Jihad ala NU
Resolusi Jihad melawan Sekutu membuat NU yang "moderat dan kompromistis" menjadi revolusioner. Diperingati sebagai Hari Santri.
Dalam pertempuran sengit di Surabaya pada 10 November 1945 –kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan– banyak pejuang tersulut semangatnya oleh seruan Bung Tomo melalui corong radio. Bung Tomo tentu sadar betul bagaimana menggelorakan semangat juang, termasuk umat Islam. Tak heran jika dia tak melupakan seruan takbir.
“Dan kita yakin saudara-sudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Allahu Akbar...! Merdeka!”
Bung Tomo mungkin tak pernah menjadi santri, “Tetapi diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari,” tulis Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Baca juga: KH Hasyim Asy'ari Menjaga Tradisi Pesantren
Namun, bagi warga nahdliyin, ada seruan lain yang lebih hebat dan membangkitkan semangat juang mereka, yakni Resolusi Jihad –monumennya diresmikan pada 23 Oktober 2011 di Surabaya untuk mengenang peran ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan.
“Deklarasi ini,” tulis van Bruinessen, “yang kemudian terkenal sebagai Resolusi Jihad, tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari para sejarawan. Resolusi itu menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka.”
NU tergerak menyatakan Resolusi Jihad setelah melihat sejumlah daerah jatuh ke tangan Inggris. Akhir September 1945, atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Inggris menduduki Jakarta. Pertengahan Oktober, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota di Jawa dan menyerahkannya kepada Inggris. Beberapa hari sebelum Resolusi Jihad, Bandung dan Semarang diduduki Inggris setelah melalui pertempuran hebat. Demikian juga Surabaya; kedatangan pasukan Inggris pada 25 Oktober disambut dengan gelisah. Sementara itu pemerintah Republik Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, masih menahan diri untuk melakukan perlawanan dan mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik.
Baca juga: Palu Arit di Ladang NU
“Resolusi Jihad merupakan pengakuan terhadap legitimasi pemerintah Republik Indonesia sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya,” tulis Van Bruinessen. Agaknya, NU menginginkan seruan jihad langsung diperintahkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun, karena pasif, NU melalui Resolusi Jihad-nya “memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan... supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘Sabilillah’ untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.”
“Resolusi jihad itu,” tulis Zuhairi Misrawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, “memberi rangsangan motivasi yang amat kuat kepada para pemuda Islam untuk berjihad membela negara.”
Pada 21 dan 22 Oktober 1945, delegasi Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari, menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad atau Perang Suci dan menentang kembalinya Belanda adalah kewajiban setiap Muslim (fardhu ‘ain). Pertemuan itu menghasilkan Resolusi Jihad, yang menyatakan bahwa, “pihak Belanda (NICA) dan Jepang telah banyak menjalankan kejahatan dan kekejaman, dengan maksud melanggar kedaulatan negara dan agama, serta ingin kembali menjajah. Di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang sebagian besar dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya. Karenanya umat Islam dan alim ulama di seluruh Jawa-Madura memiliki hasrat yang besar untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan negara Republik Indonesia.”
Menurut Van Bruinessen, pasukan-pasukan nonreguler yang bernama Sabilillah –nama ini merujuk kepada Perang Suci– rupanya dibentuk sebagai respons langsung atas resolusi ini. Komandan tertinggi Sabilillah adalah pemimpin NU, Kiai Masykur dari Malang, yang kelak menjadi politisi terkenal dan menjabat sebagai menteri agama.
Baca juga: Kiai NU dan Daging Babi
Resolusi Jihad juga dilontarkan dalam Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7-8 November 1945, yang diselenggarakan oleh Masyumi, di mana NU menjadi anggotanya –sayangnya, muktamar ini lebih dikenal hanya sebagai deklarasi pembentukan Partai Masyumi. Seperti diberitakan Warta Indonesia, 17 November 1945, resolusi tersebut menyatakan, “tiap bentuk penjajahan adalah kezaliman yang melanggar perikemanusiaan dan diharamkan oleh Islam. Untuk membasmi tindakan imperialisme, setiap Muslim wajib berjuang dengan jiwa raga bagi kemerdekaan negara dan agamanya. Untuk itu, harus memperkuat umat Islam untuk berjihad fisabilillah.”
Muktamar menghasilkan Program Perjuangan, yang antara lain terealisasi dalam pembentukan pasukan nonreguler Sabilillah. Berbeda dengan pasukan Hizbullah sebagai “gabungan keinginan Jepang dan ulama” –dibentuk pada Februari 1945 dan dipimpin Kiai Zainul Arifin–, Sabilillah tak memiliki asal-usul resmi pada masa Jepang, tak memiliki latihan militer formal, dan tak terorganisasi.
“Nampaknya,” tulis Benedict Anderson dalam Revolusi Pemuda, “ia tidak pernah menjadi suatu organisasi terpadu, tetapi merupakan nama umum bagi sejumlah besar gerombolan bersenjata yang dipimpin oleh para kiai desa, yang bermunculan selama zaman pengambil-alihan dari Jepang.”
Pada 10 November 1945, dua minggu setelah kedatangan pasukan Inggris di Surabaya, sebuah pemberontakan massal pecah. Banyak pengikut NU terlibat dalam pertempuran di Jembatan Merah, Wonokromo, Waru, Buduran, dan daerah-daerah lain di Surabaya. Pemakaian jimat dan ilmu kanuragan, tanpa senjata, kerap mewarnai kisah perjuangan mereka.
Baca juga: PBNU Tolak Beri Maaf PKI
Sikap radikal NU selama revolusi seakan bertentangan dengan reputasi NU sebagai organisasi moderat dan kompromistis. Anggaran dasar formal (Statuen) NU, yang kali pertama dibuat pada Muktamar III pada 1928, sesuai dengan undang-undang perhimpunan Belanda. Yang melatarbelakanginya: keinginan mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status berbadan hukum (rechtspersoonlijkheid) pada Februari 1930.
“Sepanjang dasawarsa akhir pemerintahan Belanda, NU selalu memberikan kesetiaannya kepada pemerintah Hindia Belanda,” tulis Van Bruinessen. “Sikap ini sejalan dengan pandangan Sunni tradisional bahwa sebuah pemerintahan yang memperbolehkan umat Islam menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih baik daripada fitnah (chaos) akibat pemberontakan.”
Meski demikian, bukan berarti NU tak bisa berani sama Belanda. Menurut Fathurin Zen dalam NU Politik: Analisis Wacana Media, pertentangan antara kaum Islam tradisionalis dan Islam modernis dapat mengendur saat keduanya sama-sama menghadapi perlakuan tak adil dari penjajah Belanda atau menghadapi masalah-masalah lain yang sangat serius. Misalnya pada 1931, NU memprotes Belanda ketika masalah kewarisan dihapus dari kewenangan Pengadilan Agama dan diserahkan kepada Pengadilan Negeri (landraad), menentang keleluasaan mengkritik agama Islam, dan menolak penguasa untuk mengawasi pengetahuan keagamaan para pegawai yang ditugaskan di berbagai kantor yang mengurusi umat Islam.
Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?
Apa yang menyebabkan NU berubah drastis, dari sikap moderat dan kompromistis menjadi militan? Menurut Van Bruinessen, selain tindakan Jepang yang melibatkan umat Islam dalam kegiatan politik, yang membuat NU mengubah tradisi politik Sunni-nya adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. NU mengakui para pemimpin Republik sebagai pemimpin yang sah –Muslim lagi. Karena itu, ketika Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia, NU menganggapnya sebagai tentara kafir yang berusaha menjatuhkan pemerintah Muslim Indonesia yang sah. “Apabila tanah Muslim berada dalam serbuan orang kafir, sebagaimana disepakati ulama,” tulis Van Bruinessen, “Perang Suci menjadi kewajiban agama.”
Semangat membela agama dan tanah air yang dipicu oleh Resolusi Jihad kemudian diperkuat lagi dengan pidato Kiai Hasyim Asy’ari, pada pembukaan Muktamar NU ke-16 dan, yang pertama setelah perang, pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, “... sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar