Soedjatmoko dalam Pikiran dan Kenangan
Tak hanya piawai berdiplomasi, Soedjatmoko juga seorang pemikir. Sosoknya yang multidimensi ditampilkan dalam pameran.
Rumah bergaya kolonial Belanda yang didominasi warna putih itu tampak asri. Begitu memasuki area dalam rumah, tampak sejumlah orang tengah melihat-lihat beragam arsip, foto, dan buku yang mengenai sosok, pemikiran, dan kiprah Soedjatmoko dalam sejarah Indonesia.
Di kediaman Koko, sapaan akrab Soedjatmoko, yang berada di Jalan Tanjung No. 18, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat itu tengah digelar pameran “Membaca Soedjatmoko dari Rumah dan Ingatan” sejak 10–14 Januari 2023. Pameran tersebut dapat dikunjungi mulai pukul 11.00 WIB hingga 17.00 WIB. Selain itu, pada pukul 19.00 WIB diselenggarakan diskusi publik mengenai Soedjatmoko. Bagi pengunjung yang ingin melihat pameran itu dapat melakukan registrasi secara daring.
Soedjatmoko lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat pada 10 Januari 1922. Ia dikenang sebagai pemikir yang sepanjang hidupnya bergumul dengan persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan dunia. Pemikiran-pemikirannya tertuang dalam sejumlah tulisan.
Soedjatmoko pernah memimpin majalah Siasat tahun 1947. Tulisan-tulisannya diterbitkan pula dalam publikasi ilmiah baik di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa tulisan tersebut dapat dilihat di pameran.
Kamala Chandrakirana, putri sulung Soedjatmoko, mengatakan pameran tersebut merupakan bagian dari rangkaian memperingati 100 tahun kelahiran Soedjatmoko yang digelar sejak tahun 2022. Menurut Nana, sapaan akrab Kamala, tujuan pameran untuk memperkenalkan Soedjatmoko kepada generasi muda. Terlebih beberapa gagasan dan pemikirannya dianggap masih relevan dengan berbagai isu kekinian.
Baca juga: Pameran Pramoedya Ananta Toer dan Arsipnya
Pameran dibagi menjadi beberapa bagian. Di ruangan pertama yang berbatasan dengan pintu masuk, pengunjung dapat melihat beragam arsip, foto, dan poster mengenai periodisasi kehidupan Soedjatmoko, yang pernah menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir.
Di ruangan itu, pengunjung juga dapat melihat barang-barang milik Soedjatmoko, yang beberapa di antaranya kerap menemani aktivitasnya sehari-hari, seperti kacamata, mesin tik, dan jam tangan.
Di bagian lain ditampilkan korespondensi Soedjatmoko dengan Sjahrir dan Soebadio Sastrosatomo dari tahun 1962 hingga 1965. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 4, Soedjatmoko bersama Soedarpo Sastrosatomo dan Soebadio Sastrosatomo memiliki hubungan baik dengan Sutan Sjahrir, tokoh pendiri bangsa yang pernah menjabat Perdana Menteri. Ketiganya disebut The Sjahrir Boys, yang berarti termasuk lingkaran dalam Sjahrir.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, Soedjatmoko turut bersama Haji Agus Salim, Sumitro Djojohadikusumo, dan Charles Thambu menjadi anggota delegasi yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir untuk membela Republik Indonesia di sidang Dewan Keamanan PBB pada 1947.
Baca juga: Pameran Surat-surat Pribadi Pendiri Bangsa
Di salah satu ruangan pameran, pengunjung dapat melihat beragam arsip yang berkaitan dengan gagasan Soedjatmoko terkait politik dan kebudayaan. Ada pula foto yang menampilkan Soedjatmoko bersama sejumlah tokoh dunia.
Interaksi Soedjatmoko dengan tokoh-tokoh asing tentu tak mengherankan, karena selain pernah menjadi anggota delegasi Republik Indonesia pada DK-PBB (1947–1950), ia juga pernah menjabat Wakil Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB (1951–1952), Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat (1968–1971), dan Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang (1980–1987).
Dalam pameran tersebut, pengunjung juga dapat melihat medali Ramon Magsaysay Award yang dihadiahkan kepada Soedjatmoko tahun 1978. “Berita dari Manila mengatakan ahli kemasyarakatan Indonesia Soedjatmoko Mangoendiningrat memperoleh Hadiah Magsaysay untuk saling pengertian internasional karena jasa-jasanya bagi peningkatan taraf hidup rakyat miskin di Asia,” demikian dikutip dari Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981–1982.
Selain tulisan-tulisan Soedjatmoko tentang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, di ruangan lain pengunjung dapat melihat tulisan-tulisan dari para tokoh mengenai Soedjatmoko. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di sejumlah media cetak untuk mengenang Soedjatmoko yang meninggal di usia 67 tahun pada 21 Desember 1989.
Melalui pameran arsip keluarga Soedjatmoko, yang sebagian besar dirapikan dan dikategorisasikan oleh istrinya, Ratmini Gandasubrata, pengunjung dapat lebih mengenal sosok dan pemikiran Soedjatmoko yang berpangkal pada kemanusiaan dalam mengembangkan gagasan mengenai masyarakat, alam, ilmu dan teknologi, serta pergaulan antarbangsa.
Nana berharap pameran ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi generasi muda yang sedang mencari jalan untuk menjawab persoalan-persoalan masa kini.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar