Surat Paman Ho yang Diabaikan Indonesia
Menganggap Indonesia sebagai sekutu dalam perjuangan kemerdekaan Asia Tenggara, Ho Chi Minh mengajak bekerjasama melawan kolonialisme. Suratnya bertepuk sebelah tangan.
Harold Robert Isaacs, koresponden perang Majalah Newsweek, tiba di Jakarta pada akhir November 1945. Ia datang dari Indochina membawa sepucuk surat yang kemudian diberikannya kepada Hatta. Surat itu ternyata dari Ho Chi Minh, pemimpin Vietnam. Isinya, Paman Ho mengajak agar revolusi Indonesia dan Vietnam bisa berjalan bersama.
Seperti ditulis Hanna Papanek dalam Note on Soedjatmoko's Recollections of A Historical Moment: Sjahrir's Reaction to Ho Chi Minh's 1945 Call for A Free Peoples Federation, Isaacs menyebut bahwa kala itu Vietnam membutuhkan bantuan dari luar, namun mereka tidak bisa mengandalkan Tiongkok.
Selain itu, ketika banyak komunis mengira Soviet akan membantu, sekolompok komunis Prancis di Indochina justru memperingatkan Partai Komunis Indochina bahwa perjuangan mereka harus memenuhi persyaratan dari kebijakan Soviet.
Baca juga: Dari Ho Chi Minh hingga Kennedy
Papanek menyebut bahwa tidak mengherankan bahwa Ho Chi Minh berpaling kepada para pemimpin nasionalis baru di kawasan Asia Selatan, termasuk Indonesia. Paman Ho lalu mengirim surat berisi ajakan membentuk front bersama dalam Revolusi Asia yang ditujukan kepada Presiden Sukarno.
“Saya menggunakan kesempatan ini untuk mengusulkan kepada Anda bahwa Vietnam dan Indonesia membuat pernyataan publik tentang solidaritas penuh mereka dalam perjuangan saat ini untuk kebebasan, pada saat yang sama menyerukan bersama-sama ke India, Burma, dan Malaya dan semua rakyat Asia untuk bergabung dengan kita dalam front bersama,” tulis Ho dalam surat tertanggal 17 November 1945 itu.
Ho melanjutkan bahwa front bersama akan menunjukkan kepada semua “Kekuatan Besar” dunia bahwa tidak ada yang bisa menghancurkan tekad mereka untuk merdeka. Oleh karena itu, Ho mengusulkan pembentukan Komisi Persiapan untuk mendirikan Federasi Rakyat Merdeka Asia Selatan.
Dalam surat yang direproduksi dari Harold R. Isaacs Papers di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Archives itu, Ho Chi Minh yakin bahwa proposal dari Vietnam dan Indonesia nantinya akan membangkitkan tanggapan yang luas.
Baca juga: Ketika Paman Ho dan Tan Malaka Bertemu
“Di sini, di Vietnam, kami melanjutkan dan akan terus berjuang sampai akhir yang pahit. Kami menyampaikan salam terhangat dan harapan kami untuk kemenangan Anda dalam tujuan bersama kita,” tulis Ho.
Dari Hatta, surat itu diteruskan kepada Perdana Menteri Sjahrir. Oleh Sjahrir ternyata surat itu tak ditanggapi. Dalam Asia di Mata Soedjatmoko, Soedjatmoko mengaku kecewa terhadap Sjahrir dan bertanya apakah hal ini berarti Indonesia mengkhianati Revolusi Asia.
Sjahrir mengatakan kepada Soedjatmoko bahwa saat itu situasi Indonesia dan Vietnam berbeda. Indonesia melawan Belanda yang tidak dalam posisi yang hendak perang berlarut-larut. Selama militer Indonesia bertahan, Indonesia akan menang.
Sementara Vietnam, Sjahrir melanjutkan, menghadapi Prancis yang masih menjadi kekuatan militer utama. “Lagipula, katanya, pergerakan kebangsaan kita dipimpin oleh kaum nasionalis, sedangkan mereka oleh komunis,” ungkap Soedjatmoko.
Posisi Vietnam yang komunis membuat mereka memiliki lebih banyak musuh dibanding Indonesia. Selain itu, kata Sjahrir kepada Soedjatmoko, Indonesia akan lebih cepat mencapai kemerdekaan daripada Vietnam. Dengan itu, Indonesia bisa lebih efektif membantu Vietnam nantinya.
“Saya masih ingat betapa kecewanya saya pada waktu itu –saya merasakan suatu tindakan pengkhianatan yang mendalam. Tetapi sudah tentu Syahrir akhirnya terbukti benar,” tulis Soedjatmoko.
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949, sementara Vietnam masih berjibaku melawan Prancis. Pada 1954 Vietnam Utara berhasil merdeka, namun mereka harus melanjutkan perjuangan melawan Amerika Serikat sampai 1975 dan baru berhasil menyatukan Utara dan Selatan pada 1976.
Sejarawan Vietnam Phạm Văn Thuỷ punya pendapat lain. Dalam bukunya Beyond Political Skin: Colonial to National Economies in Indonesia and Vietnam (1910s-1960s) ia menyebut bahwa argumen Sjahrir tidak tepat jika kemerdekaan ekonomi juga dipertimbangkan dalam revolusi, selain hanya soal kemerdekaan politik.
Baca juga: Pembantaian Paman Sam di Vietnam
“Merupakan fakta tak terbantahkan bahwa baru pada bulan Desember 1957 orang Indonesia akhirnya merebut kekuasaan ekonomi dari Belanda. Butuh beberapa tahun lagi, pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, sebelum pemerintah Indonesia melanjutkan untuk menghadapi kekuatan ekonomi Cina, Inggris, dan Amerika,” tulis Phạm Văn Thuỷ.
Sementara itu, lanjutnya, kemerdekaan Vietnam Utara pada 1954 berjalan beriringan dengan dekolonisasi ekonomi penuh perusahaan-perusahaan Prancis. Pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, proses dekolonisasi rampung setelah melikuidasi perusahaan-perusahaan Prancis dan Tiongkok di Vietnam Selatan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar