Kembara Leo Beenhakker dari Rotterdam hingga Karibia
Ajax dan Real Madrid menaruh hormat di masa duka Leo Beehakker, legenda di tepi lapangan yang ceplas-ceplos di balik kepulan asap cerutunya.
RIVALITAS keras Amsterdam-Rotterdam memang berhulu dari perbedaan kultur masyarakatnya dan dari perseteruan di lapangan hijau. Namun kabar duka wafatnya pelatih legendaris asal Rotterdam Leo Beenhakker membuat Ajax Amsterdam menaruh hormat setinggi-tingginya. Toh Beenhakker juga pernah berjasa bagi klub terbesar Belanda itu di era 1980-an.
Mengutip laman resmi Ajax, Kamis (10/4/2025), Beenhakker dikbarkan menghembuskan nafas terkahir di usia 82 tahun. Akan tetapi pihak keluarga hingga kini belum membeberkan penyebab kematiannya.
“Ajax menerima kabar duka meninggalnya Leo Beenhakker dengan kesedihan yang mendalam. Tak diragukan lagi Beenhakker salah satu pelatih tersukses dan kiprah paling berwarna dalam sejarah pelatih Belanda. Beenhakker merupakan ikon pelatih sepakbola dan figur yang unik bagi Ajax,” demikian bunyi pernyataan Ajax.
Beenhakker berjasa besar membawa Ajax dua kali merengkuh gelar Eredivisie, di musim 1979-1980 dan 1989-1990. Pada kali pertama juara, timnya diperkuat Tscheu La Ling dan Simon Melkianus Tahamata dan pada kali kedua, skuad diisi Edwin van der Sar, Dennis Bergkamp, hingga si kembar Frank dan Ronald de Boer.
Baca juga: Memori Manis Johan Neeskens
Ketika duduk jadi entrenador (pelatih) Real Madrid kurun 1986-1989 dan 1992, Beenhakker tercatat punya prestasi lebih daripada itu: tiga gelar La Liga, satu trofi Copa del Rey, dan dua kali juara Supercopa de España.
“Presiden Real Madrid dan jajaran direktur klub menghaturkan rasa duka yang mendalam atas kematian Leo Benhakker, pelatih legendaris Real Madrid yang memimpin Los Blancos antara 1986 dan 1989 serta 1992. Real Madrid juga menyampaikan belasungkawa dari semua Madridistas (fans Real Madrid). Semoga ia beristirahat dengan tenang,” bunyi pernyataan Real Madrid di laman resminya, Kamis (10/4/2025).
Sebagai “pengembara” yang 53 tahun menjadi pelatih hingga direktur sepakbola di tiga benua dan dan delapan negara di luar Belanda, Beenhakker jadi tokoh sepakbola legendaris dunia. Di panggung sepakbola internasional, Beenhakker juga berjasa besar mengantarkan tim nasional (timnas) Polandia lolos pertamakali ke Euro pada 2008 dan meloloskan timnas Trinidad-Tobago untuk kali pertama ke Piala Dunia pada 2006.
Baca juga: Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson
Penjinak Quinta del Buitre hingga Patatgeneratie
Leo Beenhakker lahir di Rotterdam pada 2 Agustus 1942 ketika Belanda masih diduduki Jerman pada Perang Dunia II. Tidak banyak yang diketahui tentang keluarga dan masa kecilnya selain ia sudah punya hasrat mengembara karena sejak kecil sering melihat kapal-kapal datang silih berganti ke pelabuhan Rotterdam.
“Tidak penting untuk menanyakan dari mana saya berasal. Saya sendiri tidak tahu. Saya hanya tahu lahir di kota pelabuhan Rotterdam. Saya selalu ingin pergi jauh dan menyingkap sesuatu yang berbeda. Saya menghabiskan masa kecil saya menyaksikan kapal-kapal kargo lalu-lalang dari seluruh dunia, berharap bisa ikut salah satunya untuk keliling dunia,” ujar Beenhakker dalam wawancaranya dengan Joachim Barbier pada 2011, termuat di artikel “Don Leo’s Odyssey: From Amsterdam to Madrid to Guadalajara to Budapest, Leo Benhakker has never stopped learning” yang termaktub di buku The Blizzard: The Football Quarterly, Issue Seven.
Beenhaker kecil sudah punya sedikit modal bahasa. Di sekolahnya, ia sudah mempelajari bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Prancis, dan bahasa Spanyol.
Baca juga: Sepp Herberger dan Bayang-bayang Nazi
Sepakbola baru dikenalnya dari ayahnya yang sering mengajaknya menonton langsung tim kesayangan kota mereka, Feyenoord Rotterdam, di Stadion De Kuip. Namun mirisnya, di usia 13 tahun Beenhakker harus jadi anak yatim lantaran ayahnya tiada. Alhasil selepas usia sekolah dirinya mesti ikut membantu ekonomi keluarga dengan menjadi tukang listrik.
Masih adanya gairah sepakbola membuat Beenhakker tetap menekuninya. Ia sempat direkrut tim amatir SC Maasstad Tediro sembari bekerja di luar lapangan.
Namun kariernya sebagai pemain berposisi winger kanan begitu pendek karena cedera menghentikannya saat Beenhaker memperkuat tim amatir XerxesDZB. Demi dapurnya tetap mengepul, Beenhakker harus cari kerja serabutan dari jadi tukang listrik hingga penjaga toko pakaian.
Titik balik hidupnya ia dapatkan ketika diterima jadi pelatih klub amatir SV Epe pada 1965. Saat beralih ke Go Ahead Eagles sebagai asisten pelatih, ia menyambinya dengan mengikuti sejumlah pendidikan pelatih federasi KNVB hingga di usia 25 tahun jadi pelatih termuda di Belanda yang mendapatkan lisensi-A. Ia kemudian menjalani debut sebagai pelatih profesional bersama BV Veendam mulai 1968.
Baca juga: Ronald Koeman Pahlawan Katalan dari Zaandam
Era Total Football yang diperkenalkan Rinus Michels di tahun 1970-an ikut menulari filosofi Beenhakker ketika menukangi SC Cambuur (1972-1975) dan dua kali membesut bibit-bibit muda di Akademi Feyenoord Rotterdam (1976-1978) dan Ajax (1978-1979). Meski lahir dan besar di Rotterdam, Beenhakker tak alergi meretas kariernya di Amsterdam hingga kemudian dipercaya jadi pelatih kepala tim senior Ajax mulai musim 1979/1980. Ia menggantikan Cor Brom yang dipecat atas dugaan suap dan gratifikasi berupa pemberian seekor kuda, berkilo-kilo daging babi, dan uang senilai 5 ribu gulden dari beberapa klub amatir agar Ajax berkenan sparring di masa pramusim 1979/1980.
“Feyenoord ada di dalam darah saya sejak kecil tapi gairah saya adalah melatih, meningkatkan (kualitas) pemain. Sehingga saya punya hubungan emosional yang dalam bersama Ajax,” kenang Beenhakker, disitat laman klub.
Sebelum pertamakali merantau abroad bersama Real Zaragoza (Spanyol) kurun 1981-1984, Beenhakker membuktikan kepercayaan manajemen Ajax. Dengan skuad yang diperkuat para pemain seperti Ruud Krol, Simon Tahamata, Sören Lerby, Dick Schoenaker, dan Piet Schrijvers, gelar liga musim 1979/1980 pun dibawa pulang ke Amsterdam meski double winners gagal diraih lantaran kalah 1-3 dari Feyenoord di final KNVB Beker.
Kepergiannya ke Zaragoza merupakan klimaks dari friksinya dengan Johan Cruyff. Cruyff yang baru pulang ke Amsterdam usai habis kontrak dengan tim Amerika Washington Diplomats, ikut menyaksikan laga Ajax menjamu Twente Enschede di Stadion De Meer, 30 November 1980. Merasa gregetan Ajax tertinggal 1-3, Cruyff nekat turun dari tribun dan masuk ke bangku cadangan bersama Beenhakker. Tanpa “otoritas” apapun, Cruyff ikut campur mengatur tim, termasuk mendesak pergantian pemain dengan memasukkan Tscheu La-Ling yang kemudian turut berjasa membalikkan kedudukan hingga Ajax menang 5-3.
Dari Zaragoza, Beenhakker kembali ke Belanda untuk menukangi FC Volendam (1984-1985). Namun pada 1986 Beenhaker kembali ke Spanyol usai menerima tawaran Real Madrid.
Beenhakker sukses besar bersama El Real kurun 1986-1989 karena memenangi titel La Liga tiga musim berturut-turut (1986-1989), satu Copa del Rey musim 1988/1989, dan dua Piala Super Spanyol 1988 dan 1989. Publik pun menjulukinya “Don Leo”.
Baca juga: Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop
Namun yang jarang diketahui publik adalah bagaimana ia menjinakkan ego besar para pemain bintangnya, utamanya lima punggawa yang dijuluki “Kawanan Burung Bangkai” (La Quinta del Buitre): Emilio Butragueño, Manuel Sanchís, Rafael Martín Vázquez, Míchel del Campo, dan Miguel Pardeza. Belum lagi dua bintang asing, Hugo Sánchez dan Bernd Schuster.
“Anda pikir mudah mengatur sosok seperti Hugo Sánchez atau Bernd Schuster? Mereka berengsek tapi tak pernah mengecewakan di lapangan dan mampu mengubah arah permainan,” sambung Beenhakker ceplas-ceplos. “(Melatih Madrid) Sangat tricky, terlalu rumit malahan. Masalah saya bukan menjelaskan Butragueño atau Míchel cara bermain bola. Masalahnya klub adalah mencari cara bagaimana para pemain hebat ini bisa bermain bersama-sama. Itu yang membuat saya pusing. Terlalu banyak ego di klub ini. Saya tak pernah bekerja sekeras itu kecuali di Real. Benar-benar 24/7.”
Walau tak sememusingkan “Kawanan Burung Bangkai” di Madrid, Beenhakker kembali mengalaminya ketika menakhodai Ajax selama dua musim, 1989-1991. Ia dihadapkan pada sejumlah pemain yang ia sebut De Patatgeneratie alias “Generasi Makanan Cepat Saji”. Julukan tersebut diberikan Beenhakker kepada pemain-pemain macam si kembar Frank de Boer dan Ronald de Boer, Richard Witschge, Marciano Vink, dan Bryan Roy lantaran mereka punya talenta hebat tapi berwatak terlalu santai. Beenhakker yang selalu jadi sosok “old school” dan tegas pun perlahan-lahan –yang didampingi Louis van Gaal sebagai asisten pelatihnya– berusaha soft spoken atau menggunakan pendekatan yang lebih lunak dan personal.
“Dibandingkan para pelatih profesional Belanda lain, Beenhakker pelatih dengan karakter yang langka. Van Gaal sangat terbuka untuk belajar darinya meski pada beberapa hal yang penting ia condong menolak (meniru). Dengan kebiasaannya menghisap cerutu, ia mencoba pendekatan yang lebih lunak. Kesuksesannya di Madrid membantunya lebih tenang ketika ia dan Van Gaal menghadapi patatgeneratie, sekelompok pemain manja dan minim etos kerja,” tulis Maarten Meijer dalam Louis van Gaal: The Biography.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Patrick Kluivert
Beenhakker kemudian merangkap jadi pelatih kepala timnas Belanda setelah federasi memecat Nol de Ruiter menjelang Piala Dunia 1990. Direktur teknis timnas Rinus Michels sempat mendapat tekanan untuk menunjuk Cruyff namun sang “Bapak Total Football” itu memilih Beenhakker. Beenhakker pun hanya punya waktu enam pekan untuk mempersiapkan skuad De Oranje. Mirisnya, federasi memilih kamp latihan di Yugoslavia dengan kondisi infrastruktur kurang memadai.
“Tim di Piala Dunia 1990 bukan tim saya. Talenta di skuad memang tak diragukan lagi namun Ruud (Gullit) baru pulih dari cedera panjang, (Frank) Rijkaard sedang tidak dalam performa terbaik, (Marco) van Basten mentalnya sedang bermasalah dan bukan saya juga yang merancang program persiapan. Pelatih sebelumnya dipecat dan Michels enggan menunjuk Cruyff karena sedang punya problem dengannya jadi saya ditunjuk,” tambah Beenhakker.
Beenhakker baru benar-benar berkesempatan “melihat dunia” dengan lebih luas pada 1992-1996. Berturut-turut ia menukangi empat tim berbeda di luar Belanda, yakni Grasshoper Club Zurich (Swiss), timnas Arab Saudi, İstanbulspor (Turkiye), serta Club América dan Chivas Guadalajara (Meksiko).
“Intinya adalah awareness dan pemahaman kita kepada orang lain dan kemampuan beradaptasi. Ketika saya tiba di Arab Saudi, Turkiye, Swiss, Trinidad (dan Tobag) atau Polandia, saya tak pernah merasa cemas. Meksiko sudah seperti surga. Para pemainnya luar biasa dan favorit saya Cuauhtémoc Blanco. Ia brilian walau sedikit gila karena sering melanggar aturan. Kadang Anda harus berseteru dan kadang Anda harus memeluknya,” kenangnya.
Sekembalinya ke Ajax sebagai direktur teknis (2000-2003), Beenhakker turut berjasa meroketkan kebintangan Zlatan ‘Ibra’ Ibrahimović. Pemain potensial asal Swedia yang berkarakter keras dan ego yang besar itu bisa dijinakkan pula oleh Beenhakker.
“Saya menerima telepon dari seorang kenalan yang mengatakan, ‘lekas lihat pemain muda di Malmö.’ Mereka sedang ada kamp latihan di Spanyol dan saya menyaksikannya, ‘Tuhan Yesus, saya harus mendapatkannya.’ Lalu saya harus berjam-jam meyakinkan direktur keuangan kami untuk menebus ke Malmö 9 juta euro. Ego yang besar jadi alasan saya mengaguminya. Saya selalu bilang pada bos, ‘berikan saya 11 bedebah seperti dia dan kita akan juara’,” kata Beenhakker.
Sepanjang berseragam Ajax 2001-2004, Ibra memberi bukti dengan turut mempersembahkan dua titel Eredivisie dan sekali juara KNVB Beker. Ibra tak pernah melupakan sosok Beenhakker yang berjasa pada kariernya dengan memungutnya dari Malmö.
“Sebelumnya saya tak pernah tahu siapa Beenhakker tapi di kemudian hari ia adalah sosok besar. Ia sering terlihat di tepi lapangan dengan topinya saat terik matahari dan menghisap cerutu besarnya. Rambutnya yang putih dan ikal mengingatkan saya pada profesor gila (Dr. Emmet Brown, red.) di film Back to the Future (1985) tapi Beenhakker sosok yang lebih galak darinya. Kharismanya begitu luar biasa sehingga kami menganggapnya seperti mafioso tapi saya suka karakter seperti itu,” tandas Ibra dalam otobiografinya, I Am Zlatan: My Story On and Off the Field.
Itu jadi satu dari kenangan yang tak lekang di ingatannya. Beenhakker kemudian melancong lagi ke Trinidad dan Tobago yang dibantunya lolos ke Piala Dunia 2006, ke Polandia yang juga dibawanya lolos pertamakali ke Euro 2008, hingga menutup karier di sepakbola sebagai direktur teknik Feyenoord, Újpest FC (Hungaria), dan terakhir di Sparta Rotterdam pada 2018.
Baca juga: Denis Law dan Memorinya di Lapangan Hijau
Tambahkan komentar
Belum ada komentar