Dua Abad Membangun Reputasi Kebun Raya Bogor
Gagasan pembentukan Kebun Raya Bogor bermula dari keinginan Kerajaan Belanda mengeksploitasi lebih lanjut sumber daya pertanian di Hindia Belanda.
PAGI itu Kebun Raya Bogor sudah ramai pengunjung. Waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB dan langit masih teduh. Jalan Astrid yang dikelilingi taman dan lapangan rumput luas dipenuhi pengunjung. Beberapa rombongan keluarga terlihat menggelar tikar di bawah pohon teduh. Anak-anak kecil berlarian dengan ceria di sekitar kolam tanaman air. Ada pula rombongan pelajar sekolah menengah yang tengah mengadakan outbond.
Itulah sebagian gambaran Kebun Raya Bogor di masa kini. Kini, tidak hanya sebagai lembaga konservasi dan penelitian alam tropis, Kebun Raya Bogor sekaligus menjadi destinasi wisata warga Bogor dan kota-kota sekitarnya. Bagi warga Jabodetabek yang sehari-hari berhadapan dengan penatnya kota besar, Kebun Raya Bogor adalah pilihan menyegarkan diri.
Kebun raya yang mulanya adalah halaman belakang rumah dinas gubernur jenderal Belanda itu kini menjadi salah satu tempat acuan penelitian flora yang penting di Indonesia. Selama 200 tahun kiprahnya, kebun raya seluas 87 hektare ini sudah memiliki 12.531 spesimen tumbuhan yang terdiri dari 3.228 spesies, 1.210 marga, dan 214 suku.
Peran Kebun Raya Bogor pun kini meluas. Tak hanya pusat konservasi tertua dan terlengkap, Kebun Raya Bogor juga menjadi induk bagi pengembangan kebun raya-kebun raya daerah di Indonesia. LIPI, sebagai lembaga yang membawahi Kebun Raya Bogor, sedang mengembangkan 32 kebun raya di daerah. Pada 2030, LIPI menargetkan akan berdiri 47 kebun raya di seluruh Indonesia. Keberadaan Kebun Raya Bogor dan kebun raya di daerah itu amat penting sebagai benteng terakhir penyelamatan flora di negeri ini.
Meskipun kini menjadi pusat penelitian dan konservasi flora, tetapi pada mulanya Kebun Raya Bogor tidak sepenuhnya dimaksudkan begitu. Gagasan pembentukan kebun raya di Bogor bermula dari keinginan Kerajaan Belanda mengeksploitasi lebih lanjut sumber daya pertanian di koloni. Untuk keperluan ini Raja Willem I mengirim para pakar ilmu alam untuk meneliti potensi kekayaan alam di Hindia Belanda.
Salah satu pakar yang dikirim ke Hindia Belanda untuk tugas itu adalah botanikus Caspar Georg Carl Reindwardt. Menginjakkan kaki di Hindia Belanda pada 1815, “Reinwardt diberikan kewenangan sangat luas untuk sejarah alam dan urusan pertanian koloni, dengan penekanan pada kepastian akan peluang-peluang ekonomi yang dapat diperoleh,” tulis Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru.
Setelah dua tahun meneliti wilayah koloni, Reindwardt mengajukan gagasan untuk pendirian sebuah kebun botani kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen pada April 1817. Sang gubernur jenderal menyetujuinya dan tidak butuh waktu lama sebuah kebun botani berdiri. Tepatnya 18 Mei 1917 ‘s Lands Plantentuin te Buitenzorg yang memanfaatkan lahan seluas 47 hektar di sekitar istana gubernur jenderal diresmikan.
Reinwardt sendiri didapuk sebagai direktur pertamanya dari 1817 sampai 1822. Pada tahun-tahun awal menjabat, Reindwardt memulai usaha mengumpulkan tanaman dan benih dari beberapa daerah Nusantara. Hasilnya, tidak kurang dari 900 jenis flora ditanam di ‘s Lands Plantentuin.
Pengembangan dan penataan kebun botani dilakukan bertahap oleh direktur-direktur penerus Reindwardt. Carl Ludwig Blume yang menggantikannya melakukan inventarisasi koleksi kebun. Dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, pada masa Blume kebun botani menerbitkan katalog koleksinya yang pertama. Saat itu tercatat 912 jenis tumbuhan ditanam di sana. Hasskarl kemudian juga terlibat membantu Johannes Elias Teijsmann menata tanaman koleksi. Saat itulah pengaturan tanaman menurut familia seperti yang kita lihat sekarang dilakukan.
Fasilitas penunjang untuk penelitian di Kebun Raya Buitenzorg terus diusahakan selama 1840-an. Selama menjabat direktur, Teijsmann juga melanjutkan usaha Reindwardt mengumpulkan tanaman untuk menambah koleksi kebun raya. “Pada 1850-an Teysmann mengoleksi secara ekstensif tanaman-tanaman di luar Pulau Jawa untuk ‘memperkaya Kebun Raya Buitenzorg sekaligus memperluas pengetahuan botani’,” tulis Goss.
Namun, agaknya usaha-usaha Teijsmann itu belum menghasilkan suatu kemajuan yang berarti. Kebun Raya Buitenzorg tetap menjadi lembaga ilmiah sederhana. Dan karenanya Kebun Raya Buitenzorg belum dianggap penting oleh peneliti yang singgah ke Hindia Belanda. Salah satunya adalah Alfred Russel Wallace.
Wallace mengunjungi Kebun Raya Buitenzorg pada 1860. Dalam bukunya The Malay Archipelago, Wallace menceritakan serba singkat saja kunjungan yang dirasanya mengecewakan itu. “Jalan-jalannya berlapis batu kerikil yang renggang sehingga berjalan di atasnya sangat melelahkan dan terasa sakit di telapak kaki,” ungkapnya.
Persoalan lain adalah kurangnya tenaga ahli botani dan tukang kebun yang andal untuk merawat koleksi kebun raya. Akibatnya, banyak tanaman koleksi kebun raya yang tumbuh tidak sehat karena tidak mendapat perawatan secara memadai. Namun, “di sini ada banyak hal yang dapat dikagumi, seperti jalan-jalan yang ditumbuhi pohon-pohon palem dan rumpun-rumpun bambu yang barangkali terdiri dari 50 jenis. Berbagai semak perdu berdaun unik dan indah tumbuh di sini,” tulisnya.
Adalah Melchior Treub yang kemudian melejitkan reputasi ilmiah Kebun Raya Buitenzorg ke aras internasional. Treub mulai memegang kendali kebun raya sejak 1880 hingga 1905. Treub berjasa besar mengembangkan fasilitas-fasilitas penelitian alam tropis di lingkungan kebun raya, terutama herbarium, laboratorium, dan perpustakaan. Treub juga membidani penerbitan ulang jurnal ilmiah Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg sebagai corong ilmiah Kebun Raya Buitenzorg. Jurnal ilmiah ini dicetak di Belanda dan diedarkan di kalangan ilmuwan Eropa.
Menjelang pergantian abad usaha-usaha Treub mulai menunjukkan hasil gemilang. Di akhir abad XIX itu fokus penelitian botani di koloni juga sudah bergeser. Dewasa itu kepentingan atas tanaman ekonomi sudah berkurang dan penelitian ilmiah murni mulai bergairah di Hindia Belanda. Saat itu Kebun Raya Buitenzorg sudah menjadi sebuah lembaga ilmiah terpandang bagi penelitian alam tropis.
“Treub mengubah kebun raya yang indah menjadi lembaga untuk kajian semua komponen alam tropis koloni, bukan sekadar lembaga yang khusus berkutat pada kajian perbandingan dalam bidang botani ekonomi,” tulis Goss.
Reputasi itu setidaknya bertahan sampai paruh awal abad XX. Kondisi surut mulai menghantui Kebun Raya Buitenzorg ketika Perang Pasifik mulai merambah Hindia Belanda. Pendudukan Jepang mengakhiri kontrol Belanda atas Hindia Belanda termasuk juga lembaga-lembaga penelitiannya. Tetapi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Buitenzorg terus berjalan meskipun mendapat pengawasan dari pemerintah militer Jepang.
Kondisi kebun raya menjadi tidak menentu selama tahun-tahun revolusi kemerdekaan. Posisi Kota Bogor yang berada di tengah-tengah antara wilayah Sekutu dan kaum Republiken menjadikan nasibnya terkatung-katung. Menurut Goss, kebun raya dalam kondisi memprihatinkan ketika perang usai.
Koesnoto, direktur baru Kebun Raya Bogor pascarevolusi sedikit demi sedikit mencoba memperbaiki kondisinya. Sebagai direktur baru dia menghadapi kacaunya administrasi dan ketiadaan sumber daya peneliti lokal. Karenanya, pada masa awal kepemimpinannya dia tetap mempekerjakan ahli-ahli berkebangsaan Belanda yang telah bekerja di sana sejak sebelum kemerdekaan.
“Setelah 1955 kerja rutin herbarium dalam memilah-milah, mengidentifikasi, dan menyimpan koleksi yang masuk dimulai. Hubungan dengan dunia ilmu pengetahuan luar kembali dijalin,” tulis Goss.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar