Dokter Kulit Dokter Kere?
Kini, tak sulit menemukan dokter kulit, terlebih dokter kulit kecantikan. Padahal, profesi ini dulu hampir tak dikenal.
SYARIEF WASITAATMADJA, pakar kesehatan kulit, tak pernah lupa profesi dokter kulit hampir tak dikenal masyarakat sampai menjelang tahun 1980-an. “Dulu orang-orang inginnya ahli bedah, ahli penyakit dalam, dokter anak, dan ahli kebidanan. Yang favorit empat ini,” ujarnya kepada Historia.
Ketidakpopuleran itu disebabkan oleh fokus objek penanganan. Dokter-dokter spesialis kulit yang ada ketika awal Indonesia merdeka kebanyakan mendalami penyakit kulit kronis. Profesi itu dekat dengan penyakit kulit semacam kusta, sifilis, dan herpes. Dokter JB Sitanala, salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia (PMI), misalnya, mendalami penyakit kusta. Dokter Kodiat lain lagi, dia fokus pada penyakit frambusia.
Ketika Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoksi) –dulu bernama Persatuan Ahli Dermato-Venereologica Indonesia– didirikan tahun 1965, jumlah anggotanya hanya 42 orang. Buntut dari ketidakpopuleran itu, profesi dokter kulit menjadi profesi yang kering alias minim mendatangkan keuntungan materi. Bahkan menurut Retno Iswari Tranggono dalam biografinya yang ditulis Jean Couteau, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, sebutan lain dokter kulit adalah dokter kere.
Retno adalah perintis subbagian Kosmetik dan Bedah Kulit di Universitas Indonesia pada akhir 1960-an. “Di dunia seingat saya juga baru memulai penelitian tentang kosmetik dan bedah kulit,” kata Syarief, yang mantap melanjutkan pendidikan ke spesialisasi penyakit kulit dan kelamin selepas lulus tahun 1969 meski jurusan itu bukan jurusan favorit.
Syarief tertarik dengan subbagian baru yang didirikan Retno. Dia langsung menemui Profesor M Djuwari, kepala Bagian Kulit dan Kelamin UI, untuk melamar ke bagian itu. Dia menjawab singkat ketika ditanya sang profesor mengapa tertarik melamar ke bagian itu. “Saya mau yang ringan-ringan, Prof. Selain itu, saya bisa menemui orang-orang cantik,” kenangnya sambil terkekeh.
Sebagai asisten Retno selama 10 tahun, Syarief mengikuti perumusan kurikulum dan penyusunan buku ajar mengingat ini merupakan ilmu baru dalam dunia kedokteran. Seingat dia, kala itu buku berbahasa Inggris yang membahas tentang kosmetik dan bedah kulit masih minim.
Namun, Retno dan Syarief tak pernah bosan untuk terus menggali masalah kulit. Retno antara lain mengikuti Kongres Regional Dermatologi di Bali pada 1978. Di sana, Retno bertemu dengan berbagai ahli kulit dunia. Salah satunya, Irwin Lubowe, dosen pendidikan kedokteran kulit di New York Medical College yang mendalami soal kecantikan kulit dan rambut. Pertemuannya dengan Lubowe membuat hasrat Retno mendalami dan mempopulerkan kesehatan kulit makin menjadi.
Subbagian kosmetik dan bedah kulit yang baru dibuka tak langsung mendapat tanggapan positif. Salah seorang profesor di Bagian Kulit dan Kelamin bahkan ada yang mencemooh kosmetik dan bedah kulit adalah ilmu yang tak berguna dan abal-abal. Tapi Syarief berpikir lain, dia menduga subbagian ini kelak akan berkembang pesat, diminati, dan dibutuhkan banyak orang. “Ilmu ini berkembang cukup pesat. Sekarang di Perdoski kami punya kelompok studi dermatologi kosmetik. Saya ketuanya. Ha..ha..ha,” kata Syarief tertawa jahil.
Seiring perjalanan waktu, subbagian kosmetik dan bedah kulit memetik buahnya. Banyak mahasiswa kedokteran mengambil spesialisasi tersebut. Pasien-pasien makin ramai berdatangan untuk mencari pertolongan yang bersifat estetik. Terlebih, ketika budaya pop makin memasyarakat. Sejak itu, profesi dokter kulit ramai dikunjungi pasien dan sebutan dokter kere pun tanggal.
“Makin tahun makin banyak peminatnya. Kalau dulu waktu saya masuk spesialis kulit cuma satu-dua orang, sekarang yang mau masuk ke dokter kulit banyak sekali,” kata Syarief.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar