Ketika Arsitek Belanda Masuk Islam
Arsitek terkemuka Belanda memutuskan masuk Islam. Masjid rancangannya di Bandung masih berdiri hingga kini. Dimakamkan sebagai Katolik.
Pesulap sohor Deddy Corbuzier mengumumkan telah memeluk agama Islam pada 21 Juni 2019. Sebelumnya dia penganut Katolik. Dia berkeputusan pindah agama setelah mempelajari Islam selama hampir setahun. Kabar itu memperoleh beragam tanggapan dari khalayak.
Tanggapan itu mirip dengan sikap orang-orang pada masa kolonial terhadap seorang Eropa yang masuk agama Islam. Tidak banyak orang Eropa masuk Islam di Hindia Belanda. Dua nama dapat menjadi contoh dari yang sedikit itu: Snouck Hurgronje dan Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker.
Nama pertama sudah begitu sohor. Kisahnya kontroversial. Snouck seorang mata-mata pemerintah kolonial, mantan penganut Protestan, kemudian menjadi seorang muslim. Dia fasih beragam bahasa dan ilmu-ilmu humaniora sehingga berhasil duduk di kursi profesor Universitas Leiden.
Nama kedua tak begitu sohor seperti Snouck. Sedikit orang tahu kisahnya. C.P. Wolff Schoemaker seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Dia memberi kota Bandung wajah modern nan apik melalui bangunan rancangannya sepanjang periode 1920—1930-an.
C.P. Schoemaker lahir di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882. Ayahnya bernama Jan Prosper (J.P.) Schoemaker, seorang pensiunan kapten Koninklijk Nederlansch Indisch Leger (KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
Dihormati mahasiswa, dicibir teman
J.P. Schoemaker penganut Katolik dan sangat mengkhawatirkan perkembangan Islam di Hindia Belanda. Menurutnya, pemerintah kolonial lalai menyikapi perkembangan itu. Dia sampaikan kritiknya kepada pemerintah melalui buku Het Aziatische Gevaar pada 1908.
Beberapa tahun kemudian, kekhawatiran J.P. Schoemaker justru menimpa keluarganya sendiri. Anak kandungnya malah menganut Islam. “Dengan alasan yang tidak diketahui, Wolff Schoemaker keluar dari agama Kristen Katolik sekitar 1915 dan menjadi seorang muslim,” tulis C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis Modern Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker.
Salmon Priaji Martana menyebut kepindahan agama Schoemaker memiliki dua versi cerita. “Ketertarikannya pada kebudayaan Islam sudah dimulai semenjak menjabat direktur di Gemeentewerken Batavia,” tulis Salmon dalam Wolff Schoemaker Karya dan Lingkup Dunia Sekelilingnya. Gemeenterwerken adalah Dinas Pekerjaan Umum. Schoemaker menjabat direktur bagian Batavia selama 1914—1917.
Versi cerita kedua menuturkan bahwa mojang Priangan menjadi penyebab kepindahan agama Schoemaker. “Schoemaker berpindah agama Islam semenjak pernikahannya dengan seorang mojang Priangan,” catat Salmon. Tetapi keterangan ini meragukan.
Dullemen mencatat Schoemaker menikah lima kali. Empat istrinya orang Belanda dan satu lainnya orang Tionghoa. Tidak ada catatan tentang istri Schoemaker dari golongan anak negeri.
Keputusan Schoemaker menjadi seorang muslim tersebar luas baru pada 1930-an. Ketika itu dia telah menjabat sebagai asisten profesor dalam bidang sejarah arsitektur dan ornamen di Technische Hoogeschool Bandoeng (THB, sekarang Institut Teknologi Bandung). Dia mulai menggunakan nama Kemal untuk menunjukkan identitas Muslim.
Karuan orang-orang di sekitar Schoemaker mulai bereaksi. Para mahasiswanya dari kalangan anak negeri menaruh hormat atas keputusan Schoemaker masuk Islam. Schoemaker seorang berpendidikan tinggi, mempunyai reputasi bagus sebagai arsitek, dan berselera tinggi terhadap seni dan budaya.
Baca juga: Lebaran di Mata Kolonialis
Maka keputusan Schoemaker menjadi muslim dianggap turut mengangkat marwah Islam di mata kolonialis. Lazim pada masa itu, kolonialis memandang Islam sebagai agama terbelakang dan umat muslim adalah orang-orang anti-ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, rekan-rekan kerja Schoemaker justru mencibirnya. “Beberapa orang menganggap langkah ini sangat tidak umum dan diasosiasikan dengan penurunan status sosial,” ungkap Dullemen.
Kritik untuk Umat Muslim
Tetapi Schoemaker enggan repot dengan pendapat orang. Dia terus giat menggali Islam dan bergabung ke organisasi Islam seperti Persatoean Islam Barat di Bandung. Atas nama organisasi itulah dia menulis sebuah pengantar di buku Cultuur Islam karya Mohammad Natsir (kelak menjadi tokoh Masyumi) pada 1937.
Dalam pengantar buku termaksud, Schoemaker memuji Islam sebagai pendorong maujudnya semangat dan peradaban ilmiah di Eropa pada abad pertengahan. Menurutnya, orang-orang Eropa berutang kepada ikhtiar filsuf dan ilmuan muslim dalam mengkaji kembali karya-karya pemikir Yunani dan Romawi di bidang filsafat, kebudayaan, dan sastra.
“Semangat ini dengan lekas masuk ke benua Eropa (terutama dengan melalui Spanyol) dan terus mendirikan persediaan untuk Kebangkitan (Renaissance) pada akhir-akhir Abad Pertengahan,” tulis Schoemaker.
Baca juga: Sandyakala Andalusia
Meski memuji peranan Islam di Eropa, Schoemaker juga mengakui adanya degradasi peradaban pada sebagian besar umat muslim pada abad ke-20.
“Kemunduran Kebudayaan Islam yang tadinya amat luhur itu, antara lain, disebabkan oleh percampuran bangsa, dan karena orang-orang Islam di zaman belakangan itu tidak sanggup menjalankan semua ajaran agama yang semulia ini, dengan sempurna, yang pada hakikatnya amat keras mendorong kepada kemajuan dan kemenangan dunia,” ungkap Schoemaker.
Salah satu degradasi peradaban Islam tampak pula dalam bidang arsitektur. Schoemaker mengupasnya secara terang dalam artikelnya di buku Cultuur Islam. Bagi Schoemaker, arsitektur menggambarkan peradaban suatu kaum. Tinggi rendahnya peradaban tersua dalam gagasan dan bentuk arsitektur bangunan suatu kaum.
“Segenap kedudukan ruhani salah satu bangsa, pemandangan hidupnya, cita-citanya, dapat dirupakan dalam bangun-bangunan yang didirikannya. Arsitektur ialah salah satu kelahiran kekuatan-kekuatan ruhani yang hidup dalam kalangan satu kaum,” terang Schoemaker.
Merancang Masjid
Schoemaker berani mengatakan arsitektur di kalangan umat Islam tengah merosot setelah melihat bentuk-bentuk masjid di Hindia Belanda.
“Demikianlan di seluruh tanah Jawa ini, boleh dikatakan tidak ada satu pun masjid yang menarik perhatian dan membangunkan semangat. Tidak ada satu pun yang mempunyai arti sebagai buah arsitektur, baik tentang bangunnya ataupun tentang buatan bagian-bagiannya yang terkecil,” demikian Schoemaker memberikan penilaian.
Lima tahun sebelum kritik Schoemaker muncul di buku Cultuur Islam, dia telah merancang sebuah masjid berdasarkan gagasannya tentang arsitektur Islam. Masjid ini terletak di Nijlandweg (sekarang Jalan Cipaganti), Bandung.
Masjid ini menampilkan pengaruh Arab, Eropa, dan tradisional Hindia Belanda. Pengaruh Arab tersua dalam lengkung tapal kuda di pintu masuk dan hiasannya, yaitu keramik masjid dengan teks huruf Arab.
Baca juga: Doa Silaban Ketika Merancang Masjid Istiqlal
Pengaruh Eropa muncul dalam denah simetris berbentuk salib Yunani. Gaya ini biasa Schoemaker pakai dalam bangunan rancangannya seperti Gereja Bethel dan Jaarbeurs. Bentuk atap masjid menyerupai atap gereja Bethel dengan bertumpu pada konstruksi baja modern. Konstruksinya sangat mirip dengan pendopo Jawa.
Inilah masjid pertama dan terakhir rancangan Schoemaker. Dia tak pernah lagi mewujudkan gagasannya tentang bagaimana seharusnya arsitektur Islam. Dia lebih banyak merancang bangunan swasta untuk fungsi profan.
Sebagai seorang Belanda muslim, Schoemaker mempunyai aspek hidup yang unik. Dia telah menggali ajaran Islam bertahun-tahun dan akhirnya menunaikan haji pada 1938. Dia mungkin mengetahui adanya larangan dalam Islam menampilkan lukisan atau patung berfigur manusia dan binatang. Tetapi dia masih membuatnya hingga akhir hayat. Dia bahkan membuat lukisan perempuan telanjang.
Schoemaker wafat di Bandung pada 22 Mei 1949. Keluarga memakamkannya sebagai seorang Katolik. Mereka bilang Schoemaker kembali memeluk Katolik di tempat tidur, sebelum ajal menjemputnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar