Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka
Banyak figur Indonesia yang mendunia bangga menyatakan keindonesiaan mereka. Agnez Mo termasuk di dalamnya. Namun, pernyataannya dipelintir.
AGNES Monica alias Agnez Mo bikin heboh. Dalam wawancaranya dengan Build Series by Yahoo, penyanyi kelahiran Indonesia yang tengah go-international itu mengaku tak punya keterkaitan apapun dengan Indonesia.
“Sebenarnya aku enggak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku (berdarah) Jerman, Jepang, China dan aku hanya lahir di Indonesia. Aku juga Kristen dan mayoritas di sana Muslim. Aku tidak bilang bahwa aku tidak berasal dari sana karena saya merasa diterima. Tetapi saya merasa tidak seperti yang lain,” cetusnya.
Pernyataan itu sontak memancing respon netizen Indonesia. Banyak yang mengecam ia seolah jadi kacang lupa pada kulitnya atau mengutuk betapa tak bersyukurnya Agnes yang memulai kariernya dari penyanyi cilik di Indonesia.
Pun begitu dengan sejumlah media yang ramai-ramai memberitakan pernyataan kontroversial Agnes dengan menitikberatkan pada “saya enggak punya darah Indonesia.” Alhasil, sejumlah tokoh maupun politisi ikut mengkritik Agnes.
Padahal, bukan seperti itu maksud Agnes. Ia merasa pernyataannya disalahpersepsikan hingga dipelintir sejumlah pihak. Lewat akun Instagram-nya, Agnes memberi klarifikasi.
“Orang-orang yang hanya ingin menyebar kebencian dengan memelintir pernyataan dan niat saya harusnya malu. Saya hanya mengatakan hal baik, bahkan ketika saya seorang minoritas, saya turut menyebarkan perbedaan yang luar biasa yang saya pelajari di negeri saya. Saya tak bisa memilih darah atau DNA saya, namun saya selalu berdiri untuk negara saya,” kata Agnes di akunnya, @agnezmo.
Baginya, Indonesia tetap negeri yang dicintainya, terlepas baik atau buruk pengalaman hidup dalam keragaman yang pernah dirasakannya. Nama besar Indonesia tetap ingin diusungnya di pentas internasional manapun dia berkiprah sebagaimana dilakukan Luis Leeds, pembalap mobil milenial blasteran Indonesia-Australia.
Belakangan, Leeds “pulang” ke Indonesia, tanah kelahiran ibunya, karena menjatuhkan hati pada Indonesia ketimbang Aussie. Leeds mendambakan jadi pembalap Formula One (F1) dengan bendera merah-putih melekat di mobilnya. Dia tak peduli minimnya infrastruktur pendukung kariernya.
“Saya bisa duduk seharian dan berbicara tentang mengapa saya mencintai Indonesia dan mengapa saya terinspirasi untuk pulang ke rumah. Dalam karier balap saya selalu memiliki bendera Indonesia tapi saya tidak pernah berdiri di podium dengan bendera Indonesia di belakang. Saya menyelesaikan musim 2018 (Formula 4) sebagai juara Australia. Jadi sekarang saatnya saya memberikan pengakuan kepada Indonesia bahwa saya merasa layak dan di sinilah saya,” ungkapnya saat diwawancara Kumparan, Jumat (22/11/2019).
Hidup-Mati untuk Indonesia
Harus diakui, hingga kini pengakuan dunia kepada Indonesia lebih banyak berasal dari bidang olahraga dibanding bidang musik yang dijalani Agnez Mo. Mayoritas pengakuan internasional itu datang dari bulutangkis, olahraga yang semua gelar kejuaraan prestisius internasionalnya pernah dijuarai atlet Indonesia.
Dari sekian banyak “pahlawan” yang mengharumkan nama bangsa lewat bulutangkis itu, banyak yang beretnis Tionghoa, beragama minoritas, dan punya pengalaman pahit soal diskriminasi. Pun begitu, mereka hanya mengakui Indonesia sebagai negerinya. Tak pernah ada pernyataan “sekadar numpang lahir di Indonesia” dari mereka.
Baca juga: Srikandi yang Tak Diakui
Lie Ing Hoa alias Ivana Lie, contohnya. Kendati status kewarganegaraannya lama tak diakui, dia berulangkali memberi kebanggaan pada negeri dengan menjuarai berbagai kejuaraan internasional.
“Lima tahun bertanding di luar negeri, (saya, red.) pakai selembar kertas seperti surat jalan yang menyatakan saya warga negara Indonesia. Jadi sebenarnya lima tahun itu saya stateless. Sedih rasanya. Secara manusia perlu pengakuan ya. Saya merasa bahwa saya lahir di Indonesia, saya berbudaya, berbahasa, merasa sebagai bangsa Indonesia dan sudah membuktikan dengan bertanding bawa nama Indonesia,” kata Ivana kepada Historia.
Ivana baru mendapat kewarganegaraan pada 1982 dengan keluarnya SBKRI. Selepas pensiun pada 1990, ia tetap mendarmabaktikan diri menjadi pelatih tim bulutangkis Indonesia hingga kemudian dipercaya jadi staf ahli Menpora Andi Mallarangeng dan Roy Suryo.
Kisah serupa juga dialami Liang Tjiu Sia, pelatih yang melahirkan banyak srikandi bulutangkis tingkat dunia seperti Susy Susanti. Sia lahir di Cirebon 69 tahun lampau. Kendati merintis karier di China akibat diskriminasi rasial pada 1966 membuat sekolah Tionghoa yang diikutinya bubar, ia kembali ke Indonesia pada 1985 untuk menjadi pelatih pelatnas putri PBSI. SBKRI didapatnya baru empat tahun kemudian.
Baca juga: Siapa Liang Tjiu Sia?
Kepelatihan Sia berjalan hingga 2003. Meski China meminta servisnya kembali setelah itu, Sia menolaknya. “Separuh hidup saya sudah di sana (Cina). Saya inginnya menghabiskan umur di sini. Saya kan lahir di sini. Mati juga inginnya di sini,” ujarnya kepada Historia.
Kebanggaan pada Indonesia sebagai “tanah tumpah darah” juga lekat di diri Tjhie Beng Go’at alias Christian Hadinata. Pria kelahiran Kebumen, 11 Desember 1949 ini enggan “menggadaikan” negerinya demi apapun. Setelah jadi langganan juara di mancanegara sebagai pemain, ia memilih jadi pelatih Indonesia. Pantang ia menerima tawaran melatih negeri lain.
“Bulutangkis Indonesia sudah membesarkan nama saya. Masak sih enggak mau mengembalikan sesuatu untuk bulutangkis nasional? Saya kepingin mengembalikan, dalam arti tenaga, pikiran, waktu, untuk bisa tetap membangun prestasi bulutangkis Indonesia seperti yang sudah dibangun para senior saya,” ujar Christian.
Baca juga: Christian Hadinata Ingin Seperti Beckenbauer
Kebanggaan pada Indonesia sebagai tanah-air yang tak kalah besar tentu terdapat dalam diri Susy Susanti (Wang Lianxiang). Ketika ia berlaga di Uber Cup 1998 di Hong Kong yang berbarengan dengan huru-hara 1998, Susy tetap mati-matian memperjuangkan nama baik negerinya di lapangan meski rumah orangtuanya di Tasikmalaya sempat dibakar massa.
Kebanggaan pada Indonesia itu tercermin dari jawabannya ketika diwawancara reporter CNN, apakah dirinya akan meminta suaka ke pemerintah Hong Kong dan apakah dia masih menganggap orang Indonesia.
“Saya tidak menganggap diri saya orang Indonesia. Saya tidak perlu menganggap begitu. (Karena) saya orang Indonesia. Dan akan selalu menjadi orang Indonesia,” jawab Susy.
Baca juga: Ketika Rumah Susi Susanti Nyaris Dibakar
Alan Budikusuma (Goei Renfang), suami Susy yang kala itu masih jadi pacar, setali tiga uang dengan Susy. Saat ingin menikahi Susy pada 1997, keduanya kesulitan mengurus dokumen pernikahan gegara perkara SBKRI. Betapapun demikian, cintanya pada Indonesia tak luntur.
“Saya mempertanyakan kenapa SBKRI harus ada? Kenapa saya dipertanyakan tidak nasionalis, padahal saya bangga dengan Indonesia. Saya lahir di Indonesia (Surabaya, 29 Maret 1968). Orangtua saya juga lahir di Indonesia. Kita pun ingin meninggal di Indonesia, bukan di luar (negeri). Saya orang Indonesia walaupun saya orang Tionghoa,” tutur Alan.
Ragam Indonesia dalam DNA
Kisah-kisah mereka hanya seujung kuku dari sejumlah orang Indonesia lain yang bangga mengakui Indonesia sebagai negerinya kendati pernah didera perlakuan diskriminatif. Isu rasial memang masih jadi “penyakit” yang belum kunjung sembuh. Penyakit sosial warisan kolonial Belanda itu menyisakan kepahitan pada golongan minoritas.
Celakanya, banyak orang tak paham terhadap konsep Indonesia sehingga seringkali berlaku rasis, seperti yang dilakukan dalam merespon pernyataan Agnes. Fenomena ini membuat sejarawan Bonnie Triyana mengatakan bahwa apa yang disampaikan Agnes esensinya sudah betul karena Indonesia dibangun dari konsensus beragam orang dengan latar belakang ras, etnik, politik, dan agama berbeda. Indonesia tidak dibangun dari keterikatan ras yang homogen. Namun, cara penyampaian Agnes saja yang kurang tepat sehingga menimbulkan misinterpretasi dari masyarakat, terutama di dumay.
“Identitas kebangsaan Indonesia tidak dibentuk berdasarkan darah (biologis). Kalau Agnes mau menjelaskan dia secara biologis bukan orang Indonesia, padahal untuk jadi orang Indonesia enggak butuh pembuktian biologis, ya dia enggak bisa membedakan konsep ras (biologis), etnis (non-biologis) dengan kebangsaan (sosiologis-politis),” cetus Bonnie.
Ketidakpahaman masyarakat akan keindonesiaan itulah yang mendorong Historia.id bersama Kemendikbud menggelar pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) melalui proyek tes DNA. Sejumlah relawan yang dites ternyata memiliki nenek moyang beragam darah dari berbagai penjuru dunia. Hasil tesnya menjadi bukti bahwa apa yang disebut orang Indonesia menggugurkan konsep pribumi-nonpribumi, warisan kolonial yang menguat sejak beberapa tahun ke belakang.
Baca juga: Mengurai Nenek Moyang Ayu Utami Via DNA
Bukti heterogenitas individu Indonesia antara lain, hasil tes DNA presenter kondang Najwa Shihab. Di ranah publik ia disebut berdarah Arab. Namun hasil tes DNA-nya menyatakan mayoritas DNA-nya berasal dari Asia Selatan, yakni 48,54 persen. DNA Timur Tengahnya hanya 3,48 persen. Sementara, di tubuhnya bercampur banyak DNA mulai dari Afrika Utara, Asia Timur, hingga Eropa Selatan.
“Di tengah begitu banyak perbedaan yang ada di dalam diri kita, sesungguhnya ini juga menguatkan bahwa satu hal yang menjadikan kita Indonesia adalah niat bersama untuk menjadikan ini rumah bagi semua. Indonesia adalah rumah bersama dan merah-putih jadi tujuan kita sama-sama,” kata Najwa.
Hasil tes DNA Grace Natalie, ketua Partai Solidaritas Indonesia, juga menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan percampuran banyak ras. Kendati penampakannya sangat Tionghoa, yang membuatnya acap jadi korban diskriminasi, hasil tes DNA- Grace adalah: 76,92 persen Asia Timur, 21,98 persen Diaspora Asia, 1,11 persen Asia Selatan, dan 0,01 persen Afghanistan.
"Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar