Soeharto Bukan Pahlawan
Pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto dianggap sebagai upaya pemutihan atas segala bentuk kejahatannya.
PULUHAN aktivis dan korban Orde Baru berkumpul di halaman gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat (12/6/2014). Mereka melakukan aksi memprotes janji politik calon presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
Dalam aksi ini, mereka membagikan ratusan topeng kertas bergambar muka Soeharto serta poster bertuliskan: “Tolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.”
“Masih banyak orang, aktivis, yang hingga kini masih belum kembali, yang saat itu melawan kekuasaan Soeharto,” ujar Suciwati, istri mendiang Munir, di sesela aksi.
Sejak Soeharto wafat pada Januari 2008, muncul upaya memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya. Seperti pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang kini menjadi mitra koalisi pengusung calon presiden Prabowo Subianto, meluncurkan iklan Sang Guru Bangsa dengan memasukkan Sukarno, Soeharto, Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, dan Bung Tomo. PKS menganggap Soeharto layak mendapat gelar pahlawan nasional.
Pada November 2012, saat pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sukarno dan Mohammad Hatta, muncul suara supaya Soeharto diberi penghargaan serupa. Namun, semua upaya tersebut belum terlaksana karena banyak penolakan dari masyarakat.
Penolakan ini tak lepas dari rekam jejak Soeharto selama berkuasa 32 tahun. Dia dan kroninya dianggap harus bertanggungjawab atas beragam peristiwa pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat, serta tindak pidana korupsi. Dalam siaran pers (12/06), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) membagi pelanggaran tersebut dalam dua bagian: pelanggaran hak sipil dan politik serta pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Pelanggaran hak sipil dan politik mencakup dari pembantaian massal terhadap orang yang “diduga” komunis (1965-1966) hingga kasus penembakan warga dalam pembangunan waduk Nipah Madura (1993). Sedangkan pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989) hingga korupsi menyangkut penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan yang diketuai Soeharto.
Menjelang aksi berakhir, Dinis, putri Yadin Muhidin, aktivis yang dihilangkan tahun 1997/1998, membacakan pernyataan. Isinya menyebut upaya pemberian gelar pahlawan nasional tidak lebih dari upaya terselubung untuk melakukan pemutihan atau amnesti secara ilegal terhadap segala bentuk kejahatan negara yang pernah terjadi.
“Kami menegaskan bahwa kematian Soeharto pada 2008, tentu hanyalah menggugurkan kewajiban hukumnya saja, namun proses hukum terhadap kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat, serta tindak pidana korupsi, khususnya yang melibatkan para kroni-kroni, tetap harus dilanjutkan. Untuk itu, Komnas HAM RI dan Kejaksaan Agung RI, harus melanjutkan upaya hukum yang pernah dilakukan, demi memberikan kepastian hukum bagi segenap rakyat Indonesia.”
Aksi diakhiri dengan menyobek topeng Soeharto serta memekikkan: “Soeharto bukan pahlawan, Soeharto bukan pahlawan.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar