Tiga Jurnalis Peliput Proklamasi
Kisah para jurnalis yang menjadi saksi sejarah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Indonesia yang ke-75, di jagad maya beredar luas sejumlah foto tua yang menggambarkan suasana pembacaan proklamasi dari sudut yang lain. Padahal selama ini, foto bertajuk sejenis hanyalah berjumlah 3 lembar yang merupakan karya fotografer Indonesia Pers Photo Service (IPPHOS) Frans Soemarto Mendoer.
Munculnya “foto lama tapi baru” itu mengundang sejumlah pertanyaan dari warganet: Berapa orangkah sebenarnya jurnalis yang meliput peristiwa bersejarah tersebut? Siapakah saja mereka? Dan dari media mana saja?
Baca juga:
Di buku otobiografi Sukarno (Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia) dan otobiografi Mohammad Hatta (Memoir) soal itu memang tak begitu banyak diceritakan. Informasi mengenai kehadiran jurnalis dalam pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945, justru muncul dalam bukunya Sudiro (eks pembantu urusan umum-nya Sukarno) berjudul Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945.
Dikisahkan oleh Sudiro, beberapa menit menjelang upacara pembacaan proklamasi dimulai, dirinya menyaksikan seorang lelaki yang tak dikenal duduk di beranda depan rumah Bung Karno. Para anggota Barisan Pelopor (BP) bahkan sudah memantau gerak-geriknya sejak awal. Mereka mencurigai laki-laki itu sebagai mata-mata militer Jepang.
“Ternyata kami keliru. Dia adalah wartawan Domei (menjadi Kantor Berita Antara di era Indonesia merdeka). Namanya Suroto…” ungkap Sudiro.
Bisa jadi via Suroto inilah kemudian berita tentang proklamasi diteruskan ke redaksi Domei. Dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Sidik Kertapati menyebut begitu mendapat berita dari lapangan, dua awak Domei lainnya yakni Sjahrudin dan Sundoro langsung menyiarkannya.
Bak kebakaran jenggot, pemerintah militer Jepang langsung bereaksi atas pemberitaan itu. Mereka memerintahkan para awak Domei membuat kontra berita yang membantah berita proklamasi itu. Namun karena kegigihan para awak Domei yang sebagian besar pro terhadap kemerdekaan bangsanya, kontra berita itu berhasil ditunda-tunda hingga pada akhirnya sama sekali tidak jadi disiarkan.
Selain reporter, Domei pun mengirimkan fotografernya untuk meliput momen proklamasi. Tak tanggung-tanggung mereka mengutus Alex Mendoer, kepala bagian fotonya. Tapi Alex bukan satu-satunya fotografer yang hadir dalam peristiwa proklamasi tersebut. Diam-diam dia mengajak adiknya Frans Mendoer (fotografer harian Asia Raya) untuk ikut serta meliput.
Menurut buku Alexius Impurung Mendur (Alex Mendur) karya Wiwi Kuswiah, dituturkan bahwa Alex sendiri kali pertama mengetahu berita rencana akan diadakan proklamasi berasal dari rekannya di Domei yang bernama Zahrudi.
Alex tahu betul nilai berita proklamasi. Dia sangat yakin peristiwa tersebut akan menjadi sejarah penting bangsa Indonesia. Berbekal keyakinan itulah, di pagi buta 17 Agustus 1945, dia sudah keluar dari rumahnya di Jalan Batu Tulis No.42. Bersama Frans, mereka pergi ke Jalan Pegangsaan Timur sambil mengendap-endap supaya tak tertangkap serdadu Jepang.
Baca juga:
Sesampai di rumah bernomor 56, mereka menemukan situasi pagi itu sudah sangat ramai. Mayoritas yang hadir adalah para pemuda dan pemudi yang terlihat tak sabar lagi menantikan detik-detik pembacaan proklamasi oleh Sukarno dan Mohammad Hatta.
Seiring persiapan teknis penyelenggaraan prokamasi dilakukan, Alex dan Frans secara cepat menyiapkan pula kamera Leica masing-masing. Mereka kemudian memilih sudut pengambilan sesuai selera. Begitu upacara pembacaan proklamasi dimulai, kedua fotografer itu pun langsung beraksi.
Singkat cerita, pembacaan proklamasi berlangsung sukses. Begitu massa sudah mulai meninggalkan rumah Bung Karno, Alex pulang ke kantornya sedangkan Frans langsung pulang ke rumahnya. Di Kantor Berita Domei Alex langsung memproses pencetakan foto. Saat itulah serdadu Jepang datang lantas mengambil negatif film yang sedang dikeringkan, sementara Alex sendiri saat itu sedang tidak di tempat.
“Padahal Alex Mendoer-lah sebenarnya yang paling banyak memotret detik-detik proklamasi sampai habis satu roll film penuh yang berisi 36,” ungkap Lexi Rudolp Mendur, anak ke-2 dari Alex Mendoer.
Frans Mendur lebih beruntung dibanding kakaknya. Begitu sampai di rumah, tanpa banyak pikir dia langsung menyembunyikan roll film itu lewat cara menanamnya di halaman depan rumah.
Sejarah kemudian mengisahkan foto-foto pembacaan proklamasi karya Frans-lah yang kemudian beredar dan bisa dinikmati oleh generasi berikutnya. Namun apakah hasil liputan tersebut hanya sebatas 3 lembar foto saja?
Menurut Wiwi, sejatinya masih ada beberapa lembar negatif film yang berhasil disembunyikan oleh Frans itu. Tetapi hanya sedikit yang berhasil diamankan oleh Arsip Departemen Penerangan (saat itu masih ada) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sisanya raib tanpa jejak, entah diambil oleh siapa.
Sejarawan Rushdy Hoesein memiliki pendapat yang menarik terkait dengan beredarnya foto-foto sekitar proklamasi (selain 3 foto karya Frans Mendoer) di jagad maya beberapa waktu lalu. Menurutnya ada dua kemungkinan, foto-foto tersebut berasal dari negatif film milik Frans Mendoer yang raib atau berasal dari negatif film milik Alex Mendoer yang sempat dirampas militer Jepang.
“Bisa saja kan setelah jatuh ke tangan Jepang, lalu orang-orang Belanda ketika datang bersama Sekutu pada 1945 mengambilnya dan membawanya ke negeri mereka lalu mempublikasikannya sekarang,” ujar Rushdy.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar