Kampung Melayu Makassar Tempo Dulu
Letaknya strategis dekat dengan pelabuhan, Kampung Melayu di Makassar menjadi tempat peristirahatan terakhir Pangeran Diponegoro.
TAK sampai satu kilometer dari Pelabuhan Makassar, di antara gedung-gedung perniagaan sepanjang Jalan Diponegoro, ada sebuah kompleks permakaman kecil. Makam Pangeran Diponegoro (1785-1855) ada di dalamnya.
Kompleks permakaman itu terletak di Kampung Melayu. Dulu, rumah keluarga Pangeran Diponegoro, setidaknya ketika Raden Ayu Retoningsih –istri Pangeran Diponegoro– masih hidup, pun berada di kampung tersebut.
“Rumah yang ditempati Raden Saleh dan Raden Mas Jusuf, waktu saya mewawancarai mereka pada September 1972, dibangun Belanda untuk janda Pangeran, Raden Ayu Retnoningsih, di Kampung Melayu, Makassar,” tulis Peter Carey dalam catatan kakinya di buku Percakapan Dengan Diponegoro.
Kampung Melayu tergolong kampung tua di Makassar. Eksistensinya terkait erat dengan keberadaan orang Melayu di sana. Maka ketika Pangeran Diponegoro dibuang ke Makassar, orang Melayu sudah turun-temurun di sana. Mereka sudah banyak yang menetap di Makassar ratusan tahun sebelum Pangeran Diponegoro tiba. Setidaknya pada abad ke-16 (tahun 1500an) orang-orang Melayu sudah ada di Makassar.
“Baik sumber-sumber Portugis maupun sumber-sumber Makassar telah dikenal, sejak abad ke-XVI (16) para pedagang Melayu, jadi orang-orang Muslim telah menetap di Makassar dan tempat-tempat lainnya di pesisir barat daya Sulawesi,” terang orang Belanda bernama Noorduyn seperti dicatat Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII abad XVI sampai abad XVII.
Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada 1511 telah mengurangi pengaruh raja-raja Melayu di sekitar Malaka. Orang-orang Melayu yang awalnya di Malaka pun mencari daerah-daerah lain untuk berniaga. Termasuk ke Sulawesi Selatan. Menurut Ahmad Sewang, pada masa kekuasaan Raja Gowa ke-10 Tanipalangga I Manriogau Daeng Bonto Karaeng (berkuasa 1546-1565), datang serombongan orang Melayu yang memohon padanya untuk tinggal dan membuat perkampungan di Makassar. Mereka, menurut Nyayu Soraya dalam Islam dan Peradaban Melayu, dipimpin oleh Nahkoda Bonang.
“Pada masa Karaeng Tunipalangga, orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Manggalekanna diberi hak otonom,” tuli Nyayu Soraya dalam Islam dan Peradaban Melayu.
Raja Gowa itu dan raja-raja setelahnya tak keberatan dengan keberadaan orang-orang Melayu tersebut. Bahkan, hubungan orang Melayu dengan raja dan bangsawan setempat cukup baik. Faktor agama menjadi salah satu faktor terpenting baiknya hubungan itu. Baik orang Melayu maupun Makassar dikenal sejak lama sebagai penganut Islam. Di Makassar, orang Melayu dianggap pula sebagai penyebar Islam.
Baiknya relasi Gowa-Melayu itu, menurut Nyayu Soraya, membuat Raja Gowa Tanipalangga mempercayai salah satu pemuka Melayu untuk menjadi syahbandar di Makassar. Selain itu, kaum Melayu di Sulawesi pun juga diberi gelar bangsawannya seperti Enci, Ince, atau Datuk.
Dari perjumpaan awal itu, orang Melayu terus berkembang di sana hingga kampung tempat tinggal mereka kemudian dikenal sebagai Kampung Melayu. Seturut perjalanan waktu, jumlah mereka terus bertambah baik karena perkawinan dengan sesama pendatang Melayu maupun dengan orang-orang Makassar atau Bugis.
Meningkatnya jumlah penduduk Melayu itu pula yang membuat mushalla kecil di kampung tersebut tak lagi memadai untuk menampung mereka shalat. Alhasil, 200 tahun kemudian muncul kebutuhan untuk mendirikan masjid di sana.
Salah satu pemuka agama di Kampung Melayu adalah Ince Ali Asadullah. Di masanya pemerintahannyalah pendirian masjid diwujudkan.
“Beliau adalah pendiri masjid Kampung Melayu pertama di Makassasr pada tahun 1700. Ince Ali Asadullah wafat pada tahun 1780 dan dimakamkan di Pulau Barang Lompo,” tulis Akin Duli dkk. dalam Monumen Islam di Sulawesi Selatan.
Seiring perjalanan waktu, penduduk Kampung Melayu tak hanya orang keturunan Melayu saja. Orang Tionghoa, Jawa, dan etnis-etnis lain pun kemudian banyak menetap di sana. Dari Jawa, keluarga Pangeran Diponegoro menjadi yang paling tenar di sana hingga mereka dikebumikan pula di Kampung Melayu Makassar ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar