Keturunan Rasulullah di Cina
Keturunan Nabi Muhammad dipercaya menjadi gubernur pertama Provinsi Yunnan, Cina. Dicintai kaisar dan rakyatnya sehingga kepergiannya diratapi.
SEJAK ceramah bekas Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ihwal QS al-Maidah ayat 51 berbuntut demo besar berjilid-jilid yang dipimpin seorang habib pentolan suatu ormas berlabel Islam, hingga kini masih ada saja yang tak henti-hentinya membenturkan hampir segala hal yang berbau Cina dengan Islam (untuk meraih kepentingan diri dan atau kelompoknya) meski Ahok sudah dipenjara sesuai desakan mereka.
Padahal, di Cina yang merupakan negeri moyang Ahok berasal, keturunan Nabi Muhammad –kita biasa menyebutnya “habib” atau “sayid”– sudah hampir seribu warsa berbaur tanpa masalah dengan masyarakat setempat yang mayoritas kafir kalau dilihat dari kacamata Islam. Belum lagi, dahulu, leluhur habib-habib itu malah mengabdi kepada kaisar Cina yang tentu tak seiman dengannya. Dan, sekarang, sebagian anak-pinak sang habib tinggal di kampung yang resmi dijadikan destinasi wisata religi oleh pemerintah Cina yang menganut komunisme. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
Kisah bermula ketika pasukan Genghis Khan pada 1218 mulai menginvasi Kekaisaran Khwarezmia (1077-1231), dinasti Islam Sunni bentukan Anushtegin Gharchai yang pada Abad Pertengahan Tinggi menguasai Asia Tengah dan wilayah Persia Raya lainnya. Saat mereka menggempur kota Bukhara, seorang bernama Zhansiding Wumaer menyerahkan diri dengan membawa ribuan prajurit berkuda, macan tutul (wenbao), dan elang putih (baigu). Genghis Khan lantas menggabungkan laskar milik Zhansiding Wumaer itu dengan bala tentaranya. Demikian tercatat dalam bab Biografi Saidianchi Zhansiding (Saidianchi Zhansiding Zhuan) yang termaktub dalam Sejarah Yuan (Yuan Shi), kitab tarikh resmi Dinasti Yuan yang selesai dikompilasi pada 1370.
Zhansiding Wumaer, sebagaimana diperkenalkan Yuan Shi, adalah “Bieanboer zhi yi”: keturunan Bieanboer. “Bieanboer” merupakan transkripsi dari apa yang dalam bahasa Persia sebut sebagai “Paighambar” yang berarti nabi atau rasul wabilkhusus Muhammad. Karena statusnya tersebut, di negerinya, lanjut Yuan Shi, Zhansiding Wumaer tidak dipanggil langsung dengan namanya, melainkan dengan sebutan “saidianchi”. “Saidianchi”, masih menurut Yuan Shi, adalah sapaan hormat “laiknya yang dipakai di Cina untuk kalangan bangsawan.”
Belakangan diketahui dari Silsilah Keluarga Saidianchi (Saidianchi Jiapu) yang ditemukan sejarawan Li Shihou pada 1984 di Yunnan, Saidianchi Zhansiding Wumaer tak lain adalah keturunan ke-30 Nabi Muhammad dari garis Housaini (Husain), putra kedua dari pernikahan putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib. Na Weixin dalam karya monumentalnya, Keluarga Bangsawan Saidianchi Zhansiding (Saidianchi Zhansiding Shijia, 1992), spesifik merinci Saidianchi Zhansiding adalah keturunan ke-30 Nabi Muhammad dari garis Yahya bin Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali. Saidianchi Zhansiding Wumaer dipastikan ialah pelafalan bahasa Mandarin untuk Sayid Syamsuddin Umar alias Sayid Ajal Syamsuddin Umar al-Bukhari.
Sejak bergabung dengan Genghis Khan, karier Sayid Syamsuddin terus menanjak. Mulai dari pejabat biasa hingga akhirnya saat Kubilai Khan, cucu Genghis Khan, mendirikan Dinasti Yuan, dia dipercaya menjadi gubernur pertama Provinsi Yunnan selepas penaklukan Dali, kerajaan berbasis Buddhis yang berkuasa di sana. Kubilai Khan sengaja menunjuk Sayid Syamsuddin karena, kata Kubilai Khan sendiri kepada Sayid Syamsuddin seperti dikutip Yuan Shi, “[…] dahulu Yunnan dipimpin oleh orang yang tidak tepat sehingga rakyatnya tidak makmur sentosa. Aku ingin memilih orang yang tulus (hou) untuk menjadi pemimpin di situ. Dan, dalam hal ini tak ada orang lain yang lebih cakap darimu.”
Sayid Syamsuddin resmi diangkat sebagai gubernur Yunnan pada 1274. Sepanjang pemerintahannya, perekonomian dan pendidikan berkembang pesat. Kendati berstatus sebagai sayid, dia tidak sibuk mengkampanyekan superioritas agamanya apalagi mengkafir-kafirkan tradisi setempat yang tidak selaras dengan keyakinannya. Bahkan, alih-alih fokus menyejahterakan masjid, Sayid Syamsuddin malah membangun kelenteng Khonghucu (Kongzi miao) lengkap dengan institusi pendidikan untuk mengajarkan Konfusianisme (Mingluntang). Karena itu, dia tidak hanya dicintai oleh kaisar tapi juga oleh rakyatnya. Tak pelak, ketika meninggal dunia di usianya yang ke-69, rakyatnya meratapi kepergiannya. Kaisar Dinasti Yuan juga mengeluarkan titah agar segala aturan yang dibuat oleh Sayid Syamsudin selama enam tahun memerintah tidak boleh diubah. Dia dimakamkan di Yunnan. Pusaranya masih terpelihara.
Setelah kematian Sayid Syamsuddin, Nashruddin (Nasulading), anak sulungnya, ditunjuk untuk menggantikan posisi ayahnya di Yunnan. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Semasa di Yunnan, Nashruddin menggalakkan penghematan anggaran dengan memangkas pejabat-pejabat yang kedudukannya menurutnya tidak perlu. Di waktu yang sama, dengan menempatkan tenaga ahli di bidangnya masing-masing, dia mampu menaikkan pendapatan daerahnya. Nashruddin pada 1291 dipindah-tugaskan menjadi gubernur provinsi Shaanxi –Sayid Syamsuddin pada 1264–1273 juga pernah bekerja di sini– sampai wafat setahun kemudian. Dia meninggalkan 12 anak. Tapi, dalam Yuan Shi, hanya enam orang yang disebut namanya: Boyan, Wumaer (Umar), Dafaer (Ja’far), Huxian (Husain), Shadi (Sa’adi), Arong, dan Boyanchaer.
Kelak, keturunan Nashruddin yang seiring perkembangan zaman membentuk komunitas muslim bermarga “Na”, ada yang bermigrasi dari Shaanxi ke Ningxia. Di daerah otonom suku Hui yang mayoritas beragama Islam inilah, tepatnya di kabupaten Yongning kecamatan Yanghe, mereka terhimpun dalam satu desa bernama Najiahu –secara harfiah bisa diartikan “keluarga Nashruddin”. Penelitian lapangan Yang Zhanwu, guru besar Ningxia University, yang diterbitkan dalam buku berjudul Kampung Hui di Cina: Najiahu (Zhonghua Hui Xiang: Najiahu, 2012) menyebut penduduk Najiahu pada 2011 sebanyak 4.723 orang. Sebagian besar dari mereka adalah kaum Sunni bermazhab Hanafi pengikut sekte ortodoks Gedimu (atau al-Qadim dalam bahasa Arab) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Cina klasik terutama falsafah Konfusius.
Barangkali karena begitu, pemerintah Cina sejak 2002 mengembangkan Najiahu sebagai tempat melancong yang bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia “suasana persatuan yang harmonis antarsuku bangsa Cina.”
Andai saja habib-habib 212 yang getol berunjuk rasa juga mau bersatu dalam perbedaan laiknya sayid-sayid Ningxia. Sebab, kata Sukarno dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, “Persatuanlah yang bisa membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka.”
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar