Riwayat Ulama Wahabi Nasionalis di Cina
Ulama Wahabi terkemuka di Cina ini berpandangan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
DI Indonesia, kita kerap menjumpai pemuka agama yang disinyalir berhaluan Wahabi, mempersoalkan keabsahan nasionalisme dalam Islam. Sebaliknya, laiknya kiai-kiai NU (Nahdlatul Ulama), seorang imam Wahabi kondang di Cina ini malah berpandangan bahwa ḥubbu al-waṭan mina al-īmān: cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Dia juga mengecap muslim yang tidak cinta pada tanah airnya adalah “muslim yang palsu imannya” (weixinzhe). Sebab, baginya, sebagaimana ditulis Hu Long dan Yang Wenjiong dalam artikel yang dimuat jurnal Muslim Cina (Zhongguo Musilin) volume 3 tahun 2005, hubungan muslim dan tanah air bagaikan bulu dan kulit: pi zhi bu cun, mao jiang yan fu, meiyou guojia na hai you zongjiao (jika tak ada kulit, di mana bulu akan menempel, jika tak ada negara, mana mungkin ada agama).
Perkenalkan, namanya Hu Songshan alias Hu Zhenlin. Dia dilahirkan di Tongxin, kabupaten yang kini berada di bawah administrasi Kota Wuzhong, Daerah Otonom Suku Hui Ningxia, pada 23 November 1879. Ayahnya, Umar (Oumaer), adalah mursyid Tarekat Naqsyabandiyah aliran Khufiyya (Hufeiye) di daerahnya. Masyarakat biasa memanggil Umar dengan sapaan hormat Hu ye laorenjia, aba Hu sepuh.
Alkisah, kala ibunya melahirkan Hu Songshan, Ma Dong (1822–1898), mursyid Tarekat Khufiyya di Lanzhou, Provinsi Gansu, yang merupakan guru Hu sepuh, kebetulan bertandang ke rumahnya. Ma yang girang akan kelahiran Hu junior, memberinya nama Islami (jing ming) Sa‘aduddin (Saierdunding), dan mengizinkan orang tuanya menjadikan Sa‘ad sebagai penerus kepemimpinan Tarekat Khufiyya, nanti.
Restu gurunya tersebut menjadikan Hu sepuh mantap mengajarkan pelbagai ilmu agama kepada Hu Songshan sejak belia. Selain diajar langsung oleh dirinya, Hu sepuh juga menyekolahkan Hu Songshan ke madrasah diniah (jingtang jiaoyu) di masjid-masjid Tongxin. Sejak Hu Dengzhou (1522–1597) pada akhir pemerintahan Dinasti Ming menggagas berdirinya madrasah diniah di Shaanxi, Ningxia khusunya Tongxin memang menjadi lokus berkembangnya madrasah diniah di Cina bagian barat daya.
Pada 1897, ketika usia Hu Songshan menginjak 18 tahun, Hu sepuh mengumumkan kepada jemaatnya bahwa keketuaan Tarekat Khufiyya yang dipegangnya akan diserahkan kepada putra satu-satunya itu. Hu Songshan tak mau. Dia lebih memilih melanjutkan studi ke Masjid Nannigou di Kabupaten Haiyuan yang diasuh oleh Wang Naibi ahong (ahong adalah kata sapaan bagi ulama di Cina yang diserap dari bahasa Persia akhoond). Wang Naibi merupakan salah satu ahong masyhur Yihewani, aliran Islam di Cina bentukan Ma Wanfu yang terinspirasi paham Wahabi. Berkat sokongan penguasa yang notabene tentara, Yihewani gencar meluaskan pengaruhnya mulai dari Gansu, Qinghai, hingga Ningxia.
Tak pelak, setelah dua tahun belajar kepada Wang Naibi, Hu Songshan terpikat mengamini ajaran-ajaran sekte yang amat menentang tarekat tersebut. Karenanya, Hu Songshan benar-benar ogah meneruskan “karier” bapaknya. Dia memutar haluan menjadi dai Yihewani yang berapi-api sesudah pada 1899 diberi ijazah (chuanyi) oleh Wang Naibi.
Setahun kemudian, 1900, Hu sepuh meninggal dunia. Seperti biasa, pengikut tarekat di Cina akan membangun bangunan mirip menara dengan kupola (disebut gongbei sebagai transkripsi dari gedung serupa yang disebut gonbad atau dargah dalam bahasa Persia) di pusara mursyidnya untuk digunakan sebagai tempat ziarah mencari berkah. Laku tabarruk macam itu membikin masygul Hu Songshan karena, berdasar doktrin Yihewani, adalah syirik. Tak tanggung-tanggung, pada suatu malam di tahun 1913, dia membongkar gongbei yang dibangun jemaah buat ayahnya.
Vandalisme Hu Songshan sudah barang tentu tidak bisa diterima para pengamal tarekat. Mereka tersulut sumbu amarahnya dan segera meringkus Hu yang kala itu menjadi pemangku Masjid Besar Xiaohe di Kabupaten Guyuan. Beruntung, dia berhasil diselamatkan dari amuk massa oleh Ma Yuanzhang, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah aliran Jahriyya (Zheherenye) yang melarikan diri dari Yunnan selepas kegagalan Pemberontakan Panthay (1856–1873).
Seperti diceritakan Ma Zhen dalam “Kisah Tersembunyi Muslim Terkenal Ningxia Ma Yuanzhang” (Ning Xia Yisilanjiao Mingren Ma Yuanzhang Yishi) yang terangkum dalam Literatur Budaya dan Sejarah Yinchuan (Yinchuan Wen Shi Ziliao) jilid 4 terbitan September 1988, Ma Yuanzhang lantas memperingatkan Hu Songshan supaya “lebih giat lagi mengaji kitab.” Sebab, menurut Ma, Hu berbuat begitu karena “kitab yang dikaji terlalu sedikit.”
Kekesalan orang-orang baru mereda setelah Hu Songshan menyanggupi permintaan mereka untuk sementara berhenti berdakwah. Hu, tulis Ye Zhenggang dalam “Ulama Yihewani Terkemuka Ningxia Hu Songshan” (Ningxia Yihewani Zhuming Jingxuejia Hu Songshan) yang terhimpun dalam buku Kumpulan Tulisan Tentang Islam di Cina Era Dinasti Qing (Qingdai Zhongguo Yisilanjiao Lunji, 1981), beralih profesi menjadi penjahit terhitung sejak 1913 hingga 1916.
Selama sekitar tiga tahun menekuni pekerjaan barunya itu, Hu Songshan barangkali sambil merenungkan bahwa amal makruf nyambi mungkar sebagaimana dilakukannya, bukanlah cara yang tepat untuk mengajak orang lain mengamini kebenaran yang diyakininya. Buktinya, ketika pada 1916 kembali menjadi pengajar di Masjid Bafang, Tongxin, Hu tak lagi menggebu-gebu. Dia, meski tetap berpegang teguh pada ajaran Yihewani, justru menyerukan kepada siapa pun untuk “beribadah sesuai keyakinan masing-masing dan tidak saling mengintervensi” (ge gan ge de, hu bu ganshe). Hu berubah menjadi Wahabi yang moderat.
Bahkan, dicatat Hu Xibo dalam apendiks disertasi Di Liangchuan yang dibukukan dengan judul Studi Pemikiran Hu Songshan (Hu Songshan Sixiang Yanjiu, 2014), Hu Songshan pada 1917 menjadi ketua Asosiasi Pengembangan Islam Cina (Zhongguo Huijiao Jujinhui) cabang Tongxin.
Kita tahu, Asosiasi Pengembangan Islam Cina adalah organisasi muslim besar dan berpengaruh di awal abad ke-20 yang berfokus pada persatuan antarsuku dan modernisasi pendidikan keislaman di Cina. Pengejawantahannya, sesuai pasal 2 Anggaran Dasar-nya, paguyuban yang didirikan di Beijing oleh cendekiawan muslim Wang Haoran pada 7 Juli 1912 ini menghendaki “di dalam tempat belajar muslim juga mengajarkan bahasa Mandarin dan pelajaran lain yang diperlukan.” Padahal, Yihewani jelas-jelas tak ada kompromi dengan isu pembaruan dan hal-hal yang berbau Cina. Legitimasi Yihewani dibangun di atas penolakannya terhadap sekte lama Gedimu dan Sufi/tarekat yang dianggap mengamalkan Islam tak murni karena terlampau banyak mengalami “Cinaisasi”.
Perubahan pemikiran Hu Songshan kian mencolok setelah berhaji. Pada 1925, dia berangkat ke Tanah Suci dengan menumpang kapal Inggris dari Shanghai. Dalam perjalanan menunaikan Rukun Islam kelima itu, Hu menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana warga negara Cina, tak peduli apa suku dan agamanya, diperlakukan diskriminatif oleh negara yang jauh lebih maju. Keterbelakangan Cina, menurutnya, adalah penyebab utamanya. Dia berkesimpulan, tak ada jalan lain agar bangsa Cina juga dihormati kecuali dengan memajukan negaranya. Caranya? Lewat pendidikan. Dia tampaknya sepakat dengan peringatan Wang Haoran dalam “Pengumuman Kantor Pusat Asosiasi Pengembangan Islam Cina” (Zhongguo Huijiao Jujinhui Benbu Tonggao, 1914), “[di dalam] arus besar dunia, [negara yang] tidak mementingkan pendidikan, tidak akan bertahan lama.”
Benar saja, sekembalinya dari Makkah pada 1926, sembari mengajar di Masjid Changde, Provinsi Hunan, Hu Songshan giat belajar bahasa Mandarin. Dan, ketika pulang ke Tongxin untuk mengajar di Masjid Bafang lagi pada 1927, “kebandelan” Hu kambuh. Dia, kendati ditentang ahong lain, terang-terangan menambahkan bahasa Mandarin sebagai mata pelajaran yang wajib dipelajari manla (sebutan untuk santri madrasah diniah di Cina) selain 13 kitab seputar bahasa (Arab dan Persia), tafsir (Alquran dan Hadis), filsafat, tauhid, dan fikih. Hu berpendapat, belajar ilmu agama saja tidaklah cukup. Seiring berkembangnya zaman, muslim harus dilengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan mutakhir yang, kebetulan, kebanyakan ditulis dalam bahasa Mandarin di negerinya tinggal. Apalagi, supaya Islam bisa dipahami lebih luas di Cina, tidak mungkin mengesampingkan perlunya ada satu lingua franca sebagai mediatornya.
Karena itu, ketika di tahun yang sama Hu Songshan pindah mengajar ke masjid Kecamatan Sanying, Guyuan, dia langsung mendirikan Sekolah Cina-Arab (Zhong-A Xuexiao) di situ. Ma Jian (1906–1978), penerjemah Alquran ke bahasa Mandarin asal Yunnan yang terjemahannya dianggap paling otoritatif sampai sekarang, adalah salah satu muridnya yang sejak Maret 1928 bersekolah di sana.
Sekolah Cina-Arab yang dirintis Hu Songshan terus berkembang sehingga mendapat pengakuan resmi dari pemerintah setempat pada 1931. Sebagai apresiasi, Gubernur Ningxia Ma Hongkui (1892–1970) pada 1934 membangun Sekolah Swasta Cina-Arab Ningxia (Ningxia Sili Zhong-A Xuexiao) dan mengundang Hu menjadi wakil kepala sekolahnya. Sedangkan kepala sekolah yang bertempat di Yinchuan, ibu kota provinsi Ningxia tersebut, dijabat oleh Ma Hongkui sendiri. Pelajaran yang diajarkan pun –memakai istilah Imam Ghazali dalam Al-risālah Al-laduniyah– tidak hanya berkutat dengan ilmu syar‘i (keagamaan), tapi sekaligus meluas ke ilmu ‘aqli (kerasionalan) semacam matematika dan ilmu alam.
Namun, tak berselang lama, Hu Songshan kembali ke Sekolah Cina-Arab Sanying pada 1935 setelah bersitegang dengan Ma Hongkui. Penyebabnya, saat menyampaikan ceramah Jumat, Hu memarahi Ma di depan khalayak karena Ma menggelar iring-iringan (shehuo) perayaan Imlek yang membikin bising masjid ketika orang-orang sedang khusyuk beriktikaf menghayati sepuluh hari terakhir Ramadan. Jelas, Ma yang berstatus gubernur, merasa kehilangan muka dimaki-maki seorang kiai di wilayah kekuasaannya sendiri. Mereka cekcok seketika.
Walakin, di kemudian hari, Ma Hongkui dalam suatu acara menyatakan kekagumannya pada Hu Songshan. “Hu [Songshan] ahong [adalah seorang yang] berilmu tinggi [dan] tidak suka menjilat pejabat. [Berbeda dengan] beberapa ahong sekarang [yang] ketika bertemu pejabat langsung menjilat.” Demikian pujian Ma kepada Hu sebagaimana dinyatakan Hu Xibo dalam “Tiga Kali Kerja Sama Hu Songshan dan Ma Hongkui Membangun Sekolah” (Hu Songshan yu Ma Hongkui de San Ci Hezuo Banxue) yang diterbitkan di jurnal Kajian Suku Hui (Huizu Yanjiu) nomor 2 tahun 2002.
Lalu, Hu Songshan dan Ma Hongkui akur kembali selepas Hu pada 1937 bersedia menjadi pengajar di Masjid Besar Wuzhong Tengah (Wuzhong Zhong Dasi) yang pembangunannya didukung Ma Hongbin (1884–1960), kakak sepupu Ma Hongkui. Pada Agustus 1938, Ma Hongkui membangun sekolah untuk Hu di samping masjid itu. Namanya Sekolah Keguruan Cina-Arab Wuzhong (Wuzhong Zhong-A Shifan Xuexiao). Hu ditunjuk menjadi kepalanya. Muridnya langsung membeludak.
Sayang, Insiden Jembatan Marco Polo telanjur meletus. Jepang menggempur Cina untuk kedua kalinya. Perang membuat Hu Songshan tak bisa tenang mengurus sekolah. Dia juga tak bisa diam melihat negeri yang dicintainya kembali diinvasi penjajah. Lacur, umur tak memungkinkannya terjun ke medan tempur. Yang bisa dilakukannya hanya mengampu dengan doa –selain bergabung menjadi pengurus Asosiasi Muslim Cina Menolong Negara (Zhongguo Huijiao Jiuguo Xiehui) yang dikomandani Bai Chongxi (1893–1966), jenderal muslim yang kelak menjadi menteri pertahanan Cina pertama. Dia tak lelah menyebarkan selebaran berisi doa berbahasa Arab dan Mandarin yang ditulis-tangan olehnya ke segala penjuru.
Dalam pengantarnya di selebaran itu, Hu Songshan menulis, “Di masa perang panjang mempertaruhkan hidup-mati negara ini, kita sebagai umat (jiaobao) yang berada di belakang, harus melakukan perang jiwa (jingshen zhi zhan) –yaitu memanjatkan doa kemenangan (shengli de qidao) bagi negara dan prajurit yang sedang berada di barisan depan. […] Allah memberikan petunjuk kepada kita dalam Alquran, ‘barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya lagi, pasti Allah akan menolongnya’ (QS 22:60). Inilah sandaran [kenapa] kita [yakin] akhirnya [kita] akan menang. Untuk itu, al-faqīr menulis sebuah doa kemenangan dalam bahasa Arab, juga diterjemahkan ke bahasa Mandarin, dengan harapan ahong di seluruh negeri dapat mengajarkannya kepada umat yang berada di belakang, [dan] bersama mereka membaca doa ini setiap hari sehabis salat lima waktu, sepenuh hati mendoakan negara kita menang [sekaligus] memusnahkan penjajah Jepang!”
Begini transliterasi doanya:
“Allāhumma ayyid ḥukūmatanā, wa-ayyid dawlatanā, wa-mṭur bi-tharānā, wa-dammir aʻdāʼanā, wa-aʻidhnā min sharri ahli al-Yābān al-ẓālimīna alladhīna ṭaghaw fī al-bilādi wa-qatalū fīnā al-ʻibāda, wa-arsil ʻalayhim ʻāṣifah, tusqiṭ ṭayyārātihim fī ṣaḥārāhum, wa-tarassib bārijātihim fī biḥārihim, wa-buʻthirat ajnādahum, wa-ḥarriq amwālahum, wa-anzil ʻalayhim jazāʼan, yā Ilāha al-Ḥaqq, āmīn.”
Artinya:
“Ya Allah, tolonglah negara kami, jadikanlah negara kami abadi, jadikanlah kami memenangkan pertempuran ini, musnahkanlah musuh kami, lindungilah kami saat musuh menginvasi kota, membunuhi rakyat, dan segala macam kebrutalan mereka, kirimkanlah badai agar pesawat-pesawat mereka jatuh di belantara, agar kapal-kapal perang mereka tenggelam di samudra, agar serdadu-serdadu mereka berhenti berperang, agar ekonomi mereka kolaps, turunkanlah azab untuk menghukum mereka, Wahai Tuhan Yang Mahabenar! Amin.”
Rupanya, doa Hu Songshan manjur. Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu pada 14 Agustus 1945 setelah Hiroshima dan Nagasaki dihabisi pakai bom atom. Satu dasawarsa pasca-pengeboman itu, 28 November 1955, Hu pun wafat di Masjid Pingliang Barat, Kota Pingliang, Gansu. Dia dimakamkan di Tongxin, kampung halamannya. Hu ahong tercatat meninggalkan setidaknya 15 macam karya tulis dalam bahasa Arab dan Mandarin yang dirampungkan semasa hidupnya. Lahu al-Fātiḥah!
Novi Basuki adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Baca juga:
Wahabisme di Cina
Islam di Masa Kedinastian Cina
Keturunan Rasulullah di Cina
Muslim Keturunan Konghucu
Muslim Zaman Dinasti Tang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar