Mendamba Kecantikan, Menggadaikan Kesehatan
Usaha memutihkan kulit sudah dilakukan sejak lama. Ada risiko kesehatan yang mengintai.
KULIT putih terang, halus, dan bersih menjadi dambaan banyak orang sejak lama. Resep-resep memutihkan kulit pun sudah ada sejak zaman baheula. Di Indonesia, resep mujarab memutihkan kulit didapat dengan rutin menggunakan bedak dingin yang terbuat dari tepung beras.
Di masa berikutnya, muncul produk-produk pemutih kulit mengandung bahan kimia. “Kalau dibilang tidak sehat, ya pasti tidak sehat. Orang tadinya hitam lalu ingin putih, itu hal yang mengubah struktur kulit. Tapi selama tidak sehatnya hanya sedikit ya tidak apa-apa,” kata Sjarief Wasitaatmadja, salah satu dokter kosmetik medik pertama di Indonesia, kepada Historia.
Pada 1970-an, produk kosmetik yang merusak kulit dan meracuni tubuh banyak beredar baik produk impor maupun produk lokal yang dibuat dengan formula warisan kolonial. Kosmetik itu umumnya mengandung zat-zat kimia yang berpotensi merusak kulit. Pasalnya, kala itu kesehatan kulit belum diperhatikan betul, hanya asal cantik saja.
Sebagai contoh, krim pemutih kulit ada yang mengandung merkuri. Alih-alih memutihkan dan menghaluskan, krim justru merusak kulit dan tubuh. “Bahkan, ada yang sampai bengkak dan bernanah,” kata Retno Iswari Tranggono dalam biografinya yang ditulis Jean Coutetau, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty. Produk bermerkuri memiliki efek yang sangat berat. Selain merusak kulit, logam berat merkuri bisa mengendap di otak, ginjal, dan lever.
“Merkukri dilarang, soalnya beracun. Zaman dulu jangankan berbahaya, bahan yang bikin mati saja dipakai. Zaman dulu kan pengetahuannnya belum banyak. Tapi setelah dilakukan penelitian, orang tahu kalau itu berbahaya,” kata Sjarief.
Krim pemutih bermerkuri sudah digunakan semasa Dinasti Tudor Inggris pada 1500-an. Kala itu kulit putih pucat didamba para bangsawan. Kulit putih pucat seolah menjadi penanda bahwa para bangsawan tak pernah kena sinar matahari dan bekerja fisik. Alhasil, mereka mempunyai kulit yang putih pucat laiknya mayat.
Konon, Ratu Elizabeth I menggunakan kosmetik untuk memutihkan kulitnya. Kosmetik itu dibuat dari ramuan putih telur, tawas, boraks, dan biji poppy (bahan dasar opium) yang ditumbuk dan diberi air. Ramuan itu akan bertahan selama satu tahun dan konon ratu menggunakannya seminggu tiga kali.
Sementara kelas di bawahnya, yakni para bangsawan, menggunakan bedak (ceruse) untuk membuat kulit terlihat putih. Tidak hanya perempuan, lelaki pun ingin memutihkan kulit mereka sebagai penanda status sosial. Mereka ramai-ramai membedaki wajah dan berjalan penuh kecongkakan tanpa tahu kalau kosmetik mereka beracun.
Lama-kelamaan, kosmetik ini membuat kulit berjerawat dan pemakainya mengalami kerontokan rambut. Kulit pemakainya pun tidak lagi berwarna putih pucat, tapi jadi keabu-abuan. Beberapa kasus kronis menyebabkan pemakainya meninggal. Annette Drew-Bear dalam Painted Faces on the Renaissance Stage menulis, bedak yang digunakan para bangsawan mengandung logam berat. Salah satu bahan yang banyak digunakan di era itu adalah boraks dan merkuri yang berbahaya untuk tubuh.
Di Amerika, ahli saraf Universitas Harvard Allen Counter, menemukan bahwa di Arizona, California, dan Texas, ratusan perempuan keturunan Meksiko menderita keracunan merkuri. Pemicunya tak lain penggunaan krim pemutih kulit.
“Merkuri sebenarnya pemutih yang bagus tapi itu berbahaya. Soalnya merkuri mematikan semuanya, ya pigmen mati, ya orangnya mati. Ha-ha-ha,” kata Sjarief berkelakar. “Kalau digunakan dalam waktu lama, semua syaraf dan organ bisa mati karena keracunan. Merkuri dalam jumlah sedikit saja berbahaya,” sambung Sjarief dengan nada serius.
Di Indonesia, salah satu pemutih kulit yang populer tahun 1970-an adalah krim mutiara (pearl cream), dari Tiongkok. Krim mutiara dipakai sebagai alas bedak dan krim menjelang tidur. Daya pemutihnya pada kulit sangat kuat. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kulit putih dengan krim ini. Pasalnya, krim mutiara mengandung merkuri. Merkuri yang masuk ke dalam tubuh bisa meracuni ginjal, saraf, dan darah. Efeknya bisa merusak organ tubuh secara permanen. Kulit pengguna juga bisa kemerahan bahkan bengkak hingga bernanah.
Pemerintah Indonesia melarang penggunaan pemutih berbahan merkuri pada 1970-an. Ada risiko besar yang harus ditanggung kala usaha memutihkan kulit berujung nestapa. Sebab, pada dasarnya memutihkan kulit menyimpan risiko kesehatan alih-alih mencapai kecantikan ideal yang didamba entah siapa. “Orang Indonesia banyak yang ingin kulit putih. Itu sebenarnya tidak sehat,” kata Sjarief.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar