Turis Bukan Hanya Orang Asing
Perang mengubah makna turisme dari lalu lintas orang asing menjadi lalu lintas wisatawan, baik asing maupun lokal.
TURISME di Indonesia bermula dari akhir abad XIX. Itu ditandai dengan berkembangnya kegiatan-kegiatan organisasi turisme sukarela di beberapa kota besar di Hindia Belanda. Perkembangan turisme di Hindia Belanda juga ditengarai dengan pergeseran istilah vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) ke toeristenverkeer (lalu lintas wisatawan) di Belanda dan Hindia Belanda. Dalam proses pergeseran istilah ini tergambar dinamika kegiatan dan perkembangan awal pariwisata modern di Hindia Belanda.
Dinamika itu dibahas oleh Achmad Sunjayadi, pengajar pada Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, dalam disertasinya yang berkepala “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeer: Dinamika Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942.”
“Perubahan pandangan pemerintah Hindia Belanda dari ‘orang asing’ menjadi ‘wisatawan’ memperlihatkan sebuah proses perkembangan kegiatan pariwisata di Hindia,” demikian Achmad Sunjayadi saat mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor di FIB Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 6 Juli 2017.
Ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai pada akhir abad XIX adalah faktor penting yang mendukung bagi embrio pariwisata modern Hindia Belanda. Ketersediaan infrastruktur ini memudahkan vremdelingenverkeer atau petualang-petualang asing dari Eropa mengeksplorasi alam Hindia Belanda. Umumnya mereka adalah kalangan berpunya.
Pada pertengahan hingga akhir abad XIX, objek-objek wisata di Hindia Belanda telah terbentuk. Objek-objek itu masih terbatas dikunjungi oleh petualang asing dengan izin khusus. Itu pun terbatas pada wilayah yang telah dikuasai Belanda, seperti Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, sebagian Sumatra dan Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Para petualang Eropa itu kemudian menulis catatan perjalanannya untuk publik.
“Wilayah-wilayah itu kemudian dicatat, dibukukan, dan menjadi pegangan petualang berikutnya yang datang ke Hindia Belanda. Catatan-catatan itu juga dihimpun dan disusun kembali menjadi buku panduan wisata oleh jurnalis, praktisi perhotelan, dan pemerintah,” tutur Achmad.
Lambat laun motif petualangan itu bergeser kepada motif pelesir untuk bersenang-senang. Pada tahun-tahun awal abad XX kunjungan itu semakin ramai. Pariwisata di Hindia Belanda semakin mapan dengan dibentuknya Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) pada 13 April 1908 di Batavia. VTV adalah asosiasi resmi yang bertujuan mempromosikan turisme Hindia Belanda.
“Meskipun telah memakai istilah toeristenverkeer, namun yang dimaksud turis tetap merujuk kepada orang asing. Pembentukan VTV pada akhirnya hanya mengubah istilah tanpa mengubah makna,” ujar Achmad. Segera terlihat bahwa istilah turis itu diskriminatif dan hanya berdimensi ekonomis. Saat itu, wisatawan pribumi belum mendapat perhatian yang memadai dari pemeritah Hindia Belanda.
Achmad juga menjelaskan bahwa dalam industri pariwisata kolonial, peran orang-orang bumiputra juga relatif terbatas. Mereka umumnya menjadi jongos, porter, atau mandor di hotel-hotel. VTV gencar mempromosikan pariwisata Hindia Belanda melalui penerbitan buku panduan, peta, brosur, majalah, poster, dan film dokumenter. Namun, lagi-lagi sasaran utamanya adalah wisatawan dari kalangan berbahasa Inggris.
Istilah turis yang hanya merujuk pada wisatawan asing mulai meluas pada 1920-an hingga 1940-an. Menurut Achmad, pergeseran makna itu dipicu oleh kondisi Perang Dunia II. Saat Indonesia diduduki Jepang jumlah wisatawan dari Barat mengalami penurunan. Karenanya, kini wisatawan lokal pun mulai mendapat perhatian dari pemerintah yang berkuasa saat itu.
“Kondisi perang di Eropa dan kedatangan Jepang mengubah kebijakan pemerintah terkait pariwisata. Saat itulah makna turisme tidak hanya terbatas kepada ‘lalu lintas orang asing’ tetapi ‘lalu lintas wisatawan’ (baik asing maupun lokal),” katanya. Sejak itu, istilah turis merujuk secara umum kepada wisatawan, baik asing maupun lokal.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar