Melihat Lebih Jernih dengan Kacamata
Mata bekerja keras saat melihat benda berukuran kecil atau berada di kejauhan. Manusia lalu berpikir untuk menciptakan alat yang membantu mata. Diciptakanlah kacamata.
DI awal penemuannya, kacamata hanya dipakai kalangan terbatas seperti ahli mekanik (pembuat jam dan perhiasan) serta para pemikir (pendeta biara, fisikawan, dan filsuf). Lalu kacamata berkembang sesuai kebutuhan manusia, dari mengatasi gangguan penglihatan hingga bagian dari gaya hidup.
Berikut ini perjalanan sejarah kacamata.
Smaragdus
Kaisar Nero, penguasa Romawi pada 54–68 SM, merasa terganggu penglihatannya karena silau sinar matahari saat menyaksikan pertandingan gladiator di Colloseum, Roma. Menurut sejarawan Pliny (23–71 SM), Nero lalu mengenakan batu permata hijau atau disebut smaragdus yang sudah diasah untuk mengurangi silau.
Batu Baca
Claudius Ptolemy (100–178 M), ilmuwan Yunani, melakukan uji fisika terhadap “batu baca” tersebut dan melapangkan penelitian-penelitian berikutnya. 800 tahun kemudian, ilmuwan Arab, Ibnu Al-Haytham, menjadi orang pertama yang menjelaskan secara ilmiah mengenai alat berupa lensa dari batu yang diasah untuk membantu mata melihat lebih jelas. Cara menggunakannya, batu pipih ini diletakkan lebih dekat pada teks yang akan dibaca.
Baca juga: Awal Mula Kacamata
Lensa Cembung
Dalam buku Opus Majus yang terbit tahun 1268, Roger Bacon, biarawan ordo Fransiskan dari Inggris, menulis tentang keuntungan menggunakan lensa cembung untuk membaca teks. Dasar penelitiannya dikembangkan dari penelitian ahli optik Arab, Al-Hazen alias Ibnu Al-Haytham, yang hidup sekira 1000 M. Menurut Bacon, huruf dalam teks akan menjadi lebih besar jika dilihat dengan “batu kaca” berbentuk cembung. Dia juga menulis bahwa alat tersebut membantu mata yang sudah berkurang daya penglihatannya.
Occhiale
Lensa cembung yang dibentuk sesuai ukuran mata, dibingkai, dan kemudian diberi pegangan layaknya kacamata sudah dilakukan di Pisa, Italia sekira 1286. Giodano da Rivalto atau Jordan of Pisa, biarawan dari St. Catherine, menyebut kacamata sebagai Occhiale. Penggunaannya mulai menyebar ke seantero Italia dan negara Eropa lainnya.
Baca juga: Di Balik Kacamata Jacqueline Kennedy
Lensa Kaca
Pulau Murano di Venezia, Italia, menjadi salah satu pusat industri kacamata di Abad Pertengahan. Sekira April 1300 M, serikat buruh kaca di sana menyebut salah satu produknya dengan nama roidi da ogli atau vetri da ochi. Selanjutnya, produksi kacamata tak hanya berlensa cembung untuk penderita presbiopi atau rabun karena usia saja, tetapi juga lensa cekung untuk penderita miopi atau rabun jauh. Risalah Johannes Keppler (1571–1630), ilmuwan Jerman, menjelaskan pemanfaatan lensa cembung dan cekung untuk mengatasi masalah miopi dan presbiopi. Inovasi dalam produksi kacamata, yang awalnya terpusat di Italia kemudian merembet ke Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda.
Kacamata Gantung
Di kawasan Asia atau Timur Jauh, perkembangan kacamata agak berbeda. Kacamata mulai dikenal di Asia sejak kedatangan saudagar dan pendeta dari Eropa awal abad ke-15. Penggunaannya lebih sebagai penanda status sosial, bukan membantu penglihatan. Di Asia, kacamata diikatkan di telinga dengan menggunakan semacam kabel. Baru sekira tahun 1727 Edward Scarlett, ahli optik dari Inggris, mengembangkan kacamata modern dengan gagangnya yang bertengger di belakang telinga. Konsep ini sebenarnya telah dikembangkan di Spanyol sekira 1500-an.
Kacamata Lensa Berwarna
Memasuki abad ke-17, lensa berwarna mulai dikembangkan dan segera menjadi populer. Di Tiongkok, kacamata dengan warna menyerupai minuman teh digunakan sebagai alat terapi mata yang terkena infeksi. Tak hanya warna yang berinovasi. Lensa model bulat yang merajai hingga akhir abad ke-18 digantikan dengan lensa model oval yang lebih modern. Selain itu, bingkai kacamata pun berkembang; tak hanya menggunakan bahan logam, tetapi juga kayu, tulang, dan tanduk.
Baca juga: Om Kacamata di Banda Neira
Kacamata Bifokal
Menginjak usia 78 tahun, Benjamin Franklin, ilmuwan yang merupakan salah seorang pendiri negara Amerika Serikat, mengalami penurunan kemampuan melihat sehingga membutuhkan bantuan kacamata. Dia memiliki dua jenis kacamata, satu untuk membaca dan satu lagi untuk melihat jarak jauh. Pada 1785, dia berpikir untuk menggabungkan keduanya yang dikenal dengan kacamata bifokal sehingga bisa dipakai membaca sekaligus melihat jauh.
Kacamata Antisinar Matahari
Kacamata dengan lensa berwarna, kekuningan dan kecoklatan, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulanya dikenakan penderita sifilis yang sensitif terhadap cahaya. Kacamata antisinar matahari ini berkembang pesat setelah Sam Foster, pemilik merek kacamata Foster Grand, mengenalkannya di Amerika pada 1929. Tujuh tahun kemudian, muncul kacamata dengan lapisan polaroid yang dipatenkan Edwin H. Land, ilmuwan Amerika. Pada Perang Dunia II, Ray Ban, pabrikan kacamata asal Italia, mengeluarkan produk khusus kacamata antisinar matahari khusus bagi pilot pesawat tempur, setelah sebelumnya, pada 1937, produknya dikenakan para pesohor Hollywood.
Kacamata Tiga Dimensi
Charles Wheatstone (1802–1875), ilmuwan Inggris, sekira tahun 1838 menciptakan stereoscope yang memperlihatkan foto-foto tiga dimensi. Namun, penggunaannya untuk menonton sinema tiga dimensi berkembang pesat di Amerika pada 1950-an dengan munculnya film-film tiga dimensi semacam Man of The Dark, House of Wax, dan Creature From The Black Lagoon.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar