Riwayat dan Kinerja Perusahaan Daerah DKI Jakarta
Kilas balik kinerja Perusahaan Daerah DKI Jakarta. Dari urusan bus sampai bir.
PELEPASAN saham Pemprov DKI sebesar 26,25 persen di PT Delta Jakarta menjadi sorotan. Pemprov berpotensi meraup satu triliun rupiah dari penjualan saham, sekaligus juga bakal kehilangan dividen 38 miliar rupiah per tahun. Jumlah dividen ini cukup besar di antara perolehan dividen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov DKI.
Kontribusi BUMD —dulu disebut Perusahaan Daerah— untuk menggemukkan kas Pemprov DKI berbeda satu sama lain. Bergantung pada kinerja, bidang usaha, dan laba bersih mereka.
Ada Perusahaan Daerah berkinerja baik dalam bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga menghasilkan laba bersih yang tinggi. Tapi ada juga Perusahaan Daerah berkinerja buruk dalam bidang usaha menyangkut kebutuhan keseharian rakyat sehingga laba bersihnya rendah.
Berikut ini riwayat singkat dan gambaran kinerja masa lalu sejumlah Perusahaan Daerah Pemprov.
PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jaya
Perusahaan Daerah pertama Pemprov DKI. Berdiri pada 1961 dari gagasan Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964 dan 1965-1966. Pemerintah Daerah ketika itu menaruh modal senilai dua juta rupiah, sedangkan pihak swasta berkontribusi setengah juta rupiah. Gerak BPD Jaya berputar pada penghimpunan dan penyaluran dana untuk pembangunan.
“Tahun 1961 Bank Pembangunan Daerah boleh bergerak 80 persen dalam bidang pembangunan daerah Jakarta dan 20 persen dalam bidang Bank Umum dalam hubungannya dengan pembangunan,” tulis Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966.
Pemda Jakarta mengambil-alih semua saham BPD Jaya dari pihak swasta pada 1967. Kemudian Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, mengembangkan fungsi BPD Jaya melampaui fungsi bank umum. Antara lain menjadi penggerak kegiatan ekonomi pedagang lemah, pelaksanaan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka.
“Dengan penetapan kebijaksanaan yang dimaksud di atas, hasil usaha BPD Jaya, baik dalam bentuk pengumpulan dan pengerahan dana terus meningkat,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya. Sekarang BPD Jaya berubah nama jadi PT Bank DKI.
PD Dharma Jaya
Bergerak dalam bidang penyediaan, pemotongan, dan penyaluran daging hewan ternak seperti sapi dan ayam. Pendiriannya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor lb.3/2/17/1966 tanggal 24 Desember 1966. Perusahaan ini gabungan dari Jawatan Kehewanan DKI, Perusahaan Peternakan Negara Unit Yojana, dan Pelaksana Kebutuhan Daerah Jaya dan Niaga Jaya.
Pada awal pendiriannya, PD Dharma Jaya menghadapi tantangan berat. “Modal hanya terdiri dari barang-barang (assets) tidak bergerak yang umumnya dalam kondisi tua dan banyak yang rusak, bahkan tidak sedikit yang tidak dapat dipergunakan lagi,” tulis Ali Sadikin. Selain itu, jumlah tenaga kerja melampaui kebutuhan nyata perusahaan.
Untuk memecahkan masalah tersebut, Ali Sadikin merehabilitasi alat-alat produksi, meningkatkan efisiensi, dan membekukan usaha-usaha yang tidak produktif. Dia juga mengoordinasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Jakarta dengan PD Dharma Jaya dan menyediakan mobil pengangkut.
PD Dharma Jaya merumuskan ulang visi dan misinya sekaligus membuat rencana jangka panjang pada 1985 setelah keluar Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1985. Dua poin pentingnya antara lain peningkatan operasi dan laba bersih dan menjadi pemimpin di bidang perdagangan dan industri daging. Tapi sekarang PT Dharma Jaya justru terlilit masalah internal dan ketiadaan dana untuk menyediakan daging murah atau subsidi.
Perusahaan Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD)
Perusahaan ini berawal dari nasionalisasi terhadap perusahaan asing bernama Bataviasche Vorkers Mastschappij NV pada 1954. Kepemilikannya berada di Kementerian Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata. Lingkup usahanya meliputi penyediaan, perawatan, dan penyelenggaraan transportasi massal.
PPD menjadi milik Pemerintah Jakarta melalui Peraturan Pemerintah No. 229 Tahun 1961 pada masa Gubernur Soemarno. “Dasar pertimbangan adalah bahwa perusahaan negara yang menyelenggarakan pengangkutan penumpang untuk umum dengan kendaraan bermotor khusus dalam wilayah Daerah Swatantra lebih tepat dikuasai, diasuh, dan dibimbing oleh Pemerintah Daerah itu,” tulis Ali Sadikin.
Saat awal menjadi milik Pemerintah Jakarta, PPD mempunyai seratusan bus Leyland berwarna kuning. Terpampang tulisan khas di kaca depannya, “Bis ini dibeli dengan uangmu, peliharalah baik-baik,” tulis Djaja, 13 Juli 1963.
Manajemen PPD berjalan cukup baik pada dekade 1960-an. Bus-busnya baru, sopir berkendara santun, dan kernet bisa hidup layak. Tapi masuk dekade 1970-an, manajemen PPD “Semakin hari, semakin rusuh akibat manajemen gado-gado yang masih terlalu amatir dan kampungan,” tulis Ekspres, 19 April 1971. PPD pun merugi puluhan tahun.
Sekarang PPD telah banyak berbenah. Bus-bus baru berdatangan dan beroperasi melayani penumpang dalam Busway. PPD kembali memperoleh laba sejak 2012.
PT Delta Djakarta
Serupa PPD, PT Delta Djakarta bermula dari perusahaan asing pada 1932. Berkedudukan di Batavia, perusahaan ini bernama De Archipel Brouwerij milik orang Jerman. Menurut Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir, kepemilikannya berpindah ke orang Belanda menjelang Perang Dunia II. Namanya pun berganti jadi De Orange Brouwerij.
De Orange Brouwerij terus berkembang. Hingga datanglah masa nasionalisasi terhadap perusahaan asing pada 1957. Kepemilikannya beralih ke perusahaan Indonesia dan diserahkan ke Pemerintah Jakarta pada 1964. Namanya ganti lagi jadi PT Budjana Djaja-Pabrik Bir Jakarta. Anker jadi nama produknya.
Seiring terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada 1967, kota Jakarta mulai berubah. Salah satu pengaruh UU PMA bagi Jakarta adalah kehadiran tempat hiburan malam. Tempat-tempat itu menyediakan bir dan pengunjungnya cukup ramai.
Ali Sadikin melihat potensi menguntungkan dari situasi tersebut. Dia menggagas bentuk kerja sama yang titik beratnya terletak pada peleburan seluruh sistem perusahaan (join venture) dengan modal swasta asing.
“Sebagai pilot project dari usaha-usaha kerja sama tersebut di atas, dapat dikemukakan sebagai contoh join venture antara Pabrik Bir Anker Jakarta dengan pihak pemilik semula NV Bier Brouwerij de Drie Hoofijzers,” tulis Ali Sadikin. Dan mulai 1970, perusahaan itu menyandang nama PT Delta Djakarta
Perhitungan Ali Sadikin jitu. PT Delta Djakarta tumbuh sebagai perusahaan bir raksasa dan menjadi salah satu Perusahaan Daerah yang berkinerja baik dengan laba positif.
Baca juga:
Meniti Jalan Nasionalisasi
Akar Perusahaan Daerah Milik DKI Jakarta
Inilah Bidang-bidang Usaha yang Dinasionalisasi
Gonjang Ganjing Nasionalisasi Perusahaan Asing
Tambahkan komentar
Belum ada komentar