Tan Malaka Menyamar
Kerap dibayangi ancaman penangkapan dan pembunuhan, Tan Malaka sering berlaku bukan sebagai dirinya sendiri.
Suatu malam di Bogor pada akhir 1945. Dua orang lelaki datang ke rumah Harun Kabir yang terletak di Jalan Ciwaringin Nomor 33. Setelah berbicara agak lama dengan tokoh pergerakan Bogor itu, salah satu dari mereka kemudian pergi dengan meninggalkan kawannya: seorang lelaki hampir separuh baya yang mengenalkan dirinya sebagai Ilyas Husein.
Ilyas kemudian tinggal agak lama di rumah Harun. Dia menempati sebuah kamar kosong di bagian belakang. Dalam kenangan Hetty Kabir (putri ke-2 Harun Kabir), Ilyas merupakan orang yang selalu berbicara lembut dan baik, agak pendiam dan pandai bermain piano.
“Baru belakangan setelah dewasa, saya baru tahu jika orang yang akrab dengan masa kecil saya itu adalah Tan Malaka, tokoh pejuang terkemuka,” ungkap perempuan kelahiran tahun 1937 itu.
Baca juga:
Tan Malaka memang tak pernah tampil sebagai dirinya sendiri sejak terjadinya pemberontakan gagal kaum komunis di Hindia Belanda pada 1926—1927. Kemana-mana dia kerap memakai nama samaran dan kewarganegaraan palsu.
“Itu dia lakukan karena nyawanya selalu terancam oleh polisi rahasia dan memang dia merupakan buronan politik nomor satu bagi negara-negara kolonial seperti Belanda dan Inggris,” ujar sejarawan Harry A. Poeze.
Seperti saat di Singapura, dia berlaku sebagai seorang Tionghoa yang memiliki profesi sebagai penjahit. Soal ini terbuhul dalam sejarah saat pada suatu hari di tahun 1938 seorang wartawan bernama Matu Mona diundang oleh Tan Malaka sendiri dan berkesempatan berbicara selama lima menit dengan lelaki asal Sumatra Barat itu.
“Dia hanya ingin berkenalan dengan pengarang Pacar Merah Indonesia yang telah dibacanya,” tulis Poeze dalam kata pengantar Pacar Merah Indonesia, sebuah novel spionase yang “dicurigai” berkisah tentang pengalaman Tan Malaka selama menjadi buronan politik.
Wartawan senior Rosihan Anwar memiliki kisah lain terkait dengan penyamaran Tan Malaka itu. Suatu malam di tahun 1928, Rosihan kecil diajak kakeknya Raden Mohammad Joesoef pergi ke rumah Rustam Effendi (sastrawan terkemuka Sumatra Barat yang kemudian menjadi tokoh komunis di Belanda) di tepi Bandar Olo, Padang.
Sepulang dari rumah Rustam Effendi, sang kakek bercerita bahwa seorang kusir bendi dari Pauh Sembilan baru saja mengunjungi Rustam Effendi. Kusir itu tiada lain tiada bukan adalah Tan Malaka yang tengah menyamar.
“Untuk menghindarkan diri dari tangkapan pemerintah Hindia Belanda, Tan Malaka menyamar sebagai kusir,” ungkap Rosihan Anwar dalam biografinya, Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi.
Baca juga:
Tan Malaka juga pernah muncul secara misterius di Jakarta. Itu terjadi pada 31 Agustus 1945 ketika dia berkesempatan untuk bertemu dengan Presiden Sukarno. Ceritanya, sehari setelah lebaran Bung Karno berpesan kepada dokter pribadinya R. Soeharto, untuk menyediakan sebuah kamar bagi perftemuannya dengan seorang tamu penting di rumah sang dokter.
“Bung Karno tidak menyebut nama tamu itu,” ungkap R. Soeharto dalam biografinya, Saksi Sejarah.
Anehnya, Bung Karno juga berpesan agar selama berlangsungnya pembicaraan antara dirinya dengan tamu itu, seluruh lampu di rumah Soeharto harus dimatikan. Kata Bung Karno, pertemuan itu memang harus dirahasiakan.
Menjelang isya, Bung Karno dan tamu penting itu datang hampir bersamaan. Bung Karno diantar oleh ajudannya yang bernama Mantoyo, sedangkan tamu itu didampingi oleh Sayuti Melik. Tanpa banyak bicara, Soeharto kemudian membawa para tamunya itu ke kamar yang sudah disiapkan.
Dalam suasana gelap gulita, sang tamu misterius itu memperkenalkan dirinya kepada Soeharto sebagai Abdulrajak dari Kalimantan. Setelah berbasa-basi, Soeharto kemudian menuntun dia melalui garasi menuju kamar belakang. Mantoyo dan Sayuti Melik menjaga di depan rumah. Sedangkan Soeharto sendiri duduk di luar kamar pertemuan.
“Saya tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Bung Karno dan Abdulrajak itu,” kenang Soeharto.
Belakangan hari, Bung Karno memberitahunya bahwa Abdulrajak itu tak lain adalah Tan Malaka. Malam itu kedua tokoh bangsa tersebut sesungguhnya tengah membicarakan suatu hal yang sangat penting dan bersejarah: soal siapa yang akan memegang pimpinan nasional seandainya Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap atau dibunuh oleh Jepang, Belanda atau Sekutu.
“Tan Malaka mengusulkan agar dirinya agar ditunjuk sebagai pewaris tunggal,” ujar Soeharto.
Namun tidak serta merta usul itu diamini oleh Bung Karno. Secara lisan Bung Karno mengatakan akan membuat testamen berisi penunjukan siapa saja yang akan meneruskan estafet pimpinan nasional andaikan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada dirinya dan Hatta.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar