HARI itu, 3 Agustus 1934, Prajurit Charles H. Kuhl terduduk di atas sebuah kursi dengan posisi membungkuk di Rumah Sakit Evakuasi ke-15 di Nicosia, Sisilia, Italia. Tak seperti sesama serdadu Amerika Serikat di sekitarnya, Prajurit Kuhl sama sekali tak menderita luka. Hanya saja, tatapannya hampa dan pikirannya nge-blank. Ia sampai tak berdiri dan memberi hormat ketika Letjen George S. Patton datang berkunjung.
Sikap dan keadaan prajurit asal Kompi L Resimen Infantri ke-26 Divisi Infantri ke-1 Angkatan Darat (AD) Amerika itu jelas mencolok di mata Jenderal Patton. Panglima pasukan AD ke-7 nan temperamental itu kemudian menegur Kuhl kenapa tak memberi hormat.
“Sepertinya saya hanya tak sanggup lagi,” jawab Kuhl lirih, dikutip D.A. Lande dalam I Was with Patton: First-Person Accounts of WW II in George S. Patton’s Command.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
Apa yang diderita Kuhl tak kasat mata. Ia mengalami battle fatigue atau terkena penyakit mental berupa depresi akibat kelelahan di medan perang. Diagnosa dari bangsal medis darurat di Batalyon ke-3 Resimen ke-26 sudah mengonfirmasi mental illness yang diderita veteran front Afrika Utara itu.
Tetapi, sebagaimana yang diungkap George C. Kohn dalam The New Encyclopedia of American Scandal, Jenderal Patton tak pernah percaya pada penyakit mental. Sang jenderal melontarkan sumpah serapahnya kepada Kuhl sembari mengacungkan revolver-nya. Lalu menampar Kuhl dengan sarung tangannya.
“Saya tidak ingin para prajurit pemberani lain melihat bajingan pengecut seperti dia,” bentak Jenderal Patton, dikutip Kohn.
Prajurit Kuhl sontak menangis. Tetapi bukannya bersimpati, Jenderal Patton mencekik kerah seragam Kuhl dan menempelengnya lagi. Kemudian memerintahkan penanggungjawab rumahsakit untuk mengeluarkan Kuhl.
“Jangan rawat bajingan ini,” perintah Patton pada petugas rumahsakit. “Anda dengar, dasar pengecut? Anda akan kembali ke garis depan!” sambung Patton pada Kuhl.
Itu bukan kali pertama dan terakhir Jenderal Patton menempeleng prajuritnya. Sepekan berselang, 10 Agustus, ketika Jenderal Patton mengunjungi Rumahsakit Evekuasi ke-93, seorang serdadu lain mengalami hal serupa. Personil Baterai C, Resimen Artileri Medan ke-17, Divisi Infantri ke-1 itu bernama Paul G. Bennett, yang menderita demam, dehidrasi, dan battle fatigue.
“Syaraf-syaraf saya. Saya tidak sanggup lagi dengan pemboman,” aku Prajurit Bennett.
Baca juga: Petualangan Westerling Semasa Perang Dunia II
Namun lagi-lagi Jenderal Patton menolak untuk percaya. Ed Cray dalam General of the Army: George C. Marshall, Soldier and Statesman mencatat, wajah Prajurit Bennett jadi sasaran tamparan jenderal impulsif itu yang kemudian memerintahkannya kembali ke garis depan.
“Anda mestinya dihadapkan ke tembok dan ditembak. Kalau perlu, saya yang akan menembak Anda sekarang juga, dasar bajingan,” hardik Jenderal Patton, dikutip Cray.
Hampir semua orang di sekitar rumahsakit terhenyak, termasuk beberapa wartawan perang yang mengikuti kunjungan Jenderal Patton. Tetapi bedanya, kali ini perintah itu kemudian ditolak perwira medis yang menangani Bennett lantaran kondisi fisik dan mental Bennett memang buruk.
“Pengeboman yang ia alami pada 6 Agustus sangat mengganggunya. Keesokannya ia mencemaskan kawannya dan menjadi lebih gugup. Ia dibawa prajurit medis ke barak kesehatan untuk diberikan obat penenang agar ia bisa tidur. Tetapi ia masih gugup dan terganggu (mentalnya). Hari berikutnya seorang perwira lain memerintahkan untuk mengevakuasinya walau prajurit ini tak ingin meninggalkan unitnya,” terang seorang perwira medis, dikutip Alan Axelrod dalam Patton: A Biography.
Baca juga: Lima Selebritis yang Terjun ke Perang Dunia
Panglima Eisenhower "Menghukum" Jenderal Patton
Awal Agustus 1943 memang jadi hari-hari yang genting bagi pasukan Sekutu. Sejak memulai invasinya ke Sisilia lewat “Operasi Husky” pada 9 Juli, pasukan gabungan Amerika, Inggris, dan Kanada menghadapi perlawanan sengit pasukan Jerman-Italia di bawah komando Generalfeldmarschall Albert Kesselring dan Jenderal Alfredo Guzzoni.
Dalam operasi itu, komando tertinggi Sekutu dipegang Marsekal Harold Alexander dengan diperkuat 467 ribu prajurit, 600 tank serta 14 ribu ranpur jenis lain, dan 1.800 meriam. Sementara, kekuatan Jerman-Italia diperkuat 252 ribu personil, 260 tank, dan 1.400 pesawat. Jenderal Patton sendiri memegang komando pasukan AD ke-7 Amerika yang bertanggungjawab atas pendaratan dan ofensif di tiga titik: Gela, Scoglitti, dan Licata. Ofensif itu untuk menyokong pasukan AD ke-8 Inggris yang dipimpin “rivalnya”, Marsekal Bernard Montgomery, yang mendarat di Syracuse.
“Sementara Inggris tertahan di Gunung Etna, Jenderal Patton dengan Tentara Amerika ke-7 dapat maju terus. Jenderal yang impulsif dan dinamis ini dapat mengembuskan semangat juang sampai ke prajurit biasa untuk menerjang kilat dari Licata dan Gela ke pantai utara Sisilia. Tapi di medan perang ini pula sifat impulsif Patton menimbulkan kegusaran: menempeleng serdadu. Ini tidak bisa diterima meski Patton pangkatnya lebih tinggi karena dia bukanlah dewa atau raja yang boleh berbuat sesukanya,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Eropa: Jilid II.
Baca juga: Pasukan Ekspedisi Brasil di Front Italia
Kehebohan itu tentu sampai ke telinga atasan Patton, Panglima Tertinggi Sekutu Jenderal Dwight Eisenhower. Kabar itu menyebar dari mulut ke mulut di antara perwira lain, ditambah kemunculan pemberitaan jurnalis Drew Pearson, serta laporan resmi dari Korps ke-2 AD.
Laporan insiden-insiden itu dicatat dan dilaporkan dokter bedah Korps ke-2 AD Kolonel Richard T. Arnest kepada atasannya, Kepala Staf Korps ke-2 AD Brigjen William B. Kean dengan tembusan Panglima Korps ke-2 AD Jenderal Letjen Omar Bradley. Tahu bahwa Letjen Bradley mempetieskan laporannya karena notabene merupakan karibnya Jenderal Patton, Kolonel Arnest mengirim salinan laporannya ke perwira kesehatan di markas Sekutu, Brigjen Frederick A. Blesse lantas meneruskannya ke Panglima Eisenhower pada 16 Agustus.
“Eisenhower memerintahkan Blesse memeriksa kebenaran insidennya. Kemudian Eisenhower juga membentuk ‘tim investigasi’ dengan mengirim deputinya, Mayjen John P. Lucas dengan didampingi dua kolonel dari kantor inspektorat, serta seorang konsultan medis, Letkol Perrin H. Long,” ungkap Carlo D’Este dalam Patton: A Genius for War.
Letkol Perrin kemudian mewawancarai dua korban penempelengan, sejumlah saksi mata, dan Jenderal Patton pribadi selama dua hari. Kesimpulan laporannya yang bertajuk “Mistreatment of Patients in Receiving Tents of the 15th and 93rd Evacuation Hospitals” menunjukkan, tindakan Jenderal Patton jelas salah.
Baru pada 18 Agustus, Panglima Eisenhower mengeluarkan keputusannya. Memang setelah berdiskusi dengan Kepala Staf AD Amerika, Jenderal George C. Marshall, diputuskan Jenderal Patton tak serta-merta dipecat. Meski begitu, Panglima Eisenhower tetap merasa harus “menghukum” Jenderal Patton.
“Pada 18 Agustus Eisenhower memerintahkan pasukan Tentara AD ke-7 di bawah Patton dipecah. Sebagian kecil tetap menjaga garnisun di Sisilia, sementara sebagian besarnya dipindahkan ke pasukan Tentara AD ke-5 pimpinan Letjen Mark W. Clark. Alasan strategisnya, pasukan AD ke-5 akan dipersiapkan untuk invasi ke daratan utama Italia yang dijadwalkan dilancarkan pada September,” tulis Martin Blumenson dalam The Patton Papers: 1940-1945.
Baca juga: Anzio, Palagan Sengit Merebut Roma
“Hukuman” lainnya yang tak kalah penting adalah Jenderal Patton harus meminta maaf kepada kedua prajurit yang ditamparnya dan dicekiknya tadi. Maka pada 21 Agustus, ia memanggil Prajurit Bennett ke markasnya. Jenderal Patton meminta maaf yang ditandai dengan jabat tangan.
Pun kepada Prajurit Kuhl. Jenderal Patton memanggilnya ke kantornya dua hari berselang. Dengan ditemani perwira medis yang juga jadi saksi penamparannya, Kolonel Donald E. Currier, Kuhl menerima permintaan maaf Jenderal Patton yang diiringi saling jabat tangan.
“Patton seorang jenderal yang hebat. Saat itu saya bahkan tidak tahu seberapa sakitnya saya,” kenang Kuhl, dikutip Blumenson.