Cerita Lahirnya Kota Bandung
Bandung ditemukan orang-orang Belanda secara tidak sengaja. Diproyeksikan pemerintah kolonial untuk menjadi sebuah kota besar.
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.”
Jika berkunjung ke Kota Bandung, dua tulisan di atas dapat dijumpai di Jalan Asia Afrika, dekat Gedung Merdeka dan Masjid Agung Bandung. Tulisan pertama dibuat oleh seorang filsuf, cum budayawan berkebangsaan Belanda bernama M.A.W. Brouwer. Sementara tulisan kedua lahir dari tangan Pidi Baiq, novelis asal Kota Bandung yang terkenal berkat seri novel remaja “Dilan”. Coretan dinding itu cukup melekat dengan image Kota Bandung dan menjadi salah satu spot foto yang tidak boleh terlewat.
Kota Bandung memang memiliki banyak sekali julukan, mulai dari Paris van Java, surga kuliner, hingga Kota Kembang. Ingat Bandung, ingat suasana yang sejuk, beragam jenis clothing, serta pusat segala macam kuliner. Banyak hal bisa ditemukan di ibukota Provinsi Jawa Barat ini. Lantas bagaimana Bandung lahir?
Menemukan Bandung
Dilihat dari sudut pandang orang-orang Belanda, wilayah Bandung sekarang ditemukan secara tidak sengaja. Itu karena pemerintah Belanda tidak menaruh perhatian lebih ke negeri di sebalah timur Batavia tersebut. Mereka hanya sekedar tahu bahwa di sana berdiri sebuah pemerintahan. Negeri itu sejak awal memang tidak masuk dalam rancangan pembangunan pemerintah Belanda. Sedangkan bagi masyarakat pribumi, Bandung sudah lama berdiri. Dahulu dikenal dengan sebutan Tatar Ukur, yang kekuasaannya ada di bawah Banten dan Mataram.
Baca juga: Mengapa Bandung Dijuluki Parijs van Java?
Dijelaskan Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, perhatian Belanda kepada negeri ini baru muncul saat penguasa Tata Ukur, Wangsanata (Dipati Ukur), ikut terlibat dalam peristiwa penggempuran benteng VOC di Batavia yang diperintahkan oleh Sultan Agung dari Mataram. Akibatnya pemerintah Belanda mulai menaruh curiga atas wilayah Tatar Ukur. Tanah yang mereka anggap 'daerah tak bertuan' itu dikhawatirkan menjadi sarang para pemberontak, yang dikemudian hari bisa mengancam kedudukan kompeni di Batavia.
Untuk itu, pemerintah Belanda pada 1641 menempatkan seorang Mardijker –sebutan untuk bekas budak Portugis di Asia dan Afrika yang dimerdekakan oleh bangsa Belanda– bernama Juliaen de Silva di Tatar Ukur sebagai mata-mata. Dia ditugasi memantau pergerakan orang-orang di Tatar Ukur dan perkembangan negeri tersebut.
“Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah,” tulis Silva dalam laporannya kepada pemerintah Belanda di Batavia, seperti dikutip Haryoto Kunto.
Peneliti sejarah Nandang Rusnandar dalam “Sejarah Kota Bandung dari Bergdessa (Desa Udik) menjadi Bandung Heurin ku Tangtung (Metropolitan)” dimuat Patanjala Vol. 2, Juni 2010, menyatakan bahwa penyebutan wilayah Tatar Ukur setelah abad ke-17, berdasar laporan Silva, mulai diubah oleh pemerintah Belanda menjadi Negorij Bandong atau West Oedjoeng Broeng. Wilayah itu pun semakin mendapat perhatian lebih markas pusat di Batavia.
Baca juga: Bandung Ibukota Kerajaan Belanda?
Sekira tahun 1712, Abraham van Riebeek mendarat di Wijnkoopsbaai (Pelabuhan Ratu). Dia merupakan orang pertama yang membawa benih tanaman kopi ke Pulau Jawa. Kedatangan Riebeek ke Tatar Bandung dimaksudkan untuk penjelajahan mencari belerang (sulfur). Dia diketahui membangun bisnis senjata dan mesiu. Belerang menjadi komponen terpenting bisnisnya. Tahun berikutnya, Riebeek berhasil mendaki gunung Papandayan dan Tangkuban Parahu. Dia mendapat sumber belerang yang dicarinya.
“Lewat catatan-catatan van Riebeek, barulah Kompeni Belanda menyadari akan potensi wilayah Tatar Ukur (Bandung),” tulis Kunto.
Membuka Bandung
Sampai pertengahan abad ke-18, menurut Haryoto Kunto, orang-orang dari Batavia biasanya naik perahu atau rakit, melewati Sungai Citarum dan Cimanuk, jika ingin pergi ke Bandung. Mereka harus melewati pedalaman hutan Priangan. Baru pada 1786, jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai dibuat untuk menghubungkan Batavia-Bogor-Bandung.
Keberadaan jalan setapak, meski kecil, amat penting bagi kegiatan ekonomi Belanda. Sebab perkebunan kopi di sekitar Gunung Tangkuban Parahu milik Pieter Engelhard telah dibuka sejak 1789. Kopi miliknya menjadi salah satu pemasukan terpenting pemerintah Belanda. Selain itu, menurut Yan Daryono dalam R. Dewi Sartika 1884-1947: Sebuah Biografi Pahlawan Nasional, berkat adanya jalan setapak juga membuat akses orang-orang Belanda menuju Bandung yang berudara segar menjadi lebih mudah. Terbukti dengan cukup semaraknya kota itu pada penghujung abad ke-18.
Baca juga: Rezim Kopi di Priangan
Melonjaknya keinginan penduduk Eropa di Batavia memasuki kawasan Bandung menarik perhatian pemerintah Belanda. Mereka mulai merancang pembuatan akses jalan yang lebih layak, yang tidak hanya menghubungkan Batavia-Bandung saja, tetapi seluruh daerah di Pulau Jawa. Pembangunan jaringan jalan yang amat luas itu baru benar-benar terlaksana tatkala Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1811).
“Keberadaan Jalan Raya Pos berhasil merubah wajah Bandung, dari sebuah kampung di tengah hutan belantara menjadi sebuah kota yang terus berkembang hingga menjadi salah satu kota besar di Indonesia. Sebuah kota yang jika dipandang dari berbagai aspek kehidupan memiliki nilai strategis, terutama secara ekonomi, politik, dan militer,” tulis peneliti Balai Arkeologi Bandung, Iwan Hermawan dalam Bandung Sebagai Ibukota Hindia Belanda.
Jaringan raksasa “Grote Postweg” (Jalan Raya Pos) dari Anyer sampai Panarukan ini rupanya tak hanya difungsikan sebagai akses jalan, tetapi juga benteng pertahanan. Daendels mendapat tugas dari Raja Belanda untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa dari kemungkinan serangan Inggris. Hal itu dilakukan demi menjaga kedudukan Belanda di Nusantara.
Tatkala pembangunan jalan memasuki kawasan Tatar Bandung, Daendels memerintahkan Bupati Kabupaten Bandung dan Bupati Parakanmuncang agar memindahkan ibukotanya masing-masing ke tepi jalan raya. Bupati Kabupaten Bandung R.A. Wiranatakusumah II (1794-1829) lantas memindahkannya dari Karapyak (Dayeuh Kolot), yang berjarak kurang lebih 11 km dari jalan raya, ke daerah Alun-alun sekarang.
Kemudian di suatu tempat di dekat jalan raya, seberang Hotel Savoy Homan di Jalan Asia-Afirka sekarang, Daendels menancapkan sebuah tongkat kayu dan berkata: “Zorg, dats als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” (coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota!).
Di tempat itulah orang kemudian membuat patok yang menandakan lokasi “Kilometer Nol”, sebagai batas awal kota Bandung. Tugas pendirian kota lalu diberikan kepada Wiranatakusumah II. Maka tidak heran jika banyak literatur yang akhirnya menyebut Daendels sebagai perancang kota Bandung.
Baca juga: Daendels Napoleon Kecil di Tanah Jawa
Namun berdasar hasil penelitian sejarawan S. Sobana Hardjasaputra dalam “Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906”, dimuat Jurnal Sosiohumaniora Vol. 5, Maret 2003, pendirian kota Bandung sebenarnya dilakukan atas kehendak R.A. Wiranatakusumah II sebagai Bupati Bandung ke-6. Akan tetapi dalam proses pendiriannya kehendak sang bupati tersebut secara kebetulan sejalan dengan keinginan Daendels. Perintah sang gubernur jenderal-lah yang mempercepat keinginan Wiranatakusumah II.
“Lewat perintah yang keluar dari mulut Daendels itulah, kemudian orang bergegas membangun Kota Bandung, hingga akhirnya menemukan bentuknya seperti yang sekarang,” ungkap Kunto.
Peresmian kota Bandung, kata Sobana, dilakukan oleh Daendels berdasarkan surat keputusan (besluit) tanggal 25 September 1810. Tanggal inilah yang kemudian dianggap sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar