Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda
Ketika politisi sayap kanan Belanda mengagungkan era kolonialisme dan mempahlawankan Westerling.
HASIL temuan-temuan penelitian dekolonisasi ternyata tidak serta-merta mendapat respons positif dari sejumlah politisi sayap kanan di Parlemen Belanda. Thierry Baudet salah satunya. Ia bahkan mengagung-agungkan era kejayaan kolonial Belanda.
Penelitian dekolonisasi sendiri dilakukan oleh tiga lembaga, Koninklijke Instituut vor Taal, Land, en Volkunde (KITLV); Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD); dan Nederlands Instituut voor Militaire Historie (NIMH) sejak 2017, dengan tajuk “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950). Dibantu belasan akademisi Indonesia asal Universitas Gadjah Mada, penelitian yang disponsori pemerintah Belanda sebesar 4,1 juta euro itu mempublish hasil penelitiannya dalam 14 buku yang dirilis 14 Februari 2022.
Salah satu temuan yang paling disoroti di Belanda adalah, kekerasan ekstrem militer Belanda, baik itu pembakaran kampung-kampung, pemerkosaan, hingga eksekusi tanpa peradilan, terbukti bukan insidentil atau ekses semata tapi sudah struktural. Temuan itu sejalan dengan penelitian yang juga pernah diungkapkan sejarawan Swiss-Belanda Rémy Limpach lewat bukunya, De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (terj. Kampung-Kampung yang Dibakar Spoor, 2016).
Pro dan kontra pun tak terhindarkan seiring Parlemen Belanda menggelar sesi debat pada Rabu (14/6/2023) yang juga dihadiri Perdana Menteri (PM) Mark Rutte, Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra, dan Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren. Perdebatan mulai intens ketika beberapa perwakilan sayap kanan mulai meluapkan unek-uneknya terkait penelitian itu.
Salah satunya, Wybren van Haga. Sebagaimana yang diterjemahkan kolega Arjan Onderdenwijngaard via live streaming di laman parlemen, Van Haga menyanggah keras hasil penelitian itu seraya memamerkan satu buku yang lebih ia percayai ke hadapan para anggota parlemen, yakni buku Het pijnlijke afscheid van de Indische Archipel: Trauma, Discussie, Eerherstel (2023). Buku tersebut berisi beberapa kesaksian para veteran militer Belanda.
“Hasil penelitian (dekolonisasi) ini tidak benar. Ini hanya propaganda sayap kiri. Rakyat Indonesia senang dengan tentara Belanda karena mereka menciptakan perdamaian dan ketenangan. Ini ada buku tentang pelepasan koloni yang menyedihkan,” tutur Van Haga sambil memperlihatkan buku tadi.
Pendiri partai liberal-sayap kanan Groep van Haga itu juga bersikeras bahwa sosok Kapten Raymond Westerling yang dianggap jagal dan penjahat perang adalah pahlawan. Westerling seperti Poncke Princen yang dianggap Van Haga sebagai pengkhianat.
“Sejarah ini dipalsukan oleh penelitian ini. Seperti Princen yang bukan lagi sekadar desersi tapi melakukan kejahatan sebagai pengkhianat. Dengan seragam (tentara) Belanda dia menjebak tentara Belanda dan setelah ditangkap prajurit disiksa dan dibunuh oleh TNI. Justru Westerling yang harus direhabilitasi. Westerling pahlawan karena melindungi banyak orang dengan aksi-aksinya di Sulawesi yang membuat keadaan damai lagi. Westerling melakukan apa yang ditugaskan kepadanya dan sekarang dia dipolitisasi orang-orang sosialis (sayap kiri),” imbuhnya.
Baca juga: Sebelum Westerling Beraksi di Indonesia
Hal senada juga diungkapkan Raymond de Roon. Petinggi PVV (Partai Kebebasan) itu merasa semua veteran Belanda adalah pahlawan dan tidak semestinya dicap penjahat perang.
“Veteran adalah pahlawan. Apa maksudnya kekerasan struktural yang terjadi? Memangnya sudah jelas di mana batasan struktural dan insidentil? Penelitian ini seperti hanya melihat dari satu sisi, tidak luas hingga menjadi lebih sempit. Itu hanya agenda dari sayap kiri, para aktivis anti-kolonial. Tentara Belanda melindungi para korban ‘Masa Bersiap’ yang dibunuh dan diperkosa di sana-sini,” ujar De Roon.
Syahdan, ketika pada gilirannya Thierry Baudet berbicara, sontak beberapa politisi lain kompak mengajukan protes. Dedengkot partai konservatif dan sayap kanan FvD (Partai Forum untuk Demokrasi) itu memberi pernyataan bernada rasisme ketika menyinggung hasil penelitian sekaligus menanggapi uraian Tunahan Kuzu (Partai DENK) dan Don Ceder (CU/Partai Persatuan Kristen) yang sebelumnya menyebut bahwa masa dekolonisasi itu tak bisa terpisahkan dari dampak kolonialisme yang menimbulkan trauma.
“Jika bicara Hindia Belanda (kini Indonesia, red.), kolonialisme itu berkat buat mereka. Indonesia yang terbelakang diberkati dengan peradaban Eropa yang superior. Apa yang Belanda lakukan selama empat ratus tahun adalah tugas misioner untuk membuat rakyat Hindia menjadi bagian dari peradaban Eropa,” cetus Baudet.
Tak ayal beberapa politisi dibuatnya angkat bokong dari kursi masing-masing. Protes keras mereka ajukan sampai harus dilerai ketua parlemen yang memimpin perdebatan, Vera Bergkamp, agar perdebatan bisa tetap berjalan lancar.
“Bukan begitu maksud saya, tapi memang bangsa-bangsa di dunia berbeda secara genetis,” tambahnya membela diri.
Lantas Sjoerd Sjoerdsma (Partai Democraten 66) mengajukan diri mempertanyakan pernyataan Baudet mewakili beberapa koleganya. “Dari mana Anda bisa mendukung kolonialisme? Bagaimana dengan kekerasan ekstrem militer Belanda? Apakah Anda pikir Indonesia tetap harus dikoloni Belanda?”
Baudet merespons lagi dengan kembali memuja era kolonialisme. Era di mana nenek buyutnya, Ernestine van Heemskerck, lahir di Hindia Belanda.
“Kolonialisme adalah hal paling indah dan kita harus bangga. Dahulu Indonesia bagian dari Kerajaan Belanda. Apa yang Belanda inginkan adalah menciptakan semacam persemakmuran, di mana kita bisa bersama-sama dalam arus sejarah, seperti yang sudah pernah disampaikan Ratu Wilhelmina dalam pidatonya pada Desember 1942, juga yang sudah pernah diekspresikan dalam Perjanjian Linggadjati 1947,” ucapnya lagi.
Baudet juga menambahkan, “Jika Belanda bisa bertindak lebih keras, kita bisa saja melestarikan koloni dan mendorong masyarakat di kepulauan (Indonesia) menyongsong hari yang lebih baik. Bukanlah lebih baik begitu? Saya memimpikan alternatif sejarah itu”.
Terkait dengan kekerasan ekstrem yang terjadi, Baudet sependapat dengan beberapa koleganya dari golongan sayap kanan. Kedatangan dan aksi-aksi militer Belanda, dalam pandangan mereka, punya tujuan besar untuk menciptakan ketertiban usai kekacauan pasca-Perang Dunia II.
“Tentang kekerasan, terjadi juga di ‘Masa Bersiap’ kepada orang-orang Belanda, orang Indo Belanda dan yang lainnya di luar pribumi. Saya merasa hanya orang Belanda yang dicap jahat. Apakah Sjoerdsma pikir Belanda tidak punya hak melindungi koloninya?” tukas Baudet.
*Tulisan ini telah diperbarui pada tanggal 15 Juni 2023 pukul 19.20 WIB.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar