Sukaptinah Berjuang Agar Bangsa dan Kaumnya tak Dijajah
Berjuang untuk perempuan dan kemerdekaan sejak 1920-an. Perjuangan Siti Sukaptinah berlanjut hingga pascakemerdekaan.
LAGU “Kinanthi Sekar Gendhing Srikastawa” mengiringi pembukaan Kongres Perempuan Indonesia (KPI) Pertama, 22 Desember 1928. Lagu itu dibawakan Siti Sukaptinah atau dikenal sebagai Nyonya Sunaryo Mangunpuspito, salah seorang panitia KPI, bersama murid-muridnya di Perguruan Taman Siswa. Lagu itu merupakan ciptaan Sukaptinah sendiri.
Usai panembrama, Sukaptinah maju membacakan asas kongres. Peran Sukaptinah di KPI cukup banyak. Sejak kongres pertama ia ikut menjadi panitia, sebagai sekretaris. Ketika kongres sepakat untuk membentuk federasi organisasi perempuan bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), Sukaptinah duduk sebagai sekretaris I. Sukaptinah aktif di gerakan perempuan juga gerakan nasionalis.
Baca juga: Perdebatan di Kongres Perempuan
Lahir di Yogyakarta pada 28 Desember 1907, Sukaptinah merupakan anak seorang abdi dalem bernama R Sastrawecana. Semasa sekolah di HIS Keputran yang didirikan Sultan Hamengkubuwono VII, Sukaptinah aktif di Siswapraja Wanita Muhammadiyah, cikal-bakal Nasiyatul Aisyiyah. Kala itu usianya masih 13 tahun.
Setelah tujuh tahun menempuh pendidikan itu, Sukaptinah lulus dan melanjutkan ke MULO Ngupasan sembari aktif di Jong Java. Pada 1924, dia pindah ke Taman Guru Taman Siswa hingga lulus pada 1926. Sukaptinah diajar langsung oleh Nyi dan Ki Hajar Dewantara. Merekalah yang mengajari Sukaptinah nembang hingga bisa menggubah lagu sendiri.
Setelah lulus, Sukaptinah menjadi guru Taman Siswa. Di sini, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh gerakan peremuan yang juga menjadi guru di Taman Siswa, seperti Sri Wulandari (kemudian dikenal Nyonya Mangunsarkoro) dan Sunaryati (kemudian dikenal Nyonya Sukemi). Selain mengajar, Sukaptinah aktif di Jong Islaminten Bond (JIB) dan menjadi ketua Jong Islaminten Bond Dames Afdeling (JIBDA) cabang Yogykarta. Dari JIBDA inilah Sukaptinah bisa menjadi pengurus KPI mewakili organisasinya.
Pada 1929, Sukaptinah menikah dengan Sunaryo Mangunpuspito, pria yang dikenalnya ketika sama-sama aktif di Jong Java. Sunaryo lelaki progresif sehingga pernikahan mereka tak menghambat Sukaptinah aktif dalam gerakan.
Istri Indonesia
Setahun setelah beberapa organisasi perempuan berfusi menjadi Istri Indonesia pada 1932, Sukaptinah diangkat menjadi ketuanya. Anggotanya sebagaimana dicatat dalam Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, antara lain Maria Ullfah, Siti Danilah, dan Lasmidjah Hardi. Organisasi ini mengeluarkan mingguan bernama Istri Indonesia. Di sanalah, tulisan dan pidato Sukaptinah tentang pernikahan dalam hukum Islam, kemandirian perempuan, dan hak pilih kerap dimuat.
Ketika isu tentang hak pilih dan keterwakilan perempuan Indonesia dalam Dewan Rakyat sedang menjadi perdebatan, Istri Indonesia getol mengawal isu tersebut. Maria Ullfah mendedah masalah hak pilih lewat ilmu hukumnya. Sukaptinah yang pada 1938 dilantik menjadi anggota Dewan Kota Semarang lewat Parindra, juga bersuara. Lewat pidatonya yang dimuat Istri Indonesia November 1939, Sukaptinah memprotes pemerintah kolonial yang lagi-lagi memilih perempuan Belanda di Dewan Rakyat. Menurutnya, pemerintah tidak membuka kesempatan pada perempuan Indonesia untuk duduk di Dewan Rakyat.
Baca juga: Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan
“Kita sudah hidup di masyarakat yang tidak membedakan satu bangsa dan bangsa lain, juga tidak membedakan lelaki dan perempuan… bangsa kita membutuhkan tenaga perempuan baik di dalam maupun di luar raad (Dewan Rakyat, red.),” kata Sukaptinah.
Ketika Komisi Visman yang dibentuk pemerintah mengadakan penelitian tentang keinginan bangsa Indonesia dalam perubahan ketatanegaraan pada 1941, Sukaptinah dan Sri Wulandari menjadi dua orang yang dimintai pendapat. “Saya ingin Indonesia berparlemen,” kata Sukaptinah. Pendapatnya itu didasarkan pada perjuangan Istri Indonesia agar perempuan punya akses untuk berpolitik dan duduk di Dewan Rakyat.
Usaha Jelang Kemerdekaan
Kedatangan Jepang mengubah Kota Semarang menjadi morat-marit. Sukaptinah dan keluarga pindah ke Yogyakarta lantaran ia sedang hamil tua. Menurutnya, pindah ke Yogyakarta adalah hal yang tepat supaya bisa melahirkan dengan selamat.
Tak lama setelah melahirkan, Sukaptinah dipanggil Sukarno ke Jakarta untuk mengepalai seksi perempuan Putera juga Fujinkai. “Ibu Sunaryo Mangunpuspito dijadikan ketua Fujinkai. Pusatnya ada di Jawa Hokokai yang dipimpin Bung Karno…. Ketika pembentukan BPUPKI yang ketuanya dr. Radjiman Wediodiningrat, Ibu Sunaryo Mangunpuspito diikutkan karena ketua Fujinkai di Jakarta,” kata Maria Ullfah, rekan seperjuangan Sukaptinah, dalam rekaman Arsip Sejarah Lisan ANRI.
Baca juga: Dua Perempuan dalam BPUPKI
Dalam BPUPKI, Soekaptinah duduk di Pantia Ketiga, membahas pembelaan tanah air. Sementara Maria Ullfah di Pantia Pertama yang membahas UUD dan Undang-Undang. Setelah kemerdekaan, tulis Sri Sjamsiar Issom dalam tesis berjudul “Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito Sosok Wanita Pergerakan Indonesia (1928-1956)”, Sukaptinah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ketika Sekutu datang untuk kembali berkuasa, Sukaptinah bersama keluarga pindah ke Yogyakarta menumpang kereta malam yang memberangkatkan rombongan presiden. Keluarganya kemudian menumpang di rumah orangtua Sukaptinah di Namburan. Sunaryo dan Sukaptinah meleburkan diri ke dalam gerakan nasionalis. Sementara Sukaptinah sibuk di KNIP dan kemudian Badan Pekerja KNIP (1949-1950), Sunaryo aktif membuat selebaran dan mengikuti rapat-rapat politik di samping mengumpulkan informasi untuk kepentingan Republik berbekal bahasa Belandanya yang baik.
Keaktifan Sunaryo membuat rumah Raden Sastrawecana digerebek pasukan Belanda pimpinan Kolonel Van Langen di suatu malam. Setelah mengobrak-abrik isi rumah, menyita selebaran dan surat-surat, pasukan yang terdiri dari orang Belanda dan Ambon itu menangkap Sunaryo. Bukan hanya itu, mereka juga menyita batik dagangan Nyonya Sastrawecana, persediaan beras keluarga.
Baca juga: Perempuan Yogyakarta dalam Perjuangan
Saking dongkolnya barang yang tak punya sangkut-paut dengan gerakan nasionalis disita, Sukaptinah marah. “Londo opo kok gelem beras (Belanda macam apa yang doyan beras, red.)” kata Sukaptinah.
Sunaryo ditahan di Penjara Wirogunan lalu dipindahkan ke Ambarawa. Dia baru dibebaskan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB, 1949). Perjuangan Sukaptinah dan Sunaryo terus berlanjut setelah pengakuan kedaulatan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar