februari 2012.

Baca juga: Membangkitkan Kasti yang Mati Suri

Kolase adegan Billy Beane yang mengombinasikan metode moneyball dengan pendekatan personal (Sony Pictures Entertainment)

Di situlah Beane ingin mengubah peta perbisbolan Amerika. Kisahnya yang didramatisir dalam Moneyball juga menggambarkan pembuktian bahwa bahwa uang bukan segalanya untuk menang sehingga tim beranggaran kecil sanggup bersaing dengan tim kaya.

Sang sineas juga menyajikan banyak hal yang jarang diketahui penonton terkait bagaimana intensnya negosiasi di balik layar dari setiap perekrutan pemain. Hal lainnya, penggambaran bahwa metode “moneyball” tak serta-merta bisa membuahkan kemenangan instan. Selain perhitungan statistik, dibutuhkan pula pendekatan personal antara pelatih atau GM kepada pemain. Hal itu sebelumnya sangat jarang terjadi di tim-tim bisbol Amerika. Ini tak pernah didapatkan Billy semasa berkarier sebagai pemain profesional.

Belajar dari Masa Lalu

Billy lahir di Orlando, Florida pada 29 Maret 1962 dengan nama lahir William Lamar Beane III. Sejak kecil sudah mengenal bisbol dari ayahnya yang seorang perwira Angkatan Laut Amerika.

Billy berbakat dalam American football, basket, dan bisbol. Namun, Billy kemudian fokus pada bisbol. Ia bahkan sudah masuk tim utama sekolahnya di tahun ajaran pertamanya. Menjelang lulus, banyak tawaran dari tim-tim bisbol profesional mendatanginya lantaran Billy punya lima bakat alamiah dalam bisbol: running, fielding, throwing, hitting, dan hitting hard. Di sisi lain, Billy juga mendapat tawaran beasiswa kuliah sambil bermain untuk tim kampus Universitas Stanford.

“Billy Beane adalah bintang olahraga SMA Mount Carmel, di mana ia memimpin tim sekolahnya memenangi kejuaraan bisbol dan basket. Dia sempat ditawari beasiswa Universitas Stanford sebelum datang tawaran dari tim kami,” kata eks-GM Boston Red Sox, Lou Gorman, dalam otobiografinya, High and Inside: My Life in the Front Offices of Baseball.

Baca juga: Kurt Russell dari Bisbol ke Hollywood

Pada 1980, datang pula tawaran dari New York Mets. Nilai kontraknya terbilang sangat besar untuk seorang pemain semuda Billy, yakni 125 ribu dolar (setara 392 ribu dolar saat ini atau Rp.5,2 miliar dalam kurs 2020). Ibunya cenderung menginginkan Billy menerima beasiswa Stanford, sementara sang ayah mempercayakan keputusan itu pada putranya sendiri.

“Suatu hari ayahnya menantang Billy adu panco. Billy sempat terkejut walau kemudian Billy yang menang. Setelahnya sang ayah mengatakan pada Billy bahwa jika ia sudah berani mengalahkan ayahnya dalam adu panco, maka ia sudah cukup dewasa untuk menentukan keputusan dalam hidupnya. Tawaran dari Mets adalah keputusan besar pertama bagi Billy,” tulis Michael Lewis dalam Moneyball: The Art of Winning an Unfair Game.

Sosok asli William Lamar 'Billy' Beane III (kanan) yang diperankan aktor William Bradley 'Brad' Pitt (Sony Pictures Entertainment/mlb.com)

Selain nilai kontrak yang menggiurkan, rayuan scout Mets Roger Jongerwaard begitu manis dengan banyak hal yang dijanjikan. Billy pun luluh untuk menandatangani kontrak dengan Mets di jendela transfer Major League Baseball (MLB) 1980.

“New York adalah dunia baru baginya. Seumur hidup ia hampir tak pernah meninggalkan San Diego. Saat penyambutan pemain baru, Billy tercengang mendapat sapaan para pemain besar: Lee Mazzilli, Mookie Wilson, Wally Backman. Ia mengatakan: ‘Saya akan bermain dengan mereka. Mets seperti tempat keramat dan saya ada di dalamnya. Mimpi itu jadi nyata,’” kata Lewis.

Baca juga: Rush Memicu Adrenalin hingga Garis Finis

Namun ekspektasinya masih jauh dari realita. Billy tak langung diturunkan di tim utama. Mets memutuskan Billy lebih dulu beradaptasi di tim satelit yang bermain di liga bawah, seperti Little Fall Mets, lalu Lynchburg Mets, dan Jackson Mets. Billy baru dipromosikan ke tim utama Mets pada musim 1984 walau penampilannya justru mulai menurun dan tak bisa mencapai ekspektasi terdahulu.

“Beane tak pernah sukses di liga kecil. Angka rata-rata batting-nya (memukul) hanya .210 di musim pertama dan .211 pada 1982. Beberapa tahun kemudian Beane memang muncul di tim Mets tapi akhirnya ditukar dengan pemain Minnesota Twins, Tim Teufel,” ungkap Brett Topel dan Greg W. Prince dalam Mount Rushmore of the New York Mets.

Billy Beane semasa di Mets (kiri) & Oakland Athletics (jeffreykeeten.com/Oakland A's)

Semenjak “dibuang” Mets ke Twins, Billy jadi pribadi yang temperamental. Kegagalan demi kegagalan dalam memukul atau menangkap bola memperparah rasa frustrasinya. Mentalnya jatuh menghujam tanah dan oleh karenanya Billy tak pernah bisa bangkit lagi meski kemudian terus berganti tim dari Twins ke Detroit Tigers pada 1988 hingga Oakland A’s pada 1989.

Walau merasa kariernya di lapangan habis, Billy belum mau jauh dari bisbol. Pada April 1990, ia mendatangi GM Oakland A’s Richard Lynn ‘Sandy’ Alderson dan melamar jadi scout untuk Oakland A’s. Di bawah Schott sang pemilik baru, Alderson diminta membangun tim dengan dana terbatas. Dari Alderson pula Billy, yang kemudian naik menjadi asisten GM, belajar statistik dalam bisbol yang dikenal dengan istilah “sabermetrics”.

Baca juga: Rasisme Memuakkan Klub Israel dalam Forever Pure

Sabermetrics atau SABRmetrics adalah hitung-hitungan matematika dan data statistik yang dipopulerkan Bill James sejak 1971. Hal ini juga menjadi pelurusan fakta yang digambarkan dalam Moneyball bahwa Billy baru mengenal sabermetric dari seorang analis muda Peter Brand pada 2002.

“Sebenarnya Aldersonlah yang memperkenalkan sabermetrics di kepengurusan A’s sejak pertengahan 1980-an dan kemudian mengajarkan itu kepada Beane pada pertengahan 1990-an,” tulis Benjamin Baumer dan Andrew Zimbalist dalam The Sabermetric Revolution: Assessing the Growth of Analytics in Baseball.

Figur George William 'Bill' James (kiri) & Richard Lynch 'Sandy' Alderson (mlb.com)

Ketika menggantikan Alderson sebagai GM Oakland A’s pada 17 Oktober 1997, Billy sudah menerapkan sabermetrics untuk merekrut para pemain baru. Ia dibantu Paul DePodesta, mantan pemain Cleveland Indians yang direkrut Billy jadi asisten GM. Tokoh Peter Brand dalam Moneyball merupakan penggambaran sosok DePodesta yang didramatisir.

Keberhasilan Billy dengan sabermetrics-nya terjadi di musim 2002 walau ia harus puas sekadar mencetak sejarah bisbol dengan 20 kemenangan beruntun. Meski begitu, berkat Billy pula sejumlah petinggi tim bisbol lain mau membuka mata lebih lebar soal sabermetrics yang sebelumnya disepelekan. Bos Red Sox bahkan sampai merekrut “Bapak Sabremetrics” Bill James ke jajaran timnya pada 2003.

Baca juga: Lima Gebrakan Revolusioner Wenger

Billy juga memanfaatkan data statistik pemain setelah terinspirasi dua manajer tersukses dalam sepakbola Inggris, Sir Alex Ferguson (Manchester United) dan Arsène Wenger (Arsenal). Billy sangat terkesan dengan filosofi keduanya, terutama Wenger, dalam memantau data statistik pemain berprospek cerah yang kemudian diasah jadi pemain bintang yang sangat bernilai.

“Wenger bertahun-tahun mampu menemukan pemain muda atau bakat mentah, lalu dikembangkan dan dijual dengan keuntungan besar. Emmanuel Adebayor, Nicolas Anelka, Samir Nasri, Marc Overmars, Emmanuel Petit, Robin van Persie, dan Kolo Touré hanya sebagian dari bukti metode ekonomi dan stastistik Wenger. Filosofi Beane juga bergantung pada statistik untuk mengidentifikasi talenta potensial, bertaruh pada pengembangannya dan dijual mahal. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Moneyball Effect,” tulis John Cross dalam The Inside Story of Arsenal Under Wenger.

Manajer legendaris Arsène Charles Ernest Wenger (kiri) yang diidolakan Billy Beane (premierlague.com/passionmlb.com)

Deskripsi Film:

Judul: Moneyball | Sutradara: Bennett Miller | Produser: Michael De Luca, Rachael Horovitz, Brad Pitt | Pemain: Brad Pitt, Jonah Hill, Chris Pratt, Philip Seymour Hoffman, Reed Diamond, Casey Bond, Kerris Dorsey, Bobby Kotick, Robin Wright, Stephen Bishop | Produksi: Columbia Pictures, Scott Rudin Productions, Michael De Luca Productions, Rachael Horovitz Productions, Plan B Entertainment | Distributor: Sony Pictures Releasing |Genre: Biopik Olahraga | Durasi: 133 menit | Rilis: 9 September 2011, Mola TV

TAG

molatv

ARTIKEL TERKAIT

Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Adu Taktik Sniper di Front Timur Kala Prajurit TNI Memenuhi Panggilan Tugas Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan Iniesta, Pahlawan dari La Masia Angkringan Punya Cerita Gold dan Kisah Penipuan Tambang Emas di Kalimantan Petualangan Gereget Pria Berusia 100 Tahun Oslo dan Perdamaian Israel-Palestina