Para Penyemir Cilik
Perubahan bentuk dan cara membuat sepatu memunculkan tukang semir sepatu. Sebagian besar pekerjanya anak-anak.
Siang terik di Masjid Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Jemaah baru saja kelar tunaikan salat Jumat. Sebagian besar beranjak mengambil sepatunya dari penitipan. Tapi ada segelintir orang masih duduk di sekitar penitipan. Mereka menunggu sepatunya kelar disemir agar lebih mengilap. Semua penyemir sepatu berusia dewasa. Tak ada anak-anak. Berbeda sekali jika membandingkan awal kehadiran penyemir sepatu di Indonesia.
Tukang semir sepatu telah merentangi pelbagai zaman. Bukti awal keberadaan pekerjaan ini berasal dari sebuah foto lawas karya Louis Daguerre, penemu kamera, pada 1838. Foto tersebut menangkap suasana Boulevard du Temple, Paris, Prancis.
Di pojok kiri foto, dua orang kelihatan melakukan aktivitas. Orang pertama berdiri mengangkat salah satu kakinya ke sebuah meja pendek, sedangkan orang kedua terlihat menggosok sepatu orang pertama.
Di belahan dunia lain, penyemir sepatu terekam dalam lukisan koleksi Connecticut Historical Society (CHS), Amerika Serikat. Lukisan memuat dua orang lelaki: kulit putih dan kulit hitam. Lelaki kulit putih berdiri memperhatikan lelaki kulit hitam yang duduk di sebuah kursi sembari memegang sikat dan sepatu bot. Menurut laman chs.org, lukisan itu peninggalan dekade 1850-an.
Kerjaan Anak-Anak
Penyemir sepatu tidak akan muncul tanpa perubahan pada cara orang membuat sepatu. Orang telah mengenal sepatu sejak 800 tahun sebelum masehi. Bahannya terbuat dari kulit hewan atau jaringan tanaman. Teknik pembuatannya masih sederhana. Hanya memotong bahan-bahan itu sesuai dengan anatomi kaki, lalu mengikatnya satu sama lain. Sepatu masa kuno ini tidak menutup seluruh punggung kaki.
Pengetahuan mengenai kulit hewan dan jaringan pohon telah mengubah bentuk dan cara orang membuat sepatu. Orang mulai mengenal kulit hewan terbaik untuk pembuatan sepatu. Berikut pula dengan cara mengolahnya. Antara lain dengan penyamakan. Teknik penyamakan berkembang hingga abad ke-19 dan melahirkan berbagai jenis sepatu.
Sepatu abad ke-19 mempunyai bentuk tertutup, dari kaki hingga betis. Tapi sepatu ini akan mempunyai bobot lebih berat jika terkena air. Maka orang membuat semir sepatu untuk menghambat air meresap ke sepatu. Muncullah kebiasaan menyemir dan jasa semir sepatu. Inilah gelombang pertama kehadiran tukang semir sepatu.
Fungsi semir sepatu berubah setelah Perang Dunia I (1914-1919) di Eropa. Ia tak lagi sekadar menahan air, melainkan juga untuk mengilapkan sepatu. Para serdadu gemar menggunakan semir untuk sepatu botnya. Mereka tampak lebih berwibawa dengan bot yang mengilap. Ketika mereka berbaris masuk kota dengan bot yang mengilap, warga kota melihatnya dengan takzim.
Semir pun menjembar ke kalangan sipil. Para pekerja kantoran di kota-kota besar Eropa tak mau ketinggalan tampil berwibawa. Jas dan kemeja dipadupadankan dengan celana pantalon hitam dan sepatu pantofel. Tapi kesibukan kerap mengambil waktu mereka untuk menyemir sendiri sepatu pantofelnya. Solusi termudah ialah menggunakan jasa tukang semir sepatu di jalanan.
Gelandangan cilik di kota-kota besar Eropa dan Amerika Serikat memenuhi jalanan. Mereka turut membantu keluarganya untuk melewati masa-masa sulit selama resesi ekonomi melanda dunia pada 1920-an, dari Amerika Serikat sampai Eropa. Untuk mengais picis, mereka menawarkan jasa semir sepatu kepada para pekerja. Inilah gelombang kedua kemunculan tukang semir sepatu.
Desakan Ekonomi
Di Indonesia kehadiran tukang semir sepatu belum dapat dilacak secara pasti. Tapi penggunaan sepatu pantofel di kalangan penduduk Hindia Belanda 1930-an dan resesi ekonomi telah memungkinkan adanya jejak kehadiran tukang semir sepatu.
Rudolf Mrazek menyebut masa itu sebagai masa ‘kenecisan berpakaian’. Banyak kaum pergerakan nasional berpakaian selayaknya orang Eropa. “Memakai celana dan sepatu, jas dan dasi, dan idealnya sebuah topi serta kumis,” tulis Mrazek dalam “Kenecisan Indonesia: Politik Pakaian pada Akhir Masa Kolonial 1893-1942” termuat di Outward Appearances.
Saat bersamaan, resesi ekonomi turut melanda Hindia Belanda. John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial menyatakan bahwa resesi telah menambah jumlah gelandangan dari segala rentang usia di kota-kota Hindia Belanda. Tak hanya gelandangan tempatan, tetapi juga gelandangan berbangsa Eropa.
Gelandangan anak-anak biasanya akan mencoba kerja apa saja untuk bertahan hidup, seperti menjadi loper koran atau penyemir sepatu. Hal ini jamak terjadi pada gelandangan anak-anak di negeri Barat. Ini berarti anak-anak gelandangan di Hindia Belanda berpeluang menjadi serupa dengan anak-anak gelandangan di negeri Barat.
Kehadiran tukang semir sepatu pada masa Indonesia modern mempunyai jejak lebih terang. Misalnya, kisah penyemir sepatu di kota terungkap dalam Selecta¸ No. 39, tahun 1960. Anak-anak gelandangan menjual jasa menyemir sepatu di seputaran Pasar Senen, Jakarta. Usianya beragam, dari sembilan sampai belasan tahun.
“Bila pagi telah tiba, tanpa mandi dan cuci muka, mereka mulai mencari uang pembeli sesuap nasi, menyandang peti kecil berisi semir sepatu dari berbagai warna, serta sikat dan kain lapnya,” tulis Selecta.
Penyemir cilik mengawasi setiap sepatu lelaki dewasa pengunjung warung makan. Jika melihat sepatu pengunjung ada debu atau kotoran, mereka lekas bertanya. “Semir, Pak?” Mereka pasang tarif cukup murah untuk sekali semir. Antara 2 sampai 3 rupiah, setara 2.000 rupiah pada masa sekarang. Tapi kadang kala pengguna jasa semir sepatu memberi mereka lebihan.
Kebanyakan penyemir cilik itu berasal dari desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebagian besar mereka masih punya orangtua, tapi jarang berkontak. Beberapa anak malah sudah tak punya orangtua lagi.
Kedatangan penyemir cilik ini berawal dari ajakan keluarga atau orang dekat. “Mulanya untuk berjualan kecil-kecilan, tapi karena mereka tidak tahu caranya berdagang, lebih suka membelanjakan uang tak menentu, akhirnya rugi, dan menjadilah penggosok sepatu,” lanjut Selecta.
Usai bekerja menyemir sepatu, penyemir cilik mengisi waktu dengan bercengkerama, menonton bioskop, merokok, dan mengunjungi kompleks pelacuran. Mereka enggan mengisi waktu dengan bersekolah. “Malas, Pak!” kata mereka. Cari uang lebih enak.
Kehidupan bebas para penyemir cilik mengejutkan pemerintah daerah. Apalagi Jakarta akan menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Apa jadinya kalau atlet dan turis asing melihat dan mengetahui kehidupan mereka? Maka pemerintah daerah merazia para penyemir cilik dan mengirimnya ke penampungan-penampungan sementara, sebab penampungan anak telantar di Pulau Edam telah penuh.
Tapi razia-razia itu tak pernah menghapus kehadiran penyemir cilik. Mereka terus ada dan berlipat ganda. Bahkan menjadi lebih terorganisasi.
Pada dekade 1990-an, orang dewasa meminjamkan kotak semir dan perlengkapannya kepada anak-anak gelandangan di Pasar Senen. Orang dewasa juga melindungi mereka dari gangguan petugas keamanan pasar atau anak-anak gelandangan lainnya. “Sebagai imbalan mereka harus membayar sewa sebesar 600 rupiah per hari,” tulis Prisma, No 5, Mei 1992.
Jumlah penyemir cilik di Pasar Senen mencapai 30-40. “Tubuh mereka rata-rata kurus, tidak terpelihara serta badan mereka tampak jarang tersentuh air sehingga kelihatan dekil,” lanjut Prisma. Mereka khawatir kena razia petugas, tapi seringkali mereka kabur dari penampungan dan bekerja lagi sebagai penyemir sepatu.
Sekarang kehadiran anak-anak penyemir sepatu mulai jarang. Orang-orang dewasa telah menggantikan kerja mereka.
Baca juga:
Kisah Loper Koran Beragam Zaman
Pulau untuk Anak Terlantar
Masa Lampau Anak-anak
Tambahkan komentar
Belum ada komentar