Proses Lahirnya Konsep Pengembangan Jabotabek
Ali Sadikin berhasil menyusun konsep pengembangan Jabotabek. Pelaksanaannya melalui tiga tahap.
TIM perancang Rencana Induk Jakarta (Master Plan) 1965-1985 merampungkan pekerjaannya pada akhir 1965. Mereka serahkan Rencana Induk ke Gubernur Soemarno. Tapi Soemarno tak bisa langsung menggarapnya karena belum disahkan DPRD Jakarta. Sebab, Jakarta lagi riuh oleh Peristiwa G30S.
Ali Sadikin naik jadi gubernur di tengah situasi kacau Jakarta oleh demo-demo mahasiswa anti-Sukarno pada April 1966. Sejak awal menjadi gubernur, dia telah menekankan bahwa pemerintah daerah harus punya pedoman besar untuk memperbaiki, membangun, dan mengembangkan sebuah kota.
Pedoman itu berupa Rencana Induk yang memuat rencana peruntukan tanah dan ruang. Kehadiran Rencana Induk diharapkan dapat menyambung hidup warga kota dan menjaga lingkungan kota dari pertumbuhan di luar kendali.
“Landasan ini diwujudkan dengan diajukannya Rencana Induk Kota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong pada saat itu untuk disahkan,” ungkap Ali Sadikin dalam Gita Jaya, laporan pertanggungjawabannya sebagai gubernur Jakarta.
Hari untuk melaksanakan Rencana Induk Jakarta tiba pada 3 Mei 1967. Sidang DPRD Gotong Royong mengesahkan Rencana Induk melalui Surat Keputusan No. 9/DPRD-GR/P/1967.
Rencana Induk memuat 40 peta Jakarta masa itu dan masa depan untuk rentang 20 tahun. Peta-peta tersebut menunjukkan pengembangan Jakarta ke tiga wilayah Jawa Barat: Bogor di selatan, Tangerang di barat, dan Bekasi di timur.
Ali Sadikin memperkenalkan Rencana Induk saat gubernur se-Jawa dan menteri dalam negeri bertemu di balaikota pada suatu malam di bulan Mei 1967. Dia sadar pelaksanaan Rencana Induk Jakarta tak bisa berhasil melalui peran satu pihak saja, melainkan juga perlu dukungan dari banyak pihak seperti pemerintah pusat dan gubernur Jawa Barat yang turut menghadiri pertemuan.
“Pelaksanaan daripada penggarapan Rencana Induk yang menyangkut perluasan wilayah DKI Jakarta masih harus dipecahkan lebih lanjut dengan pemerintah daerah yang bersangkutan: pemerintah DKI Jakarta, pemerintah daerah tingkat I Jawa Barat, dan pemerintah pusat sampai terwujudnya UU mengenai perluasan wilayah DKI Jakarta,” tutur Ali Sadikin dalam “Approach Gubernur Ali Sadikin mengenai Kemungkinan Perluasan Wilayah”, termuat di Djaja, 13 Mei 1967.
Ali Sadikin juga mengemukakan bahwa Rencana Induk masih merupakan kerangka besar. “Masih harus diuraikan dan digarap lagi menurut tahap-tahap yang telah digariskan sampai menjadi rencana detail untuk dapat dilaksanakan,” lanjut Ali Sadikin.
Pemerintah Jakarta telah mengeluarkan rencana turunan pada 1966, satu tahun setelah Rencana Induk rampung. Bernama Rentjana Regional Metropolitan Djakarta, rencana ini memaklumatkan pembentukan daerah pertumbuhan baru melalui penyebaran industri, permukiman, dan fasilitas umum di wilayah sekitar Jakarta (Botabek).
“Dengan terbentuknya daerah-daerah pemusatan baru, diharapkan ia dapat berkembang menjadi semacam counter magnet dengan daya tarik yang positif,” tulis Djaja, 26 Maret 1966. Maksudnya ialah agar Jakarta tak lagi sebagai satu-satunya pusat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, beban Jakarta lambat-laun berkurang.
Para perancang Rentjana Regional Metropolitan Djakarta telah menargetkan beberapa wilayah sekitar Jakarta agar menjadi pusat pertumbuhan baru. Wilayah itu antara lain Cibinong dan Citereup di Bogor. Cibinong sebagai pusat perdagangan buah, sedangkan Citereup menjadi industri.
Sebuah jalan raya akan tersedia guna mendukung pembangunan di Cibinong dan Citereup. Jalan raya itu bernama Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi). “Jalan itu sendiri lebarnya 100 meter. Kiri-kanan jalan Jagorawi diapit oleh jalur hijau, masing-masing selebar 1.000 meter,” tulis Djaja.
Memasuki dekade 1970-an, rencana menambah pusat pertumbuhan baru di Jakarta kian gencar. Wilayah calon pusat pertumbuhan baru juga menjadi lebih jelas. Ini tak lepas dari laporan kursus tenaga-tenaga perencana dari Kabupaten Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada 1973. Kursus itu melibatkan tenaga ahli planologi (ilmu perencanaan) kota dari Belanda dan bertujuan menjabarkan pengaruh perkembangan fisik Jakarta terhadap daerah sekitarnya.
Wujud penjabaran kursus itu tertuang dalam laporan berjudul Jabotabek: a Planning Approach of its Absorption Capacity for New Settlements within the Jakarta Metropolitan Region. Laporan mengandung proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk Jabotabek dari 1973 hingga 2000. Selain itu, terdapat pula pemetaan industri dan pembangunan infrastruktur pendukungnya.
Kemudian laporan itu masuk ke instansi pemerintahan seperti pemerintah DKI Jakarta, departemen dalam negeri, dan pemerintah daerah Jawa Barat, lalu menjadi pembicaraan dan pertimbangan banyak pihak untuk menyusun rencana pengembangan Jabotabek jangka panjang.
Inti laporan itu menggali lebih dalam konsep Jabotabek sebagai langkah dekonsentrasi planologis untuk mendukung Rencana Induk Jakarta. Dekonsentrasi Planologis berarti menyebarkan kegiatan-kegiatan baru dan sebagian yang sudah ada ke pusat-pusat perkembangan baru di daerah sekitar Jakarta.
“Dengan demikian diharapkan pusat-pusat perkembangan baru ini akan menarik pertambahan penduduk kota Jakarta untuk bermukim di pusat-pusat ini,” tulis Hendropranoto Suselo dalam “Tinjauan Singkat Perkembangan Jabotabek” termuat di Prisma, 5 Mei 1977.
Harapan mewujudkan konsep Jabotabek menjadi lebih konkret ketika pemerintah pusat mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151 tahun 1975 tentang perubahan dan pembulatan batas wilayah DKI Jakarta. “Di mana sebagian dari wilayah provinsi Jawa Barat dimasukkan dalam wilayah DKI Jakarta dan sebagian wilayah DKI Jakarta dimasukkan dalam wlayah provinsi Jawa Barat,” lanjut Hendropranoto.
Pemerintah daerah Jakarta menyambut SK tersebut dengan memaparkan rencana jangka panjang pengembangan Jabotabek. Ali Sadikin menyebut karakteristik wilayah Jabotabek terbagi tiga: wilayah perkotaan, perdesaan, dan peralihan dari desa ke kota.
Menurut Ali Sadikin dalam Gita Jaya, pengembangan Jabotabek akan melalui tiga tahap.
Tahap pertama (1975-1980) menyasar pengembangan Tangerang, Depok, dan Bekasi sebagai permukiman dan industri. Berikut dengan pembangunan fasilitas pendukung seperti listrik, sekolah, jalan raya, dan pasar.
Tahap kedua (1980-1990) menekankan pengembangan daerah industri di Cibinong, Bogor, Tangerang, dan Cikarang. Dalam tahap ini juga ada pembangunan daerah hijau di sekitar Jakarta dan upaya meningkatkan daya tampung Tangerang, Bogor, dan Cikarang menjadi masing-masing 250 ribu jiwa. Sarana pendukungnya antara lain jalan lingkar luar Jakarta dan jalur rel tunggal kereta api Depok-Bogor yang akan ditingkatkan menjadi jalur rel ganda kereta api.
Tahap ketiga (1990-2000) berupa peningkatan daya tampung Bogor sebesar 500 ribu jiwa, Tangerang sebanyak 250 ribu jiwa, dan Cikarang sekira 400 ribu jiwa. Tahap ini juga menyasar pengembangan Ciputat, Ciledug, Cileungsi, dan Cibinong menjadi permukiman. Lalu juga ada pengembangan wilayah industri di selatan Tangerang, jalan Cibinong-Bogor, dan sebelah timur Cikarang.
Konsep pengembangan Jabotabek telah terwujud. Tapi pengembangan sesungguhnya baru dimulai selepas masa Ali Sadikin menjabat gubernur.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar