Kakek Elon Musk Simpatisan Nazi dan Apartheid?
Aktivitas politik kakek Elon Musk dianggap radikal di Kanada. Pindah ke Afrika Selatan dan mendukung sistem apartheid.
ELON Musk diserbu kritik berbagai kalangan, dari warganet biasa, sejarawan, politikus Eropa, hingga petinggi pemerintahan Jerman. Pasalnya, saat menyudahi pidatonya di perayaan pelantikan Presiden Donald Trump, Senin (20/1/2025), Musk melakukan gestur yang dianggap meniru salam pentolan Nazi, Adolf Hitler.
Tentu kemudian bos media sosial X, provider internet Starlink, serta manufaktur roket Space X dan otomotif Tesla itu menyanggahnya. Musk menganggapnya sebagai fitnah dan menanggapi aneka hujatan itu dengan santai.
“Sejujurnya, mereka butuh trik-trik kotor yang lebih baik. Serangan ‘semua orang adalah Hitler’ sungguh membosankan,” cuit Musk di akun X-nya, @elonmusk, Selasa (21/1/2025).
Banyak pendukung Musk membelanya. Salah satunya penasihat Musk, Andrea Stroppa, yang menganggap itu sejatinya salam Romawi. Namun pembelaan itu justru memantik hujatan balik.
“Itu jelas salam Nazi dan (gestur) yang juga memperlihatkan sikap bermusuhan juga,” sebut sejarawan New York University Ruth Ben-Ghiat dikutip The Guardian, Selasa (21/1/2025).
Baca juga: Elon Musk, X.com, dan PayPal
Hal senada juga disuarakan sejarawan University of California Claire E. Aubin di akun X-nya, @ceaubin. “Saya sudah lihat sieg heil Elon Musk. Pendapat profesional saya mengatakan, Anda (warganet) semua benar dan Anda tidak perlu meyakinkan saya lagi. Jika seseorang coba mengaitkannya dengan salam Romawi sebagai alasan (klasik), saya ingin mengingatkan mereka bahwa (Benito) Mussolini dan Hitler menggunakan sumber material yang sama.”
Di Eropa, reaksi serupa muncul dari politikus sayap kiri Prancis yang juga anggota Parlemen Eropa, Manon Aubry. Ia menuding gestur Musk itu sebagai salam Nazi.
“Saya akan mulai membicarakan tentang respon, atau mungkin kurangnya respon dari Uni Eropa terhadap pelantikan Trump. Pelantikannya jadi ancaman bagi segenap Uni Eropa. Contoh sederhananya saja, saya yakin semua orang sudah melihat salam Nazi. Saya memilih kata ini dengan seksama, salam Nazi Elon Musk,” ungkap Manon, disitat Politico, Selasa (21/1/2025).
Kanselir Jerman Olaf Scholz turut memberi kritik. Terlebih dua pekan sebelum gestur Musk itu, sang miliarder juga memberikan dukungan kepada partai sayap kanan AfD atau Partai Alternatif untuk Jerman, menjelang Pemilu Federal Jerman 2025.
“Kami memiliki kebebasan berekspresi di Eropa dan semua orang bisa mengatakan apapun yang mereka inginkan, bahkan jika ia seorang miliarder. Yang tidak bisa kami terima adalah jika ekspresi itu ditujukan untuk mendukung posisi-posisi ekstrem kanan dan ini yang ingin saya tegaskan lagi,” tukas Kanselir Scholz, dilansir The Guardian, Selasa (21/5/2025).
Kendati Musk sudah membantah, banyak warganet masih menghujatnya. Salah satunya bahkan mengungkit kakek Elon Musk dari garis ibu, Joshua Norman Haldeman, yang ditengarai simpatisan Nazi.
“Kakek Elon Musk adalah seorang Nazi. Jika ada seorang Nazi dalam keluarga saya, saya akan memastikannya untuk tidak melakukan gestur itu. Jika Anda penasaran namanya Joshua N. Haldeman,” cuit seorang warganet, @tlfowler28, Rabu (22/1/2025).
Baca juga: Kakek Donald Trump Korban Pandemi
Siapa Kakek Elon Musk?
Isu soal kakek Elon Musk dari garis ibunya itu sejatinya bukan hal baru. Menariknya, isu itu justru datang dari Errol Musk, ayah Elon Musk, ketika ia menyinggung cerita tentang istrinya, Maye, dan mertuanya di siniar Podcast and Chill with MacG yang diunggah di akun Youtube MacG, 14 November 2024, “Episode 613: ERROL MUSK On Growing Up in SA, Elon Musk, Donald Trump, Dating Step Daughter, Ex Wife’s”.
“Ini yang cukup menarik: orangtuanya (Maye) sangat fanatik terhadap apartheid. Mereka datang dari Kanada ke Afrika Selatan karena mereka bersimpati pada pemerintahan Afrikaan. Sebelumnya mereka mendukung Hitler walaupun saya pikir mereka tidak tahu apa yang dilakukan Nazi Jerman tapi di Kanada mereka ada di Partai Nazi dan mereka bersimpati pada pihak Jerman. Jadi ketika pemerintahan Afrikaan (apartheid) berkuasa di sini pada 1948, ayah Maye ingin bersama kalangan Afrikaan karena dia setuju dengan (sistem) apartheid,” ujar Errol Musk di menit 52-54.
Latar belakang itu, lanjut Errol, sempat menimbulkan ketegangan di internal keluarga. Terlebih lantaran Errol punya rekam jejak aktivis pelajar anti-apartheid sebelum ia mengembangkan bisnisnya di bidang pariwisata dan properti, serta berkarier politik praktis sebagai anggota dewan kota Pretoria dari Partai Federal Progresif (PFP). Di sisi lain, ayah Errol Musk sekaligus kakek Elon Musk dari garis ayah, Walter Henry James Musk, adalah veteran perwira intelijen bidang kriptografi berpangkat sersan Angkatan Darat (AD) Uni Afrika Selatan yang melawan Nazi Jerman di front Afrika Utara pada Perang Dunia II (1939-1945).
“Walter Musk, seorang ahli kriptografi dan perwira intelijen di Mesir yang bertugas membuat skema-skema menempatkan persenjataan dan menara-menara lampu sorot palsu untuk mengelabui pasukan Jerman. Selepas perang, Walter lebih sering menganggur dan memanfaatkan kemampuan kriptografinya untuk sekadar mengisi (permainan) teka-teki silang,” tulis Walter Isaacson dalam biografi Elon Musk.
Baca juga: Darah Aktivis Kamala Harris
Memang, hingga saat ini belum ada sumber yang membenarkan ucapan Errol Musk terhadap mertuanya, Joshua Haldeman. Beberapa sumber yang ada sekadar menyebutkan Haldeman pernah terlibat dalam organisasi yang dianggap radikal di Kanada hingga membuatnya diciduk aparat.
Lahir di Minnesota, Amerika Serikat pada 25 November 1902, Joshua Norman Haldeman adalah dokter terapi kiropraksi dan penggemar kedirgantaraan dan pindah ke Kanada seiring studinya di Moose Jaw College, Regina College, hingga Manitoba Agricultural College. Menurut Isaacson, kondisi finansial Haldeman dari usaha peternakannya turut hancur usai terdampak Depresi Ekonomi (1929-1939) membuatnya terjun ke dunia politik dengan bergabung ke Socreds atau Partai Kredit Sosial yang mengadvokasi sistem nota kredit yang bisa digunakan masyarakat sebagai mata uang.
“Ia juga bergabung ke sebuah gerakan bernama Technocracy (Incorporated), di mana organisasi itu punya visi agar di masa depan pemerintahan diisi dan dijalankan para teknokrat dan bukan lagi para politisi. Gerakan itu pernah jadi gerakan ilegal di Kanada karena menentang kebijakan pemerintah Kanada terlibat dalam Perang Dunia II,” imbuh Isaacson.
Technocracy Incorporated pimpinan Howard Scott yang basis utamanya ada di New York dikategorikan sebagai organisasi subversif terhadap upaya perang. Sebagai petinggi perwakilan di Kanada, Haldeman sempat diciduk RCMP atau Kepolisian Kanada di Vancouver pada 8 Oktober 1940 dan baru dilepaskan usai divonis denda 8 ribu dolar.
“Haldeman memutuskan keluar dari Technocracy, Inc. medio 1941 karena kantor pusatnya di New York mengubah haluan kebijakan dari ‘dengan tegas menentang komunisme, fasisme, naziisme, dan sosialisme’ menjadi ‘kolaborasi militer dan ekonomi seutuhnya dengan Soviet Rusia’ seiring invasi Hitler ke Uni Soviet (Operasi Barbarossa, 22 Juni-5 Desember 1941, red). Seorang dengan prinsip kuat, Joshua Haldeman tak bisa menerima justifikasi aliansi apapun dengan kediktatoran (Josef) Stalin yang tak bertuhan,” tulis obituari Haldeman oleh Canadian Chiropractic Society, dikutip Jonathan Taplin dalam The End of Reality: How Four Billionaires are Selling Out Our Future.
Pada 1950, ia memutuskan pindah ke Afrika Selatan. Haldeman turut membawa serta keluarganya: Winnifred Josephine Fletcher yang merupakan istri keduanya, serta putri kembarnya Maye dan Kaye yang diterbangkan sendiri oleh Haldeman dengan pesawat Bellanca miliknya hingga mereka dijuluki “The Flying Haldemans”.
“Haldeman merasa pemerintah Kanada terlalu ikut campur dalam kehidupan individu, jadi pada 1950 mereka pindah ke Afrika Selatan yang saat itu dikuasai rezim apartheid. Mereka tak ingin tinggal di pesisir jadi mereka mendarat di Johannesburg, kota dengan mayoritas orang kulit putih berbahasa Inggris ketimbang berbahasa Afrikaans. Tetapi kemudian mereka pindah lagi ke Pretoria,” sambung Isaacson.
Baca juga: Siapa Ayah dan Ibu Kamala Harris?
Haldeman mulanya sekadar membuka klinik kiropraksi, walau kemudian tak bisa tinggal diam turut mengomentari situasi politik di Afrika Selatan sebagai simpatisan Nationalist Party, partai yang berkuasa di rezim apartheid.
“Orang-orang pribumi (kulit hitam) sangat primitif dan tidak semestinya ditanggapi serius. Beberapa dari mereka memang cerdas dalam melakukan pekerjaan sehari-hari tetapi kebanyakan dari mereka tak mampu mengemban tanggung jawab dan akan menyalahgunakan kewenangan. Pemerintahan Afrika Selatan tahu bagaimana harus mengtaasi persoalan-persoalan pribumi ini,” tulis Haldeman mengutarakan pendapatnya di kolom suratkabar Regina Leader-Post, edisi 6 Agustus 1951, “A new life for Haldeman”.
Memang kemudian Haldeman tak pernah lagi terlibat dalam politik praktis. Namun setidaknya ia selalu mengungkapkan banyak pandangannya terhadap rezim apartheid lewat sejumlah risalah politiknya. Pada 2017, salinan risalah dari koleksi arsip dan perpustakaan Michigan State University sempat terungkap ke publik. Salah satu satunya risalah sepanjang 42 halaman bertajuk ‘The International Conspiracy to Establish a World Dictatorship and Its Effect to South Africa” yang dirilis pada Mei 1960.
Menurut kolumnis dan sejarawan Jill Lepore dalam artikel yang dimuat The New Yorker, 19 September 2023, “The World According to Elon Musk’s Grandfather: What happened to antisemitic rants before social media”, risalah itu dikeluarkan sebagai tanggapan atas kedatangan Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan di Parlemen Afrika Selatan pada Februari 1960 yang menyampaikan pidato “Wind of Change”. Pidato yang intinya mengimbau pemerintah Afrika Selatan untuk menanggalkan sistem apartheid dan membuka pintu bagi gerakan-gerakan kebebasan.
Pidato itu bergema di seantero benua (Afrika) dan memantik kesadaran politik nasional. Imbasnya pada Maret (1960) ribuan massa kulit hitam berunjuk rasa di Sharpeville tetapi kemudian ditembaki polisi hingga menewaskan 69 orang, termasuk anak-anak, serta 200 lainnya terluka. Lalu Haldeman dalam risalahnya membela sistem apartheid yang ia tulis sebagai benteng “Peradaban Kristen Kulit Putih terhadap konspirasi internasional dan invasi gerombolan orang-orang kulit berwarna”.
“Haldeman mencerca propaganda-propaganda pihak-pihak tertentu yang ia yakini membawa gagasan-gagasan: para bankir dan intelektual Yahudi, yayasan-yayasan amal yang dipimpin orang-orang Yahudi, komunis, dan orang kulit hitam, dan siapapun yang mendukung penggulingan pemerintahan kolonial di Afrika. Ia menuliskan, ‘fakta sejarah berbicara bahwa orang kulit putih selalu membawa perkembangan sebuah negeri yang ia tinggali demi menjadi manfaat bagi semua pihak’,” ungkap Lepore.
Selebihnya, Haldeman menghabiskan sisa hidupnya sebagai petualang. Ia dan istrinya sering bertualang dari Afrika ke Eropa Utara hingga Australia hingga jadi tokoh pembesar di South African Chiropractors Association (SACA), Aircraft Owners and Pilots Association of South Africa (AOPA), atau South African Civil Aviation Advisory Council (SACAA).
“Haldeman tak pernah takut mengambil risiko walau kemudian itu juga yang menemui ajalnya (3 Januari 1974). Ia tewas ketika sedang memberi pelajaran terbang pada seseorang tapi kemudian menabrak tiang listrik hingga menyebabkan pesawatnya terbalik dan mengalami kecelakaan. Elon, sang cucu yang waktu kejadian masih berusia tiga tahun mengenang, ‘ia tahu petualangan sejati melibatkan risiko. Namun risiko itulah yang membuatnya bersemangat’,” tukas Isaacson.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar