Koro Juga Menghinggapi Perempuan
Dikenal sebagai sindrom takut penis menyusut, koro di India juga menyerang perempuan.
JIKA lelaki yang terserang koro merasakan histeria akibat rasa takut penis menyusut, perempuan yang terserang koro akan mengalami delusi penyusutan pada organ reproduksi, labia (bibir vagina), dan puting payudara. Pada dasarnya, gejala koro pada lelaki dan perempuan mirip: sakit di sekujur tubuh, kepanikan, dan merasa ada penyusutan pada organ reproduksi.
Laporan pertama tentang koro pada perempuan ditemukan GD Shukla dan DN Mishra di India akhir 1982, dimuat dalam “Koro-like Syndrome”. Kala itu sedang terjadi wabah koro, lelaki dan perempuan sama-sama terserang. Pemicunya, buruknya komunikasi di antara mereka. Alih-alih memperingatkan adanya sindrom itu, masyarakat yang khawatir malah menyebarkan rumor penyakit tersebut sehingga memunculkan ketakutan. Histeria massal pun terjadi di wilayah perbatasan Utara Benggala, Assam, dan Megalaya.
Para perempuan yang, kebanyakan berasal dari keluarga berpendidikan dan berpenghasilan rendah serta percaya takhayul, mendengar kabar buruk akan adanya ancaman terhadap organ reproduksi mereka pun jadi sama kahawatir dengan para lelaki. Mereka akhirnya juga terserang sindrom koro dan koro pun mewabah.
Kebanyakan penderita adalah perempuan lajang yang belum memahami betul tubuhnya sendiri. Faktor lain yang menyebabkan kemunculan koro adalah kondisi pasien sebelum terserang sindrom itu. Menurut Amitava Dan bersama tim risetnya dalam “Socio Demographic Profile and Treatment Seeking Behaviour of Koro Patients in an Epidemic Reported from West Bengal, India”, faktor itu antara lain kurangnya kepercayaan seksual, peran agama yang menonjol, dan ketidakpercayaan diri akan kondisi tubuh. Hal itu harus diperhatikan para dokter ahli jiwa.
Penelitian baru tentang sindrom koro yang diterbitkan Amitava Dan pada 2016, menunjukkan peningkatan jumlah pasien koro perempuan. Padahal, wabah koro di India, Singapura, dan Tiongkok pada akhir 1960-an-1990-an hampir tak melanda perempuan. Laporan tentang pasien koro perempuan sangat sedikit, tapi keluhan mereka dicatat cukup detail.
Akar persoalan koro pada lelaki dan perempuan sebetulnya sama: konstruksi budaya. Organ reproduksi lelaki dan perempuan diatur oleh seperangkat norma, yang ujungnya menjadi tabu ketika berbicara urusan reproduksi. Di samping ditabukan, organ reproduksi juga diagungkan secara berlebihan sehingga dijadikan sebagai tolok ukur manusia paripurna.
“Fenomena koro dikenal di berbagai kelompok etnis di Asia Tenggara dan Afrika. Biasanya muncul dalam budaya-budaya yang menggunakan kemampuan reproduksi sebagai penentu utama kualitas seseorang,” tulis Dan. Koro adalah buah dari pengagungan secara berlebihan yang akhirnya menjadi momok menakutkan. Lelaki ketakutan penis dan pelirnya menyusut dan perempuan takut bibir vagina dan putingnya menyusut.
Mengenai jumlah pasien lelaki lebih banyak dibanding perempuan meski seksualitas perempuan diatur lebih ketat, menurut Dan, biang keladinya adalah ketabuan. Gangguan kejiwaan sampai hari ini adalah tabu yang urung dibahas, terlebih gangguan kejiwaan terkait seksualitas. Ketika seksualitas perempuan dijaga ketat bahkan dilarang untuk dibicarakan, gangguan kejiwaan terkait seksualitas yang diderita perempuan adalah aib yang harus dikubur dalam-dalam. Akibatnya, laporan tentang perempuan yang terkena sindrom koro lebih sedikit.
“Akses ke tenaga medis lebih baik untuk pria. Bahkan jika perempuan memiliki akses ke dokter, seksualitas dan masalah-masalah perempuan lebih diabaikan dalam masyarakat India,” tulis Dan.
Hingga kini di Indonesia laporan tentang pasien koro perempuan belum ditemukan. Tapi yang pasti, pengaturan terhadap genitalia laki-laki dan perempuan juga ada di beragam budaya, termasuk Indonesia. Pada masyarakat yang masih kolot, pembicaraan tentang genitalia merupakan hal sensitif sehingga menghalangi orang memahami tubuhnya sendiri. “(Kesalahpahaman tentang koro, red.) hanya dapat dimodifikasi oleh pendidikan,” tulis Dan.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar