Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan
Stereotip terhadap suku bangsa tertentu runtuh oleh hasil tes DNA. Ciri fisik tak menentukan pekerjaan seseorang.
Grace Natalie, mantan jurnalis dan pembaca berita di sejumlah stasiun televisi, mengenang hari pertamanya bekerja sebagai jurnalis. Dia memperoleh perlakuan rasis dari sesama jurnalis. Saat itu dia berada di Cikeas, menunggu Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan kepada pers setelah terpilih menjadi Presiden Indonesia 2004—2009.
Grace berwajah oriental. Kulitnya terang. Seorang jurnalis lelaki memperhatikan ini. Dia mendekati Grace dan berbincang sekadarnya. Lalu pernyataan mengganggu keluar dari jurnalis lelaki itu. “Ngapain Lo jadi wartawan? Kenapa gak buka toko aja?” kata jurnalis lelaki, sebagaimana cerita Grace kepada Historia.
Ucapan jurnalis lelaki itu berbekas sangat dalam. “Teringat sampai sekarang,” kata Grace. Ucapan itu termasuk stereotip terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Stereotip berarti penilaian orang hanya berpijak pada keyakinan subjektifnya, yaitu pengalamannya semata.
Baca juga: Tionghoanesia
“Sebuah stereotip mengenai suku bangsa itu muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah suku bangsa dalam berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu suku bangsa tersebut,” terang Parsudi Suparlan, guru besar Antropologi Universitas Indonesia, dalam Hubungan Antar-Suku Bangsa.
Stereotip meniadakan pengalaman orang lain terhadap suku bangsa tertentu. Sebaliknya, ia justru menggeneralisasi pengalaman seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Ia bersifat sempit, terbatas, jauh dari kebenaran, dekat pada pembenaran atas ketidaktahuan, dan berujung pada rasisme. Masihkah kita percaya pada stereotip?
Pekerja Tambang Timah
Grace mengatakan dirinya berasal dari Bangka, Timur Sumatra. Tapi dia tak tahu pasti kampung halaman leluhurnya. “Gak pernah detail, sih, ceritanya. Karena kita, kan, gak mencatat. Jadi paling cerita mama terbatas sampai neneknya,” kata Grace.
Dari cerita ibu dan pengalaman bertemu dengan saudara, Grace mengetahui kakek buyut dari pihak ibu sudah lama tinggal di Bangka. Leluhurnya kemudian menikah silang dengan orang tempatan. “Maka saya tak tahu persis siapa saja nenek moyang saya. Sudah campur-campur,” ujar Grace.
Grace memperoleh keterangan lain tentang asal-usul buyutnya dari sebuah foto di rumah keluarganya di Bangka. “Dia tampak dari kerajaan di China. Datang ke Indonesia. Topinya berbulu,” lanjut Grace.
Baca juga: Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung
Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam acara “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negri China dan Nusantara”, orang-orang Tionghoa menapak di Bangka pada awal abad ke-18. Kala itu pertambangan timah mulai dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikah dengan orang-orang tempatan.
Dari penelusuran literatur tersebut, leluhur Grace kemungkinan termasuk di antara pekerja tambang timah di Bangka. Kemungkinan ini secara tidak langsung telah menggugurkan stereotip si jurnalis lelaki bahwa orang Tionghoa pedagang toko.
Untuk memperjelas asal-usul leluhurnya, Grace mengikuti tes DNA garapan historia.id dalam Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Asal-usul leluhur Grace ternyata tak tunggal. Dalam dirinya bukan hanya mengalir darah Tionghoa, melainkan juga Asia Timur secara lebih luas, diaspora Asia (orang-orang Asia yang menyebar ke Amerika Utara), Asia Selatan, dan Afghanistan.
Migrasi Afghanistan
“Gak Nyangka. Yang penampakannya kayak saya begini ternyata dulu-dulunya banget ada leluhur Afghanistan,” kata Grace. Persentase kandungan Afghanistan dalam DNA Grace 0,01 persen. Sangat kecil dibandingkan dengan persentase kandungan Asia Timur sebesar 76,92 persen.
Tapi kandungan DNA sekecil itu sudah cukup mengukuhkan bahwa asal-usul dan identitas tidak pernah terbentuk secara tunggal dan berdiri sendiri.
Afghanistan adalah sebuah negeri dengan sejarah panjang pendudukan aneka bangsa. Mulai pasukan Iskandar Zulkarnain dari Makedonia (sekarang wilayah utara Yunani) pada 330 SM, gerombolan Jenghis Khan asal Mongol pada abad ke-13, tentara Inggris pada abad ke-19, serdadu Uni Soviet pada 1979, dan prajurit Koalisi pimpinan Amerika Serikat pada 2001.
Baca juga: Persahabatan Indonesia-Afghanistan
Pendudukan orang-orang dari luar Afghanistan itu kerapkali tak berlangsung lama. Suku-suku setempat menggelorakan perlawanan terhadap para penyerang. Beberapa dinasti sempat berdiri di Afghanistan dan mengukuhkan penyebaran agama Islam di wilayah ini sejak abad ke-8.
Agama Islam menyebar ke Afghanistan melalui ekspansi orang-orang Arab ke antero negeri di sekitarnya. Suku-suku setempat memiliki tanggapan berbeda terhadap penetrasi Islam di wilayah ini. Sebagian besar menerima, lainnya tetap menolak.
Penerimaan suku setempat terhadap kedatangan orang-orang Islam dari negeri Arab diikuti oleh pernikahan silang. Muncul generasi-generasi baru suku-suku setempat. Generasi yang memiliki darah campuran.
Pada kesempatan berikutnya, generasi campuran ini keluar dari Afghanistan menuju Asia yang lebih luas, termasuk ke Nusantara, untuk menyebarkan Islam di bawah perintah dinasti setempat. Dan di tempat-tempat baru inilah mereka menikah silang dengan orang-orang tempatan.
Arti DNA
Migrasi orang-orang dari banyak tempat dan pernikahan silang pada masa lalu dalam rentang waktu yang lama menjelaskan mengapa seseorang memiliki DNA dari beragam ras dan wilayah. Ini pula yang terjadi pada leluhur Grace.
Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, mengatakan bahwa Grace memiliki DNA orang Brahmin dari India. “Brahmin itu sebenarnya satu suku yang menggunakan kasta ya. Saya kira kita tahu kasta Brahma.”
Pengkastaan dalam masyarakat India berlangsung sejak peleburan kebudayaan bangsa Arya dan Dravida di lembah sungai Hindus dan Gangga 3000 tahun lalu. Ini berarti leluhur Grace bisa ditarik ke masa lebih jauh. Termasuk menghubungkannya dengan penyebaran agama Hindu ke Kepulauan Nusantara sejak abad ke-5 M.
Baca juga: Mengukur Kemurnian Manusia Indonesia
Melihat keseluruhan hasil tes DNA, Grace kian menyadari tentang keberagaman asal-usul orang Indonesia. Keberagaman itu menguatkan kebanggaannya menjadi bangsa Indonesia. Dia sadar bangsa ini tidak terbentuk atas ikatan darah atau keturunan. “Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace.
Bersama itu pula, tes DNA menghantam telak stereotip seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Jika DNA seseorang memiliki keberagaman asal-usul, bagaimana mungkin seseorang bisa dilabeli secara sederhana dengan identitas tunggal sebagai pedagang ataupun penjaga toko?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar