Masuk Daftar
My Getplus

Akhir Pemerintahan Perempuan di Aceh

Sultan perempuan naik takhta untuk menggantikan pemerintahan raja yang kejam. Namun itu bukannya tanpa perlawanan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 20 Sep 2018
Taman di Banda Aceh yang diberi nama Shulthanah Shafiatuddin untuk menghormati jasanya. (tempat.me)

KETIKA Thomas Bowrey tiba, Aceh sudah begitu lama diperintah seorang ratu. Begitu lama hingga rakyat mual ketika menyebut raja. Sebabnya, pemerintahan tirani raja terakhir mereka. Berdasarkan cerita, sang raja adalah seorang tiran paling kejam yang pernah ada. 

“Patut dikagumi betapa rakyat rela membiarkan sang raja hidup begitu lama dan memerintah sedemikian kejam,” catat pedagang asal Inggris itu. 

Di Aceh, empat putri raja duduk di singgasana secara beruntun setelah 1641. Padahal, di sanalah Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari disusun. Di kitab itu termuat kalau raja harus laki-laki. 

Advertising
Advertising

Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia juga menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana.

Baca juga: Sultan Aceh menerapkan hukuman kejam terhadap orang-orang bersalah

Namun, agaknya pemerintahan raja yang kejam sebelumnya menjadi salah satu alasan yang membuat rakyat permisif terhadap pemerintahan seorang sultanah. Meski itu bukan berarti pemerintahan perempuan di Aceh tanpa tantangan berarti.

Kondisi sosial masa itu dicatat dengan cukup lengkap oleh para penjelajah asing di Aceh. Menurut Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe, Bowrey berdagang di kawasan Samudera Hindia pada 1670-an. Dia tinggal di Aceh saat ratu kedua mangkat pada 1678. Artinya, dia datang saat Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin memerintah (1675-1678).

Bowrey mendengar, rakyat begitu waspada setelah Sultan Iskandar Thani mangkat. Itu sebelum istrinya, ratu pertama, Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675) memerintah di kerajaan Aceh. Mereka menjaga istana, kota, garnisun, dan semua benteng dengan ketat dalam upaya melindungi diri dari segala bentuk pemerintahan seorang raja.

Aturan Bagi Sultanah

Orang-orang bijak lalu berkumpul. Mereka memilih ratu sebagai pewaris takhta. Namun, mereka menetapkan beberapa aturan agar pemerintahan ratu tak perlu ditakuti. Pertama, ratu tak boleh menikah dan tak boleh bergaul dengan laki-laki. Kedua, tidak satupun lali-laki di kerajaan diperbolehkan melihat rupa sang ratu.

Ketiga, para bangsawan, hakim, dan petinggi lainnya tidak boleh melanggar undang-undang atau aturan yang berlaku. Mereka bahkan tak boleh melakukan apa pun tanpa seizin atau kehendak ratu. Keempat, pelayan ratu tak boleh kurang dari 500 orang. Mereka terdiri dari perempuan dan kasim.

Kendati banyak aturan yang membatasi, para petinggi kerajaan rupanya sangat hormat dan patuh pada ratu. Tak ada yang berani bertindak atau menangani suatu hal penting tanpa memberitahu ratu. 

Sesuai aturan, tak seorang pun lelaki, perempuan maupun anak-anak diperbolehkan melihat rupa sang ratu. Kecuali, para perempuan dan kasim yang merupakan pelayannya. Pun beberapa kasim yang menjadi kepala penasihatnya diizinkan untuk berinteraksi langsung dengan ratu. Para kasim adalah orang yang cerdas yang bertugas memberi saran kepada ratu ketika hendak membuat keputusan. 

Konon, kata Bowrey, pelayan ratu berjumlah 100 kasim dan 1.000 perempuan tercantik yang ada di kota atau desa. Para pelayan perempuan ini tampil di muka publik. “Menurut saya, banyak dari mereka yang sangat cantik dan berkulit lebih putih daripada kebanyakan penduduk asli yang ada di sini,” katanya.

Selain mereka, jika ada yang punya urusan dengan ratu, harus melalui penasihat ratu. Misalnya, Orangkaya tertinggi atau para Orangkaya lainnya akan datang ke istana. Ia akan menyebutkan urusannya kepada penasihat ratu yang akan menyampaikannya kepada ratu.  Bila ratu mengizinkan akan mengirimkan cap sebagai tanda mereka diterima. 

“Apabila cap itu tak diberikan, berarti mereka tak boleh lagi mengajukan hal itu dan harus beralih ke urusan lain,” tulis Bowrey. 

Pada 1675, Ratu Tajul Alam Safiyatuddin wafat. Usianya sudah lanjut. “Saya sedang ada di Aceh ketika ratu mangkat, dan saya menyaksikan bagaimana rakyat berkabung untuknya,” ujar Bowrey.

Baca juga: Tak seperti ayah dan suaminya, Sultanah memilih menjaga kesehatan kas kerajaan

Ketika putri Iskandar Muda itu mangkat, para pejabat istana sudah menunjuk penggantinya. Dia berusia kurang dari 60 tahun ketika dinobatkan.

“Rakyat kemudian menyadari fakta bahwa kematian sang ratu tak menyebabkan pergantian jenis kelamin atas siapa yang kelak memerintah,” kata Bowrey. 

Akhirnya, sebagian besar penduduk desa yang tinggal sekitar 20 atau 30 mil (kurang lebih 30-50 km) dari Aceh menentang sistem pemerintahan seperti ini. Mereka menginginkan seorang raja. Menurut mereka pawaris takhta sebenarnya masih hidup dan punya beberapa putra. Kepadanya mereka akan tunduk. Pewaris itu ada bersama penduduk di pedalaman.

Dialah dalang di balik penentangan itu. Dia kerap menyebarkan prasangka buruk tanpa bukti di kota maupun desa. 

Menolak Sultanah

Tak cuma Bowrey, penjelajah dan navigator berkebangsaan Inggris, William Dampier juga mencatat kehidupan sosial Aceh di bawah ratu. Dia tinggal selama beberapa bulan di Aceh pada 1688-1689 dan membuat catatan perjalanan. Di dalamnya berisi soal konflik setelah ratu ketiga mangkat. 

Ketika itu, Sultanah Inayat Syah Zakiyatuddin (1678-1688) sedang memerintah. Dia menggantikan Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1678). Dalam catatan Dampier, ratu Aceh adalah perawan tua yang dipilih dari keluarga kerajaan. Dia mengaku tak paham bagaimana upcara pemilihan itu berlangsung. Pun soal siapa yang memilihnya. “Tetapi saya menduga mereka adalah para orangkaya,” katanya. 

Setelah terpilih, sang ratu terikat dengan istananya. Dia jarang melakukan perjalanan ke luar negeri. Ratu juga jarang terlihat oleh orang kelas bawah kecuali beberapa pelayannya.  Namun, sekali dalam setahun dia akan berpakaian putih dan duduk di atas gajah. Dalam sebuah arak-arakkan, ia akan pergi ke sungai untuk mandi.

“Tetapi saya tidak tahu apakah rakyat jelata diperbolehkan menonton sang ratu dalam prosesi seperti ini,” tulisnya.

Baca juga: Di masa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan

Zakiyatuddin wafat pada 1688. Waktu dia mangkat, Dampier tengah dalam perjalanan menuju Tonkin (kini di Vietnam utara). 

Zakiyatuddin digantikan Sultanah Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699.  Banyak orangkaya yang tidak menyetujui pemilihan itu. Mereka menghendaki kembali laki-laki naik takhta.

Empat orangkaya yang hidup jauh dari istana angkat senjata demi menentang ratu baru dan orangkaya lainnya. Mereka pun menghimpum 5.000-6.000 tentara untuk menyerbu kota. 

“Keadaan ini terus berlanjut. Bahkan ketika kami tiba di sini dan beberapa lama setelahnya,” jelas Dampier. 

Menurut Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, sang ratu akhirnya mengundurkan diri pada 1699. Namun, bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Makkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala.

“Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid.

Baca juga: Empat perempuan secara berturut-turut menjadi sultanah di Kesultanan Aceh

 

TAG

Sejarah-Aceh Sejarah-Islam Sejarah-Perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Ganden Sang Ksatria Marsose dari Eropa sampai Perang Aceh Tjoet Nja’ Dhien Petarung Konsisten Kala Khalifah Umar jadi Korban Penusukan Perempuan-Perempuan Bersenjata Antara Perempuan dan Politik Pertempuran Surabaya dari Mata Perempuan Dapur Umum Lasmidjah Hardi