Dilema dan Isolasi
Dilema kalangan medis terhadap proses penularan membuat penderita lepra harus menghadapi isolasi berlapis: dari pemerintah hingga masyarakat.
KESIMPANGSIURAN tentang penularan lepra terus berlangsung memasuki abad ke-19. Walaupun ilmuwan Gerhard Henrik Armauer Hansen di Norwegia telah mengidentifikasi keberadaan bakteri M. leprae dalam setiap kasus lepra pada 1873, berbagai aspek penularan lepra masih belum terpecahkan.
Salah satu faktor yang menyulitkan penelitian adalah kesulitan pengembangan kultur jaringan M. leprae di laboratorium. Hal ini membuat berbagai tahapan ujicoba dalam penelitian klinis, termasuk terhadap binatang, hampir tak memungkinkan. Hansen sendiri gagal ketika mengujicoba bakteri M.leprae dengan kelinci.
Baru satu abad kemudian, binatang pembawa bakteri lepra, nine-banded armadillos, ditemukan. Walaupun jenis lepra yang diderita armadillos berbeda dengan lepra pada manusia, keberadaannya membantu pengembangan kultur jaringan bakteri dan bermanfaat bagi dunia penelitian.
Keterbatasan pemahaman medis pada akhir abad ke-19 memecah-belah sikap para dokter dan peneliti –antara mereka yang meyakini penularan terjadi secara cepat (termasuk melalui kontak fisik) dan mereka yang memperhitungkan faktor-faktor lain dalam penularan. Perbedaan pendapat medis mengenai infeksi dan penularan lepra meningkatkan kekhawatiran akan “bahaya” penularan lepra.
Artikel John Freeland dalam The British Medical Journal pada 5 Oktober 1889, misalnya, memaparkan perbedaan pandangan tentang penularan lepra. Sebagai seorang petugas kesehatan pemerintah Inggris di Hindia Barat, dia menyimpulkan aktivitas penduduk lokal bersama penderita lepra seperti makan (dengan tangan), tidur, bertukar pakaian, dan tinggal bersama dalam jangka waktu lama berpotensi meningkatkan penularan. Di sisi lain dia menyadari bahwa dugaan itu tak sepenuhnya terbukti.
Dia mencontohkan pandangan tokoh kesehatan Inggris Jonathan Hutchinson tentang pasien lepra dari berbagai negara yang mendapat perawatan di Inggris. Sebagian pasien kemudian tinggal bersama pasangan atau anggota keluarga lain yang sehat. Sebagian lain tidur di bangsal umum rumah sakit. Sepanjang pengamatan Hutchinson, tak pernah terjadi kasus penularan dalam interaksi-interaksi itu.
“Lepra dapat terjadi tanpa melalui faktor genetik dan tak terkait kemiskinan, lingkungan kotor, iklim atau kesulitan hidup; penularan lepra cukup sulit,” demikian Freeland mengutip Hutchinson.
Namun pandangan berbeda tentang bahaya penularan lepra justru datang dari G.H.A Hansen, penemu bakteri M. leprae. Sebelum penyelenggaraan Konferensi Lepra Pertama di Berlin, Jerman, pada Oktober 1897, sebagaimana ditulis Bombay Gazette, 8 November 1897, Hansen mengusulkan agar negara-negara lain mengadopsi strategi Norwegia yang memberlakukan undang-undang untuk memaksa pasien lepra hidup terpisah dari masyarakat. Menurutnya, keberhasilan Norwegia mengisolasi pasien lepra akan membawa Norwegia “bersih” dari lepra. Keberhasilan ini, jika diterapkan oleh negara-negara lain, akan menghapus penyakit lepra dari dunia, demikian Hansen menguraikan pendapatnya yang disambut tepuktangan peserta pertemuan.
“Mereka yang sakit memiliki kewajiban penting untuk tidak menulari yang sehat,” tegas Hansen ketika menghadapi kritik dari rekan-rekan sejawat yang menganggap pemaksaan isolasi pasien lepra sebagai tindakan yang berlebihan dan kejam. Dia berdalih bahwa pemaksaan isolasi merupakan bagian dari upaya menjaga kesehatan masyarakat, yang selayaknya menjadi prioritas di atas kepentingan individu.
Konferensi Lepra Pertama mengikuti arah sikap Hansen. Salah satu resolusinya menyatakan bahwa penyakit lepra menular antarmanusia. Banyak negara kemudian gencar mendirikan institusi untuk mengisolasi pasien lepra atau leprosarium.
Menurut Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, pada 1865 pemerintah Belanda sempat menyatakan penyakit lepra tak menular dan membolehkan pasien meninggalkan leprosarium. Keputusan Konferensi Lepra tahun 1897 mendorong pemerintah Belanda menggencarkan kembali isolasi pasien, termasuk pembangunan leprosarium di beberapa wilayah di Hindia Belanda. Kebijakan ini kembali mengulang peraturan isolasi yang pernah VOC terapkan pada 1655 melalui pendirian leprosarium di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Baha Uddin dalam makalah “Pelayanan Kesehatan Masyarakat pada Masyarakat Kolonial” menyatakan bahwa langkah ini merupakan sebuah upaya pencegahan penularan ketimbang pengobatan. Kekurangan tenaga kesehatan dan keterbatasan pengetahuan medis pada masa itu membatasi kapasitas pengobatan untuk penderita lepra.
Sejak 1930-an, beberapa penemuan medis perlahan mengungkapkan karakteristik penyakit lepra. Penemuan-penemuan ini antara lain mengidentifikasi bahwa mayoritas populasi manusia sebetulnya memiliki kekebalan natural terhadap lepra. Penularan bakteri M. leprae pun tergolong lemah. Selain itu, ujicoba klinis obat-obatan dalam kelompok sulfone saat itu terbukti efektif dalam perawatan pasien lepra. Temuan-temuan itu perlahan mengubah sikap berbagai negara terhadap tindakan isolasi pasien lepra.
Di Hindia Belanda, sikap menentang isolasi pasien lepra mulai terjadi sejak 1932. Dr J.B. Sitanala, kepala Dinas Pemberantasan Kusta, memperkenalkan sistem tiga langkah penanganan pasien lepra, yaitu eksplorasi (surveilans), pengobatan, dan pemisahan (tanpa paksaan dan tetap dalam lingkungan keluarga). Walaupun tak serta-merta menggantikan fungsi leprosarium, sistem tiga langkah secara perlahan mengurangi tindakan pemaksaan isolasi pasien lepra.
Pada 1947, Public Health Service di Amerika mengeluarkan lepra dari daftar penyakit wajib karantina sehingga membebaskan pasien lepra bepergian tanpa izin khusus. Pada 1950-an, pasien lepra di Amerika memperoleh kembali hak mereka untuk menikah. Negara-negara lain berangsur mulai meninggalkan sistem isolasi.
Kini melalui pengobatan berbagai jenis obat atau Multiple Drug Therapy (MDT), lepra dapat disembuhkan. Deteksi dini dan fasilitas pemeriksaan yang memadai di berbagai lingkungan masyarakat adalah langkah efektif mengontrol penyebaran penyakit lepra.
Masalah lain muncul justru dari masyarakat. Stigma sosial menyulitkan kehidupan sebagian besar pasien lepra. Ketakutan terhadap bahaya “penularan” lepra bukan hanya karena berbagai mitos kutukan, namun juga keterbatasan penyebarluasan informasi medis mengenai lepra serta fasilitas identifikasi dan pengobatan di masyarakat. Perjuangan mengatasi berbagai bentuk penolakan masyarakat masih terus berjalan.
Bunda Theresa yang mendedikasikan waktunya merawat penderita lepra di India pernah berkata, “penyakit terbesar saat ini bukanlah lepra atau tuberkulosis, namun perasaan tidak diinginkan.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar