Pandemi Flu Spanyol pada1918 masih tercatat sebagai salah satu bencana kesehatan terburuk di masa Hindia Belanda. Angka kematian akibat virus asal Eropa itu diperkirakan mencapai 1,5 juta jiwa, bahkan lebih. Hampir setiap hari pemerintah Hindia Belanda, juga media massa melaporkan adanya korban jiwa akibat penyakit itu. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga seluruh daerah di Hindia Belanda.
Tingginya angka kematian tersebut berbanding lurus dengan maraknya permintaan untuk mengurusi jenazah. Berbagai surat kabar memberitakan bahwa banyak tempat pemakaman yang mendadak penuh. Mereka juga kekurangan tukang gali untuk menguburkan jenazah. Akibatnya ada begitu banyak jenazah korban Flu Spanyol tidak bisa langsung dimakamkan. Bahkan para perempuan harus turun langsung menggotong dan menguburkan jenazah anggota kelarganya.
Baca juga: Seabad Flu Spanyol
Masa-masa itu ditandai dengan kelangkaan kain kafan. Orang-orang mulai berebut membeli kain kafan. Menurut Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, akibat keadaan yang tidak terkendali itu, para pedagang kain kafan terpaksa menutup tokonya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka sampai enggan berjualan karena takut kepada para pembeli yang bersikap kasar saat membeli kain kafan di tokonya.
“Pada suatu saat pedagang kain kafan menutup toko, karena takut serbuan pembeli kain guna membungkus mayat. Polisi terpaksa membuka kembali toko tersebut dan mengawasi penjualannya,” kata Rukmantara, dkk.
Kondisi itu juga membuat permintaan akan peti mati di kalangan masyarakat, terutama Eropa dan Tionghoa, begitu tinggi. Diceritakan Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, saking banyaknya permintaan, para perajin peti di Semarang tidak bisa memenuhi pesanan. Diberitakan Sin Po, harga sebuah peti di kota tersebut melonjak hingga 100 persen. Jika biasanya sebuh peti dihargai f. 250, ketika masa pandemi harganya menjadi f. 500.
Baca juga: Cara Bumiputera Menghalau Flu Spanyol
Para pembuat peti berdalih bahwa mereka harus menambah jumlah pekerja agar permintaan terpenuhi sehingga ada banyak biaya tambahan yang harus mereka keluarkan. Situasi itu jelas sangat memberatkan para penduduk dari golongan ekonomi rendah. Jangankan untuk membeli peti mati, untuk keperluan sehari-hari saja mereka kesulitan karena tidak adanya pekerjaan.
“Ia orang sudah diserang oleh kesusahan ditinggal mati oleh familinya, dan boleh jadi oleh ayah atau saudara lelakinya yang memikul tanggungan rumah tangga, buat kesusahan mana sudah cukup membuat susah kaum serumah tangga, karena jadi kurang tangan yang mencari rezeki, dan sekarang lantaran harga peti jadi naik, kembali ia orang ditambah kesusahan mesti keluarkan ongkos lebih besar buat beli peti,” tulis Sin Po, 2 Desember 1918, sebagaimana dikutip Ravando.
Fenomena kelangkaan peti tidak hanya terjadi di Semarang, tetapi hampir di seluruh kota-kota besar yang jumlah korbannya sangat tinggi. Di Batavia, misalnya, masyarakat seringkali menelantarkan jenazah selama berhari-hari lantaran tidak memiliki cukup uang untuk membeli peti mati. Di pusat pemerintahan Hindia Belanda itu sebenarnya telah dibentuk perkumpulan Asiatic Begrafenisfonds (Dana Pemakaman untuk Orang Asia) yang bertugas membantu mengurus dan menyediakan peti mati untuk kalangan masyarakat tidak mampu. Tetapi karena masalah internal, perkumpulan itu terpaksa dibubarkan. Masyarakat pun akhirnya tidak lagi memiliki bantuan untuk urusan pemakaman mereka.
Baca juga: Hoax Masa Pandemi Flu Spanyol
Di Surabaya juga terjadi kelangkaan peti mati yang membuat warga Tionghoa di sana harus menghadapi masa-masa sulit. Persediaan di seluruh Surabaya, imbuh Ravando, hampir tidak bersisa. Di kota itu hanya ada peti mati ukuran besar yang harganya sangat mahal. Sejak Flu Spanyol mewabah, permintaan peti mati tidak terkendali di sana. Bahkan banyak pengrajin peti yang memilih tidak membuatnya agar tidak tertekan oleh banyaknya permintaan.
Sama seperti di Semarang, para pembuat peti di Surabaya juga memanfaatkan kondisi untuk meraup keuntungan lebih. Mereka menaikkan harga peti hingga lebih dari 100 persen. Kebanyakan pengrajin juga tidak lagi membuat peti kecil karena keuntungannya yang tidak sebanding dengan peti besar yang berharga tinggi. Sekalipun ada permintaan peti kecil, kata Ravando, para pengrajin memiliki banyak alasan untuk tidak memenuhi permintaan tersebut.
Baca juga: Lambatnya Penanganan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda
Kondisi yang terus menjerat golongan masyarakat tidak mampu yang membutuhkan peti mati, membuat surat kabar Pewarta Soerabaia menerbitkan sebuah tulisan yang berisi himbauan agar Song Soe (Perkumpulan Kematian Tionghoa) turun tangan dan mencari solusi atas permasalahan tersebut. Mereka meminta Song Soe bersikap aktif memberikan bantuan agar masyarakat Tionghoa tidak terjerat hutang, dan kehilangan harta bendanya untuk sekedar membeli peti mati untuk kematian keluarga mereka.
“Salah satu langkah yang ditawarkan adalah dengan memesan peti mati dari pembuat yang terpercaya, lalu menjualnya kembali kepada orang miskin dengan harga wajar. Cara lain adalah dengan membuat perjanjian dengan toko-toko yang menjual peti mati untuk tidak mengambil keuntungan berlebihan dari kaum yang tidak mampu,” tulis Ravando.