Praktik Aborsi di Era Kolonial
Mulanya Belanda mengeluarkan aturan aborsi yang lantas diadopsi ke negeri jajahan. Namun ketika Belanda mencabut hukum aborsi, Indonesia tetap memberlakukannya hingga kini.
DI era kolonial, aborsi dilarang oleh hukum Kristen. Penolakan pada praktik pengguguran janin ini jadi satu suara mutlak kala itu lantaran hukum kolonial juga melarangnya. Jadi, ada kesamaan prinsip antara pemimpin moralis dari penjajah maupun terjajah.
Sementara, laporan petugas kesehatan GHG Harloff tahun 1853 menyebutkan, orang Jawa tidak memandang aborsi sebagai sebuah tindakan kriminal atau dosa. Mereka bisa menjalankan aborsi karena keinginan si perempuan bahkan jika diketahui suaminya. Harloff dalam laporannya berharap praktik aborsi ini perlahan berubah karena pengaruh “peradaban Barat” dan pemberlakuan hukuman.
Pernyataan Harloff tentang peradaban barat semacam kebanggaan kosong sebab perempuan Eropa juga melakukan aborsi. Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market menulis, secara resmi dokter Eropa tidak menjalankan prosedur pengguguran kandungan karena dilarang sehingga tidak pernah dipelajari. Aturan tentang aborsi ini disahkan pada 1881 di Belanda dalam Wetboek van Strafrecht. Peraturan ini mendapat penolakan pada 1886 yang menyasar praktisi kesehatan dan perempuan.
Baca juga: Kontroversi Aborsi
Dari laporan Van den Burg, mayoritas dokter Eropa menolak permintaan pasien yang ingin menggugurkan janin. Namun beberapa dokter mengaku pernah melayani keinginan perempuan untuk mengugurkan kandungan. Dokter J Schülein pernah menulis surat untuk van den Burg pada 1905. Selama 25 tahun kariernya, ia mengaku pernah dua kali melayani keinginan perempuan untuk aborsi.
Sangat sulit menemukan dokter yang mau membantu menggugurkan kandungan seperti Schulen. Alhasil, perempuan Eropa pergi ke dukun jika ingin melakukan aborsi. Lewat para dukun inilah praktik pengguguran kandungan dilakukan perempuan Eropa, Tionghoa, maupun pribumi. Masih dalam laporan Harloff, dukun beranak bahkan bisa menjalankan aborsi hanya dengan jamu.
Selain dibekali kemampuan penanganan persalinan dan perawatan bayi, para dukun juga punya pengetahuan untuk pencegahan kehamilan (kontrasepsi) dan peningkatan kesuburan. Dalam laporannya tahun 1882, Van der Burg menyebut dukun juga bisa mencegah kehamilan pada gadis dengan pijatan khusus. Melalui pijatannya, dukun mengubah posisi rahim, mengurangi kemungkinan untuk hamil. Jika si perempuan ingin memiliki anak, si dukun bisa mengubah posisi rahim seperti semula.
Baca juga: Memercayakan Kelahiran pada Bidan
Sementara dalam ilmu pengobatan Eropa, metode kontrasepsi dan obat aman untuk menggugurkan kandungan belum ditemukan. Padahal di samping melayani kebutuhan si perempuan, ilmu pengguguran kandungan juga perlu dipelajari untuk menyelamatkan nyawa ibu pada kondisi kritis. Meski sebagian dokter Eropa seperti Harloff menyerang praktik aborsi, di satu sisi ada pula dokter dan peneliti Eropa yang melakukan riset pada kerja-kerja dukun. Salah satunya Dokter Van der Scheer yang meneliti tentang resep jamu para dukun. Ia menghimpun informasi dari para dokter Jawa kenalannya. Ketertarikan ini diikuti dokter Eropa lain. Hingga 1900, para cendikiawan Eropa terus meneliti pengobatan lokal, termasuk metode perawatan dan pijatan dukun untuk melayani aborsi.
Pada 1918, pemerintah kolonial mengadopsi hukum larangan aborsi yang berlaku di Belanda ke negeri jajahan. Aborsi dimasukkan dalam hukum pidana yang menghukum praktisi kesehatan pemberi layanan dan pasien yang menjalani pengguguran kandungan.
Aturan hukum ini sepertinya tidak begitu ditegakkan. Terence Hull dan Ninuk Widyantoro dalam tulisannya “Abortion and Politics in Indonesia” di buku Abortion in Asia menulis, meski dari laporan pemerintah jumlah aborsi di HIndia-Belanda mencapai ratusan, aduan hukum pada pelaku aborsi tidak lebih dari hitungan jari dalam setahun. Menurut Hull dan Ninuk, alih-alih peraturan ini digunakan sebagai cara pemerintah mempresekusi orang-orang “bengal”.
Baca juga: Usaha Belanda Menyingkirkan Dukun Beranak
Dokter Suzanne Houtman misalnya yang ditangkap karena membuka praktik aborsi. Suzanne merupakan mantan istri Sam Ratulangi. Ia seorang indo yang lahir dari keluarga kaya. Setelah bercerai dengan Sam Ratulangi, Suzanne kembali ke rumah keluarganya di Jawa. Ia membuka praktik di salah satu rumah besar berpaviliun milik keluarganya. Di sana ia melayani pengobatan orang-orang pribumi dan perempuan. Sebaliknya, ia menolak mengobati keluarga Belanda atau lelaki. Orang Sunda, Jawa, dan Tionghoa, sering terlihat mengantri sebagai pasiennya.
Pada 1933, Suzanne ditangkap karena membuka praktik aborsi. Dia dihukum lima tahun di penjara Semarang. Kasus ini jadi kasus yang jarang ditemui di masanya. Padahal, dokter, bidan, dan dukun beranak lain ada juga yang mempraktikkan aborsi dan tidak ditangkap. Tull dan Ninuk berasumsi, Suzanne kemungkinan ditangkap karena aktif menentang penjajahan dan sering menunjukkan perlawanan pada pemimpin konservatif terutama kertika masih jadi istri Sam Ratulangi. Sangkaan aborsi hanya celah yang digunakan untuk meringkusnya.
Baca juga: Kala Sarjana Eropa Ramai-Ramai Teliti Jamu
Aturan tinggalan hukum Belanda tersebut masih berlaku hingga Indonesia merdeka. Sementara di Belanda, hukum aborsi dicabut pada 1981 karena dianggap rentan mengkriminalkan perempuan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar