Soeharto Menganggapnya Musuh Terselubung
Karakter dan popularitas Ali Sadikin mengangkat citranya sebagai calon presiden. Soeharto tentu saja tak membiarkan gejala itu berlanjut.
Ada yang ganjil jelang Ali Sadikin mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Seyogianya, jabatan Bang Ali baru selesai pada Agustus 1977. Namun akhirnya dipercepat menjadi tanggal 11 Juli. Setelah melakukan serah terima jabatan terhadap gubernur selanjutnya Letnan Jenderal Tjokropranolo, awak media ramai-ramai mempertanyakan kejanggalan tersebut.
“Dipercepatnya ini mungkin melihat situasi dan kondisi,” kata Ali Sadikin kepada para wartawan sebagaimana dituturkannya kepada Ramadhan K.H. dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta menjadi Kota yang Manusiawi.
Mengapa Ali harus lebih cepat meletakkan jabatan sebagai orang nomor satu di Jakarta? Menurut Djohan Efendi penulis pidato Soeharto, hubungan antara Soeharto dan Ali Sadikin kurang begitu baik. Kendati tidak begitu menyolok di depan publik, keduanya kerap berseberangan.
“Ali Sadikin sering membantah Soeharto.” tutur Djohan kepada Ahmad Gaus dalam Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Efendi.
Ulah Dua Mahasiswa
Bagi rezim Orde Baru stabilitas adalah harga mati. Ketika Ali Sadikin akan purnabakti, ada kejadian yang bikin kuping penguasa panas. Kepada Ramadhan K.H., Ali menuturkan saat itu dirinya disangkutpautkan dengan isu pencalonan presiden karena ulah dua orang mahasiswa.
Sepasang mahasiswa tersebut bernama Dipo Alam, mahasiswa Teknik Kimia UI dan Bambang Sulistomo, mahasiswa FISIP UI yang juga putra Bung Tomo. Dalam mimbar bebas di Taman Ismail Marzuki (TIM), keduanya mengajukan seorang calon alternatif pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1978 mendatang. Disaksikan para wartawan, nama yang diusung adalah Ali Sadikin. Petisi itu kemudian dikirimkan ke mana-mana. Kepada pimpinan MPR dan DPR, DPRD Jakarta, Kaskopkamtib, Golkar, ABRI, LBH, dan pimpinan partai politik.
“Maka ributlah orang. Reaksinya saya perkirakan cukup besar,” kenang Ali. Pers lantas menguber-uber Ali Sadikin meminta klarifikasi. Ali terkejut dan mengaku bahwa dirinya tak mengenal Dipo dan Bambang. Namun bagi Ali, aksi itu sah-sah saja. Dia tak membenarkan maupun menyalahkan isu yang berhembus. “Itu adalah urusan mereka,” kata Ali di hadapan wartawan. “Dan itu adalah hak mereka berbicara sebagai warga negara yang ingin menyatakan pendapatnya sendiri.”
Ali Sadikin terus didesak wartawan seputar kesediaannya apabila dicalonkan. Ali tak menggubris. Soal presiden dan wakil presiden mendatang, Ali menyerahkan sepenuhnya kepada MPR. Dia juga menerangkan bahwa tak ada Undang-Undang yang melarang warga negara berpendapat.
Nahas bagi dua mahasiswa. Akibat ulahnya, Dipo dan Bambang “diamankan” aparat. Mereka ditahan selama dua bulan. Ali Sadikin boleh merasa aman. Tapi di mata penguasa, sosoknya mulai dipandang sebagai “matahari kembar”. Ali Sadikin di kemudian hari mengatakan tak punya ambisi perihal pengusungan dirinya sebagai tandingan Soeharto.
“Saya tidak punya keinginan menjadi presiden, tetapi hanya ingin mendidik supaya orang berani menyatakan, saya ingin si A, bukan lagi Pak Harto. Itu soalnya,” ujar Ali dalam mingguan Simponi, 16 Juni 1993.
Rivalitas Popularitas
Menurut Susan Blackburn, sejarawan Monash University penulis buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun, figur Ali Sadikin kerap diperbandingkan dengan Soeharto. Ali Sadikin berperawakan tampan, tegas, berselera humor dan dramatis, seringkali disebutkan sebagai tokoh kharismatik. Dibandingkan dengan Presiden Soeharto, Ali lebih bersemangat dan menarik.
Ali sangat dekat dan ramah dengan rakyat. Sebaliknya, Soeharto terlihat dingin dan membosankan. Selain itu, Ali sangat tidak menyukai feodalisme dalam bentuk apapun. Sementara Soeharto sangat menghargai keharmonisan dan status.
“Soeharto pasti jenuh karena selalu dibandingkan dan jenuh dengan semua spekulasi bahwa Sadikin mungkin mengikuti jejak Soeharto menjadi presiden – atau bahkan malah menggantikannya,” tulis Susan Blackburn. Walaupun banyak kebijaksanaannya yang sesuai dengan dorongan pembangunan ekonomi Orde Baru, Ali Sadikin bukan bagian dari lingkaran elite Soeharto.
Pengangkatan Tjokropranolo menurut sejarawan Robert Elson yang menulis biografi Soeharto, membuktikan kecendrungan Soeharto ke arah otoriter. Tjokro yang akrab disapa Bang Nolly adalah bawahan Soeharto semasa berdinas di Kostrad pada awal 1960-an. Tjokro kemudian menjadi salah seorang asisten pribadi Soeharto merangkap sekretaris untuk bidang militer. Bagi Soeharto, Tjokro merupakan sosok yang tepat untuk jabatan peka seperti gubernur Jakarta.
“Ia (Tjokropranolo) setia, dapat diadalkan, tak memiliki agenda terselubung serta secara politis tidak merupakan ancaman,” tulis Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik.
Setelah 11 tahun membaktikan diri membangun Jakarta, Ali Sadikin menjauh dari kebijakan dan sikap rezim Orde Baru. Memasuki masa pensiunnya, Bang Ali gencar mengoreksi pemerintah atas penyimpangan yang dilakukan terhadap konstitusi dan demokrasi. Ali seterusnya memilih sikap menentang Soeharto dan Orde Baru.
Puncaknya terjadi ketika dia tergabung dalam Petisi 50 yang berujung pencekalan terhadap dirinya. Atas sikap kritisnya, Ali membayar harga yang cukup mahal. Dengan falsafah Jawa nabok nyilih tangan, Soeharto menindak Ali Sadikin lewat Laksamana Soedomo - Kepala Kopkamtib yang juga junior Ali semasa dinas di Angkatan Laut. Salah satu hukuman yang cukup pedih yakni saat Ali dilarang menghadiri Pekan Raya Jakarta (PRJ) untuk beberapa tahun lamanya. Padahal, hajatan akbar ibukota itu pertama kali terselenggara saat Ali Sadikin memimpin Jakarta.
“Akibatnya, Bang Ali dikucilkan, dianggap ‘mati secara perdata’, disulitkan kegiatan perusahannya, digencet dalam pergaulan sosial,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 3. “Semua itu ditanggungkannya demi menegakkan nilai-nilai etika dan moralitas.”
Baca juga:
Ketika Bang Ali Dihalang-halangi
Soeharto: Mau Ganti Presiden? Jangan Ngotot
Zaman Orba, Calonkan Diri Jadi Presiden Langsung Ditangkap Polisi
PRJ untuk Rakyat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar