De Brings Tjiandjoer, Berjalan Berbareng Belajar Sejarah
Komunitas pecinta sejarah yang memadukan olahraga dengan tur ke situs bersejarah di Cianjur. Digagas anak-anak muda.
CUACA cerah meliputi Cianjur pagi itu. Di depan Gedung Kantor Pos, puluhan orang (sebagian besar anak muda) tengah mendengarkan penuturan Aris Mustari, Sri Wahyuni dan Rendi Marliyadi, tiga pemerhati sejarah Cianjur. Sesekali, diskusi serius tapi santai tersebut diselingi oleh tawa canda, hingga suasana keakraban sangat terasa dalam kumpulan itu.
“Kami berusaha menggali dan membicarakan sejarah Cianjur dengan cara yang sebisanya kami anggap nyaman…” ujar Rendi kepada Historia
Komunitas itu baru saja berdiri pada hari itu juga (Minggu, 17 Januari 2016). Mereka yang terlibat di dalamnya menyepakati De Brings Tjiandjoer sebagai nama kumpulan tersebut. De Brings sendiri diambil dari kata bahasa Sunda: “ngabring”, yang memiliki arti “jalan beramai-ramai”. Itu sesuai dengan cita-cita para penggiat De Brings Tjiandjoer yang akan membiasakan “jalan beramai-ramai” sebagai tradisi mereka dalam upaya penggalian dan pengenalan sejarah Cianjur.
“Cara ini mengasyikan, karena mengkombinasikan dua kegiatan bermanfaat: cari ilmu dan berolahraga,” ungkap Helmy Adam, karyawan swasta di sebuah perusahan distribusi nasional.
Sebagai kegiatan awal, De Brings Tjiandjoer melakukan tur ke beberapa titik yang memiliki arti penting secara historis bagi Cianjur. Rute yang diambil meliputi Gedung Kantor Pos-Pendopo Kabupaten Cianjur-Pangguyangan Badak Putih-Gedung Paguyuban Pasundan-Stasiun Kereta Api Cianjur.
Kegiatan itu sendiri mulai menghangat saat para peserta tur sejarah sampai di tempat lonceng tua yang berada dalam kawasan pendopo Kabupaten Cianjur. Dengan antusias mereka mulai membahas berbagai versi asal usul lonceng yang dibuat di Batavia pada 1744 itu.
“Kawan-kawan, menurut salah satu sumber sejarah yang pernah saya wawancara, lonceng ini konon merupakan pemberian dari Mataram,” ungkap Aris Mustari.
Namun, tanpa membatasi informasi hanya sekitar itu, Aris juga tak menutup kemungkinan bahwa ada kisah lain di balik keberadaan lonceng kuno tersebut. Termasuk adanya klaim dari pihak Gereja Santo Petrus (salah satu gereja Katholik ternama di Cianjur) bahwa lonceng yang lumayan besar itu tadinya merupakan milik keuskupan di Batavia.
Saat menjelajah wilayah Pendopo Kabupaten Cianjur itu pula, sempat mencuat diskusi seru tentang peristiwa sekitar pembunuhan Aria Wiratanudatar III (Bupati Cianjur ke-3) pada 1726. Selain mendiskusikan tema itu, para penggiat De Brings Tjiandjoer pun sempat merekontruksikan kejadian itu di beranda pendopo, posisi yang konon menjadi tempat kejadian perkara pada insiden menghebohkan hampir 270 tahun lalu tersebut.
Di Stasiun Kereta Api Cianjur, pembahasan sejarah semakin ramai. Termunculkan kisah tentang kejayaan stasiun itu pada saat Cianjur masih menjadi ibu kota Priangan. “ Saya pikir mengapa dibangun stasiun lumayan besar karena terkait dengan posisi penting kota ini pada saat itu,” ujar Sri Wahyuni yang dalam keseharian bekerja di Kantor Kearsipan Daerah Kabupaten Cianjur tersebut.
Setelah berjalan keliling kota Cianjur hampir 4 jam, tur sejarah diakhiri dengan sesi berbagi kesan dan pendapat yang dipusatkan di Taman Joglo. Rencananya De Brings Tjiandjoer akan mengadakan kembali tur sejarah pada Februari mendatang.
“Ke depan kami akan membuat tur secara tematik. Misalnya pada saat membahas tentang Perang Kemerdekaan, kami akan mengunjungi tempat-tempat atau jalan-jalan yang terkait tema tersebut,” ujar Rendi yang juga merupakan penggiat di Komunitas Aleut, sebuah kumpulan pecinta sejarah di kota Bandung.
Tambahkan komentar
Menarik
Belum ada komentar