SEBUAH vas keramik tergeletak di balai bambu, seperti tak berharga. Sepintas dari penglihatannya, itu keramik antik yang cukup berharga peninggalan Dinasti Yuan (1271-1368) Tiongkok. “Barang berharga digeletakin gitu aja,” pikir Musa Mazmuri, biasa dipangginl Bang Abeng, berusia 56 tahun.
Sebagai pecinta dan pedagang barang antik sejak 1985, Abeng kepincut keramik antik itu. Dia perhatikan dengan saksama bentuk, warna, dan beratnya; sampai yakin keramik antik itu asli bukan palsu. Lagi pula, pikirnya, pemilik keramik itu seorang nelayan yang tidak mungkin berbohong dengan sangat meyakinkan. Keramik itu pun dia beli, tapi sesampainya di hotel, hatinya gamang. Dia mulai berpikir kalau sudah kena tipu. Untuk memastikan, dia tanya temannya sesama pedagang barang antik. Ternyata benar, keramik itu palsu.
“Waktu itu beli dari orang Kepulauan Daek di Sulawesi,” kata Abeng. “Kalau main barang antik, tipu-tipu, itu biasa. Orang yang main antik, kalau mengaku belum pernah kena tipu pasti bohong. Polanya juga macam-macam, seperti pengalaman saya, mana nyangka orang desa, rumahnya terpencil, ternyata jago tipu.”
Abeng ke rumah si nelayan karena ada seseorang yang datang ke tokonya di daerah Pinang. Dia bercerita kalau ada barang antik bagus yang dimiliki seorang nelayan. Si nelayan lantas bercerita dengan sangat meyakinkan kalau vas keramik itu diperolehnya di laut, tersangkut di jala miliknya. Modus seperti itu, menurut Abeng, biasa dipakai para penipu barang antik. Berkomplot, yang satu menjual cerita kalau telah ditemukan barang antik bagus, dan satunya lagi berperan sebagai si pemilik. “Lenyap duit saya lima juta,” katanya.
Berhasil melego pot bunga antik milik kelurganya dengan harga lumayan, Abeng lalu mulai hunting (berburu) barangbarang antik. Awalnya tetangga sekitar dia satroni, lama-lama merambah Bekasi, Bogor, Cirebon, dan berbagai pelosok pulau Jawa.
Bahkan, Abeng sampai ke luar pulau Jawa. “Sekitar tahun 1996 saya pergi ke Tanjung Pinang, Riau. Dari Tanjung Pinang saya menelusuri kepulauan-kepulauan kecil sekitar Riau dengan kapal feri atau speedboat. Lalu mulai merambah daerah kepulauan Natuna dan sekitarnya dengan menumpang kapal Pelni.”
Abeng menceritakan, “Sangat menarik menyaksikan penduduk kepulauan mencari barang-barang antik dengan sebilah besi yang dicucukkan ke tanah, lokasi yang diperkirakan ada tertimbun barang-barang keramik antik Tiongkok. Kalau terdengar atau merasakan bunyi benda tersentuh, pelan-pelan mereka mulai menggali dengan tangan atau alat sederhana lainnya untuk mengeluarkan barang-barang antik yang umumnya berupa porselen, keramik Tiongkok.”
Menurut Abeng, terkadang ada unsur keberuntungan dalam mendapatkan barang antik. Misalnya, sama-sama mencari di satu titik yang disinyalir banyak terpendam keramik antik. Orang yang berjam-jam menggali tidak ketemu apa-apa, tapi saat seorang ibu yang tidak sengaja lewat, lalu tiba-tiba saja jatuh karena tersandung bagian keramik antik yang terpendam. Padahal di titik itu, puluhan orang sudah mencarinya.
“Barang antik berupa keramik Tiongkok masih banyak tersebar di sekitar perairan laut Jawa, Cirebon, Karawang, Tuban, dan lain-lain. Juga ada di sekitar kepulauan Natuna, Laut Tiongkok Selatan, dan Sulawesi Selatan, daerah-daerah tersebut merupakan jalur lintas perdagangan zaman dahulu”.
Saat ini, Abeng memburu keramik Tiongkok dari zaman dinasti Yuan, glasir biru putih berbentuk teko (ewer) dan pot bunga kercil (vase), juga vas bunga langka glasir merah (red underglaze).
“Keramik tertua yang pernah saya dapatkan adalah keramik dari dinasti Tang (618-906), yang diketemukan di kepulauan Belitung.” Abeng menambahkan, “Saya adalah salah satu orang yang pertama mendapatkannya dari nelayan setempat, sebelum ditangani oleh pemerintah dan pihak swasta asing yang kemudian mendapat izin untuk mengangkat, mengambil harta karun yang terpendam dalam bangkai kapal yang tenggelam di perairan laut Belitung.”
Belajar di lapangan
Menurut Abeng, main barang antik harus banyak belajar, terutama terjun langsung di lapangan. “Pertama-tama dulu, waktu belajar keramik saya menyatroni Museum Seni Rupa dan Keramik, main ke toko-toko barang antik, belajar sama yang punya toko. Barang antik banyak macamnya, ada logam, gerabah, porselen, tidak mungkin menguasai semuanya, harus milih spesialisasi. Walau pun rata-rata kalau yang pilih fokus keramik, sedikitsedikit juga pasti ngerti logam. Begitu juga sebaliknya,” tuturnya.
Abeng butuh waktu sekira tiga tahun untuk mengerti mana keramik palsu dan mana keramik asli. Seorang pemain antik yang fokus di keramik, menurutnya harus paham benar ciri-ciri khas sebuah keramik asli. Dalam artian dia harus tahu, keramik Tiongkok zaman Dinasti Yuan seperti apa warnanya, motif khasnya, proporsi beratnya, teknik glasirnya, bentuknya, dan lain-lain. “Jika ingin membeli barang antik, jangan sekadar berpatokan pada buku saja,” saran Abeng.
Abeng lalu menjelaskan spesifikasi keramik keluaran masing-masing dinasti yang pernah berkuasa di Tiongkok. Pada masa Dinasti Tang dan Dinasti Song antara abad ke-10 dan awal abad ke-13, teknologi pembuatan keramik porselen terus mengalami perkembangan.
Porselen Tangsancai atau Porselen Tiga Warna Dinasti Tang justru adalah karya kerajinan industri porselen berwarna yang lahir pada masa itu. Porselen Tiga Warna menyerap kelebihan seni lukisan dan seni rupa patung tradisional Tiongkok. Corak dekorasinya berwarna tiga: merah, hijau, dan putih. Setelah dibakar, ketiga warna itu berbaur dan membentuk banyak warna lainnya. Dalam Porselen Tangsancai terlihat tidak hanya warna aslinya, tapi juga warna yang majemuk dan inilah ciri khas Porselen Tangsancai.
Pada masa Dinasti Yuan lahir keramik biru putih –ketika itu warna biru dianggap sakral–yang kemudian menjadi keramik Tiongkok legendaris hingga saat ini. Pembuatan keramik Tiongkok warna biru putih itu pesanan raja-raja Persia pada abad ke-14. Namun, ciri khas keramik Dinasti Yuan, warna birunya agak pudar, sedangkan saat masuk periode Ming (1638-1644) dan Ching (1644-1911) warna biru sudah sangat terang dan cerah, karena sudah menggunakan zat pewarna kimia buatan.
“Keramik Ming dan Ching itu warnanya cerah-cerah. Warna biru pudar pada masa Yuan, karena pada zaman itu teknik pewarnaan masih sangat tradisional. Warna biru didapat dari logam-logam yang dilebur, hasilnya biasa kita sebut cobalt blue, itu diekspor dari Persia,” papar Abeng.
Abeng melanjutkan, ada banyak hal yang menentukan kualitas harga sebuah keramik antik. Keramik keluaran Dinasti Yuan cukup banyak dicari dan berharga cukup mahal. Vas bunga kecil setinggi 30 centimeter bisa dihargai ratusan juta lebih. Dengan syarat asli, dan kondisi masih bagus. Selain itu, pencapaian awal perkembangan keramik pada satu era juga cukup menentukan. Misalnya, keramik warna biru putih yang kali pertama ditemukan masa Dinasti Yuan, akan selalu lebih mahal dari keramik biru putih zaman Dinasti Ming atau Ching.
Hal lain yang menentukan harga keramik antik adalah, soal cap stempel. Kalau ada cap keluaran dinasti apa, dan ditambah cap kerajaan, dalam artian keramik milik keluarga kerajaan, pasti harganya mahal. Selain cap stempel, keramik kerajaan memiliki ciri khas tersendiri.
“Gambar naga, kalau keramik kerajaan pasti jarinya lima. Sedang yang untuk umum, jarinya cuma empat,” kata Abeng. “Tapi kita juga tidak bisa langsung percaya bagitu saja, biar ada stempel cap kita harus teliti, selalu ada kemungkinan itu barang palsu.”
Boleh meniru, jangan menipu
Dahulu di Taiwan ada seorang pembuat keramik antik palsu yang sangat hebat. Keramik antik palsu buatannya nyaris sempurna, jangankan orang awam, kolektor seni pun banyak tertipu. “Sudah almarhum, tapi keramik antik palsu buatannya memang nyaris sempurna,” kata Abeng. “Kolektor-kolektor keramik banyak yang tertipu. Itu kenapa saya bilang jangan selalu berpatokan pada buku, tapi harus belajar terjun langsung. Saya bahkan bergaul dengan pemalsu-pemalsu itu, jadi bisa tahu garapan-garapan mereka. Saya bisa tahu ini yang malsu orang dalam atau orang luar negri.”
Sebenarnya, meniru karya keramik kuno dibolehkan. Kegiatan meniru keramik Tiongkok sudah dilakukan pada abad ke-9. Ini terlihat pada sejumlah gerabah yang meniru bentuk jambangan, tempayan, dan teko Tiongkok. Sejarah juga mencatat, lahirnya keramik Jepang dan Persia juga berawal dari kegiatan meniru keramik Tiongkok.
Pada 29 November-21 Desember 1983, Himpunan Keramik Indonesia memamerkan sejumlah keramik aspal (asli tapi palsu) di Balai Seni Rupa Jakarta. Tak jelas siapa yang memulai; melihat mahalnya keramik kuno dan banyaknya peminat barang antik itu, beberapa anggota Himpunan punya usul: bagaimana seandainya dibikin tiruan dari yang kuno itu.
Pada 1977, Joop Ave, anggota Himpunan yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Pariwisata, memesan duplikat jambangan anggur model Tiongkok, lengkap dengan gambar rangkaian bunga botan, kepada pusat keramik Dinoyo, Malang, Jawa Timur. Jambangan itu menjadi salah satu karya tiruan yang dipamerkan. Bagi awam tentu sulit membedakan barang asli dengan yang asli tapi palsu. Tapi, asal pembuat atau penjual tidak bohong, dan keramik tiruan memang dijual jauh di bawah harga yang asli, justru membantu pencinta keramik bisa memiliki keramik yang disukainya dengan murah, dan pengrajin mendapat keterampilan baru.