Ma Changqing dan Islamofobia di Cina
Islamofobia di Cina bukanlah persoalan anyar. Ketidaksukaan terhadap Islam dan atau muslim sudah sejak era kedinastian.
Rupanya, esai Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo berjudul “Ta’ammalāt haul al-Taṭarruf al-Dīnī wa al-Islāmūfūbiyā fī al-Ṣīn” (Refleksi tentang Ekstremisme Agama dan Islamophobia di Cina) di harian Al-Hayat terbitan 30 Agustus 2017 yang menyatakan “beberapa tahun belakangan Islamophobia tengah mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan di Cina,” adalah benar adanya.
Buktinya, netizen Cina sempat dibikin geger oleh satu video pendek yang diunggah di Weibo, media sosial mirip Twitter, pertengahan Juli kemarin. Dalam rekaman gambar dimaksud, terlihat kerumunan manusia, rerata berkopiah putih, memadati jalan raya. Jumlahnya ditaksir lebih 100 ribu orang. Biarpun mereka tertib dan bukan berkumpul untuk unjuk rasa laiknya Gerakan 212 di Indonesia, tapi komentar berupa hujatan sungguh riuh sekali di sana. Apalagi setelah diketahui yang sedang diarak orang-orang itu adalah jenazah Ma Changqing, ulama terkemuka Kota Xining, Provinsi Ningxia, yang wafat di usia 83 tahun pada 16 Juli 2018.
Ma Changqing memang menuai kontroversi di kalangan masyarakat Cina sejak 2014 silam. Pemicunya yaitu viralnya potret dirinya yang diambil ketika mengikuti acara pembukaan Sidang ke-2 Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat Cina (CPPCC) ke-12 yang dihelat di Beijing pada 3 Maret 2014. Di situ, nampak Ma Changqing sebagai satu-satunya orang yang berpeci, duduk menyandar ke kursi dengan kepala lurus menghadap ke depan, padahal semua orang di sekitarnya berdiri dan menunduk mengheningkan cipta buat korban terorisme di stasiun kereta api Kunming, Provinsi Yunnan, dua hari sebelumnya.
Laman Komisi Kesehatan Nasional Cina (2/3/2014) memerinci, aksi penyerangan asal tebas pakai senjata tajam yang dilakoni delapan orang muslim bersuku Uighur pimpinan Abdurëhim Qurban tersebut, menelan sedikitnya 29 korban jiwa dan 143 lainnya luka-luka.
Sontak, warganet Cina beramai-ramai mengecam Ma Changqing yang dinilai tidak punya empati. Mereka –terlebih para muhei (penghitam Islam), sebutan untuk yang selalu nyinyir menjelek-jelekkan Islam di Cina– menyimpulkan, keengganan Ma Changqing untuk bersama-sama mengheningkan cipta adalah bukti nyata bahwa Islam merupakan agama yang merestui radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Sekalipun pada 7 Maret 2014 Wen Wei Po, koran milik pemerintah pusat yang berbasis di Hong Kong, menuliskan laporan bahwa Ma Changqing tidak ikut mengheningkan cipta lantaran tidak memungkinkan berdiri karena kakinya cedera, tetapi netizen tetap tidak bisa menerima. Bagi mereka, andai pun benar tidak leluasa berdiri, Ma Changqing seyogianya turut menunduk sebagai bentuk simpati.
Selesai masalah Kunming, Ma Changqing kembali menjadi sorotan khalayak selepas terjadi penggerudukan toko kue berlabel halal di Xining pada 1 Mei 2015, bakda salat Jumat. Sebagaimana keterangan di situs web Pemerintah Kota Xining (2/5/2015), muslim setempat tersulut amarahnya karena menengarai adanya unsur babi dalam produk yang dijual mereka.
Alih-alih mengutuk, Ma Changqing dalam ceramahnya pada 2 Mei 2015 justru menilai penyerangan tersebut adalah “perwujudan dari amal makruf nahi munkar” yang menentukan apakah muslim akan menjadi “orang yang dirahmati atau dimurkai Allah.” Dia lantas meminta pihak berwenang menindak toko-toko nakal yang memasang logo halal pada barang yang sebenarnya tidak memenuhi syarat kehalalan sesuai syariat Islam. Ma Changqing yang notabene anggota tetap CPPCC, juga mendesak pemerintah untuk segera merancang undang-undang jaminan produk halal di negaranya.
Begitulah, di mata pengikutnya, Ma Changqing dikenang sebagai ulama tegas nan teguh memegang prinsip akidah yang diimani dengan berani dan tanpa kompromi. Sikap demikian, diakui Ma Changqing dalam Harian Rakyat edisi luar negeri (Renmin Ribao haiwai ban) cetakan 17 Agustus 2012, dipengaruhi oleh keluarganya, terutama bapak dan kakeknya.
Untuk diketahui, ayah Ma Changqing bernama Ma Yudao, ahli uṣūl al-fiqh. Dia tak lain dan tak bukan ialah putra kedua Ma Wanfu, pendiri sekte Yihewani yang sedikit banyak terinspirasi gerakan Wahabi di Arab Saudi. (Baca: Wahabisme di Cina dan Riwayat Ulama Wahabi Nasionalis di Cina).
Walakin, apa yang dianggap sebagai ketaatan mengamalkan ajaran agama oleh muslim, acap dipersepsikan sebagai simtom ketertutupan, kekakuan, kejumudan, dan ekslusivitas oleh masyarakat Cina kebanyakan.
Stereotip yang cenderung memukul rata itu, selain dibentuk oleh beberapa pengalaman empiris seperti disebutkan di atas, disokong pula oleh muslim yang –sebagaimana pernyataan Ma Jian yang dikutip Xue Qingguo dalam artikel di muka– pada kenyataannya memang “lebih memilih hidup di lingkaran sempit dirinya” karena mengira dengan berbaur bersama orang Cina “akan berdampak buruk terhadap keimanan.”
Padahal, lanjut Ma Jian (1906–1978) yang merupakan penerjemah Alquran paling otoritatif di Cina, mayoritas muslim Negeri Panda “kurang memahami Islam secara menyeluruh.” Perkara remeh-temeh semacam apa hukumnya laki-laki memanjangkan janggut, bolehkan wanita mencukur pendek rambutnya, bagaimana berbusana yang Islami, dan sejenisnya, kerap diperdebatkan tiada henti oleh sesama muslim. Ujung-ujungnya, hanya karena urusan sepele itu, berbuntut pada perselisihan, permusuhan, bahkan pembunuhan karena kebodohan yang terus dipelihara.
Celakanya, di waktu yang sama, pemikiran-pemikiran fundamentalisme agama mulai merasuki muslim Cina. Tak sedikit, kata Xue Qingguo, yang terpengaruh Sayyid Qutb (1906–1966) dan Abul A‘la Maududi (1903–1979) sehingga menolak kontekstualisasi dan sikap kritis terhadap teks-teks ilahi. Akibatnya, pola pikir mereka kian tidak fleksibel dan buntu pada dua pilihan saja: halal atau haram, muslim atau kafir.
“Walhasil, citra Islam berubah dari agama yang terbuka ke yang tertutup, dari yang toleran ke yang intoleran, dari yang moderat ke yang ekstrem, dari yang memudahkan ke yang menyulitkan, dari yang pernah menorehkan prestasi luar biasa di semua cabang ilmu ke yang bahasannya tidak melebihi perihal jenggot, cadar (niqāb), pakaian, dan lain-lain,” sesal Xue Qingguo.
Namun demikian, Islamofobia di Cina bukanlah persoalan anyar. Ketidaksukaan masyarakat Cina terhadap Islam dan/atau muslim sudah berkecambah sejak era kedinastian. Bahkan, pada zaman dinasti Yuan (1271–1368) di mana muslim banyak menduduki jabatan penting pemerintahan, mereka tetap tak luput dijadikan sebagai bahan olok-olok berbau rasisme.
Jilid 28 Catatan Sehabis Bertani (Chuo Geng Lu) yang ditulis oleh sejarawan cum sastrawan akhir dinasti Yuan Tao Zongyi, misalnya, menceritakan orang-orang Cina mencemooh muslim yang kala itu didominasi oleh keturunan Arab, Persia, dan Asia Tengah berhidung mancung dan bermata berwarna sebagai si “belalai gajah” (xiang bi) dan si “mata kucing” (mao jing). Ya, persis dengan orang-orang Indonesia mencibir etnis Tionghoa dengan, maaf, si “sipit”.
Memasuki dinasti Ming (1368-1644) ketika sudah mulai banyak kawin-mawin muslim dengan masyarakat lokal, ejekan fisik pun berganti pada penghinaan terhadap makanan yang memang menjadi pembeda paling mencolok antara keduanya: babi. Catatan Penerjemah Kaisar Ming (Huang Ming Xiangxu Lu) jilid 7 yang ditulis oleh Mao Ruizheng, mentertawai muslim dilarang makan daging babi karena, ngapunten, “nenek moyangnya dilahirkan dari persetubuhan keledai dan babi” (qi shi lu shi jiaogou er sheng).
Masyarakat dinasti Qing (1636–1912) merangsek lebih dalam lagi ke ajaran Islam sebab dianggap bertentangan dengan keyakinan Cina. Islam, sebagaimana dituturkan Sekretaris Agung Chen Shiguan kepada Kaisar Yongzheng pada September 1724 yang terangkum dalam bagian pertama jilid 9 Kumpulan Usul Pilihan Dinasti Qing (Qing Qi Xian Lei Zheng Xuan Bian) susunan Li Huan (1827–1891), “tidak memuja dewa-dewa [kita], malah mengultuskan yang lain. ... Mereka membahayakan masyarakat. Karena itu, mohon baginda perintahkan untuk murtad (chu jiao), dan hancurkan masjid-masjidnya.”
Meskipun Kaisar Yongzheng (1678–1735) tidak mengabulkan permintaan Chen Shiguan, tapi dia menegaskan bahwa Islam adalah agama yang “pada dasarnya memang tidak ada satu pun hal baik yang layak diteladani” (yuan yi wu ke qu). Makanya, Kaisar Yongzheng meneruskan, kendati “sudah masuk ke Cina sejak lama, tapi agama itu tidak diagungkan oleh masyarakat Cina, semua orang Cina malah merendahkannya” (qi lai yi jiu, qie bi jiao yi bu wei Zhongtu zhi suo chongshang, lü jie bi bo zhi).
Bukan cuma mendiskreditkan agamanya, di masa dinasti Qing, penganut Islam juga dicap sebagai kaum yang bertabiat “bengis, barbar, dan brutal” (xiongwan siheng wuji). Pada 1751, contohnya, Gubernur Shaanxi Chen Hongmou (1696-1771) sempat mengesahkan aturan khusus yang dinamainya “memperadabkan dan menjinakkan muslim” (hua hui huihui) karena “orang Cina takut kepada muslim seperti takutnya kepada harimau” (Han ren wei huihui ru hu).
Kenapa? Ternyata Chen Hongmou, dalam jilid 30 karyanya, Manuskrip Tersimpan di Aula Peiyuan (Peiyuan Tang Ou Cun Gao), punya alasan yang sama dengan masyarakat Cina sekarang: muslim sering membuat kerusuhan, muslim sering men-sweeping pedagang daging babi di pasar, muslim sering berantem karena problem agama.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Baca juga:
Muslim Zaman Dinasti Tang
Islam di Masa Kedinastian Cina
Keturunan Rasulullah di Cina
Muslim Keturunan Konghucu
Tambahkan komentar
Belum ada komentar