Kumbang Kamerun Sang Mak Comblang
Kumbang asal Afrika ini punya peran penting dalam perkelapasawitan. Ia jadi mak comblang sawit jantan dan sawit betina, dan membuat produksi sawit meningkat.
BERSAFARI hitam dan berkacamata, Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Perkebunan/Tanaman Keras Hasjrul Harahap meresmikan penyebaran kumbang kamerun (Elaeisdobius kamerunicus) di kebun kelapa sawit Pusat Penelitian Marihat (PPM) Pematangsiantar, Sumatra Utara, pada akhir Maret 1983.
Hewan asal Afrika itu sengaja didatangkan ke Indonesia untuk penyerbukan pohon kelapa sawit. “Serangga EK itu meningkatkan intensitas perkawinan bunga. Jadi buahnya lebih banyak,” ujarnya, dikutip Tempo, 16 April 1983.
Hingga awal 1980-an, produktivitas pohon sawit di perkebunan-perkebunan Indonesia terbilang rendah, jauh di bawah Malaysia. Padahal pemerintah mengandalkan sawit sebagai satu dari enam produk perkebunan penghasil devisa.
Penyerbukan (polinasi) ternyata menjadi pangkal masalah. Penyerbukan pohon sawit yang berumah satu (monoecious) bergantung pada bantuan makhluk lain. Sebab, bunga jantan dan betina berada di pohon terpisah. Jumlah bunga jantan pun lebih sedikit dibanding bunga betina. Akibatnya, hanya sebagian kecil bunga betina yang terbuahi.
Penyerbukan alami tak efisien. Sementara penyerbukan dengan serangga/kumbang lokal tak membuahkan hasil maksimal karena, selain lemah, senang menclok di pohon lain. Penyerbukan dengan tenaga manusia (assisted polination) menjadi pilihan utama hingga awal 1980-an.
“Namun, hasilnya kurang maksimal,” ujar tokoh perkelapasawitan Indonesia, Derom Bangun dalam memoarnya, Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia.
Dalam kunjungannya ke pabrik pengolahan sawit baru di Malaysia pada awal 1980-an, Derom kali pertama mendengar cerita tentang kumbang kamerun. Di sana dia bertemu manajer kebun Kluang milik Unilever, Mahbob Abdullah, yang sedang giat meneliti kumbang kamerun di bawah pimpinan Rahman Syed, ahli serangga dari Commonwealth Institute of Biological Control, Trinidad.
Mahbob cerita panjang-lebar mengenai penelitiannya. Menurutnya, kumbang kamerun diberdayakan Malaysia mulai 1981, dikenal sebagai “mak comblang.” Selain kuat, kelebihan kumbang kamerun berdaya jelajah lebih jauh, lebih agresif, dan hanya mau berhabitat di pohon sawit.
Melalui kerjasama tiga pihak (PPM, PT PP London Sumatera, dan Rahman Syed), Malaysia memperkenalkan kumbang kamerun ke Indonesia. Pada 6 Juli 1982, Menteri Pertanian, Soedarsono Hadisaputro mengeluarkan izin No. 03/SIP/Bun/II/1982. Indonesia mengimpor kumbang kamerun via Balai Penelitian OPRS Banting, Malaysia.
Pada Agustus 1982, sekira 4.623 pupa (kepompong) kumbang kamerun tiba di Bandara Polonia. Petugas langsung membawanya ke PPM Pematangsiantar. Dua hari kemudian, 508 pupa selamat dan berhasil tumbuh menjadi kumbang (394 jantan, 114 betina). Setelah diujicobakan dan berhasil meningkatkan produksi buah sekitar 20 persen, kumbang kamerun resmi digunakan sebagai tenaga penyerbukan di perkebunan-perkebunan sawit di seluruh Indonesia.
“Namanya secara resmi disebut serangga penyerbuk kelapa sawit (SPKS),” ujar Derom. Sejak itu, produksi sawit Indonesia meningkat pesat. “Surplus panen ternyata bukan saja mendatangkan keuntungan, melainkan efek samping yang tidak diduga.”
Indonesia kini menjadi produsen sawit terbesar di dunia. Namun, mendapat kritik tajam pemerhati lingkungan karena kerusakan hutan yang ditimbulkan akibat konversi menjadi perkebunan sawit.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar