Siapa Dia Ketua Pemilu 1955?
Dia ketua panitia pemilihan umum, tapi ikut “nyaleg” juga. Setelah pemilu sukses, dia jadi anggota DPR lagi.
Pertemuan Puan Maharani (PDIP) dan Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat) pada Minggu (18/6/2023) menandai kian intensnya manuver politik yang dilakukan partai-partai politik jelang Pemilihan Umum (pemilu) 2024. Maklum, hajatan demokrasi lima tahunan itu tinggal hitungan bulan.
Toh, manuver politik bukanlah hal baru dalam masa-masa menjelang pemilu. Pemilu 1955 yang menjadi pemilu pertama di Indonesia pun diwarnai banyak manuver sebelum penyelenggaraannya.
Baca juga: Manuver Politik Jelang Pemilu 1955
Pemilu 1955 sendiri diselenggarakan oleh panitia bernama Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Kendati berjalan lancar dan sesuai dengan tanggal yang dijadwalkan, tetap saja ada kekurangan wajar yang umum pada tiap hajatan. Selain dikarenakan usia Republik Indonesia masih belia, faktor yang menyebabkan adanya kekurangan dalam Pemilu 1955 adalah mepetnya waktu persiapan dan masih kuatnya ketidakstabilan politik khususnya di pusat. Kabinet jatuh-bangun, militer berkonflik dengan politisi sipil, dekolonisasi masih berjalan –setidaknya Irian Barat masih terus dipertahankan Belanda– merupakan masalah-masalah utama yang menjadi aral dalam kehidupan bernegara.
Meski begitu, upaya mengadakan pemilu tetap terus ada meski kabinet silih-berganti memerintah. Terlebih, pemilu nasional rencananya telah diumumkan sejak Oktober 1945. Beberapa daerah pun –yakni Karisidenan Kediri dan Surakarta, diikuti Sangir-Talaud dan DI Yogyakarta– telah berhasil menyelenggarakan pemilu lokal pada 1946, 1951, dan 1952. Oleh karenanya, Pemerintahan Wilopo –yang merupakan koalisi PNI-Masyumi-Sosialis– pada November 1952 memperkenalkan undang-undang pemilu baru, yang diamandemen empat setengah bulan kemudian menjadi undang-undang.
Baca juga: Manuver Politik Jelang Pemilu 1955
“Undang-undang baru mengatur pemilihan langsung. Pengalaman pemilu di Yogyakarta, dan pemilu India tahun 1951-52, berpadu membujuk kabinet Wilopo untuk mengubah kebijakan pemerintahan sebelumnya menjadi pemilu dengan sistem tidak langsung. Selanjutnya pemilu menjadi pemilu ganda. Karena sejumlah alasan politis dan konstitusional yang rumit, gagasan sebelumnya bahwa Parlemen Kerja harus dipilih oleh dan dari Majelis Konstituante yang terpilih ditinggalkan demi diadakannya pemilihan untuk dua badan terpisah, Parlemen dan juga Majelis Konstituante,” tulis Herbert Feith dalam The Indonesian Elections of 1955.
Dalam legislasi tersebut, pemilu ditetapkan menggunakan sistem perwakilan proporsional. Wilayah NKRI dibagi menjadi 16 daerah pemilihan. Tiap daerah diberikan kursi berdasarkan jumlah penduduk, namun dengan ketentuan dasar setiap daerah memiliki hak untuk perwakilan minimum, enam kursi di Majelis Konstituante dan tiga di Parlemen.
Baca juga: Membaca Ulang Sejarah Parlemen Indonesia
Namun, upaya pemerintahan Wilopo mewujudkan pemilu tetap menemui aral. Upaya membentuk Panitia Pemilihan Pusat (PPP) gagal akibat deadlock mengenai komposisi panitia di antara partai-partai mitra koalisinya. Setelah Presiden Sukarno merilis Keppres No. 188 tahun 1953 –yang berisi penunjukan para pemuka PPI; tiap orang berasal dari partai politik– pada 7 November, kabinet baru berhasil membentuk PPP pada Desember tahun yang sama.
Keppres tersebut menunjuk Asrarudin, Hartojo, Sumarto, Sofjan Siradj, Sudibjo, Surjaningprodjo, Rustam Sutan Palindih, dan Sukri Hadikusumo. Dalam Keppres, Rustam ditetapkan menjadi wakil ketua PPI dan Sukri Hadikusumo menjadi ketua PPI. Para anggota PPI tersebut berasal dari beberapa partai.
Pada 28 November 1953, mereka yang ditunjuk Keppres tersebut diharuskan ke Istana Negara. Buku Indonesia Memilih menyebut pada hari itu mereka dilantik menjadi anggota PPI. Timbang terima antara acting ketua Kantor Pemilihan Indonesia Sjamsudin Sutan Makmur kepada Ketua PPI Sukri Hadikusumo dilakukan pada 3 Desember di Kantor Pemilihan Pusat, Jalan Pintu Air nomor 1 Jakarta.
Namun, jalan untuk mewujudkan pemilu tidaklah mulus. Pihak-pihak yang ingin menunda pemilu tetap ada kendati Presiden Sukarno dan banyak pihak berkeras pemilu harus diadakan.
“Pemilihan umum dianggap oleh masyarakat pembaca suratkabar sebagai jalan keluar dari situasi politik umum yang sangat tidak memuaskan. Situasi ini terlihat dari krisis kabinet yang berulang, tantangan militer terhadap otoritas pemerintah, korupsi, nepotisme politik, pertengkaran partai, dan terutama impotensi pemerintah dalam menghadapi tugas besar yang dihadapinya di segala arah. Jadi banyak sekali yang diharapkan dari pemilu,” tulis Feith.
Adanya hambatan mengakibatkan PPI Pusat bersama para panitia di Tempat Pemungutan Suara mesti bersusah payah untuk mewujudkan pemilu. De Preangerbode edisi 2 Maret 1956 memberitakan, kesulitan mempersiapkan Pemilu 1955 hingga mengakibatkan ada nyawa yang melayang. Sukri Hadikusumo sampai memuji ketekunan stafnya yang tetap bekerja keras. Kendati begitu, Pemilu 1955 berhasil diselenggarakan pada hari yang telah ditentukan.
"Saya sekarang dapat mengungkapkan kepuasan penuh saya dengan kemajuan pekerjaan, jika bukan karena fakta bahwa 93 orang kehilangan nyawa mereka selama pekerjaan mereka dan 74 orang diculik dan masih belum ditemukan," kata Sukri, dikutip De Preangerbode edisi 2 Maret 1956.
Raden Sukri Hadikusumo sendiri, menurut Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama - 1955) di Republik Indonesia, adalah politisi kelahiran 17 Mei 1905. Ia lulusan sekolah pamongpraja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Semasa muda, dia bekerja sebagai panitera di Pengadilan Negeri Banyumas zaman Hindia Belanda. Deli Courant edisi 26 Februari 1929 menyebut Sukri pernah ditempatkan di Pangadilan Negeri Kraksaan, dekat kota Probolinggo.
Pada zaman pergerakan nasional, Sukri Hadikusumo bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) dan Taman Siswa. Dia termasuk pembentuk Tama Siswa di beberapa daerah di Jawa Timur. Pada zaman pendudukan Jepang, Sukri diberdayakan menjadi wakil ketua Syuu Sangi Kai (Dewan Keresidenan) di Banyumas. Sempat pula dia memimpin Barisan Suishintai (yang berisikan pemuda).
Setelah Indonesia merdeka, Sukri bergabung ke PNI dan masuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Semasa Republik Indonesia Serikat (RIS), dia menjadi anggota DPR. Pada 1953, Sukri dipilih menjadi ketua PPI. Buku Kami Perkenalkan menyebut, ketika ditunjuk menjadi ketua PPI, ia adalah anggota Dewan Perwakilan Rakjat (DPR) mewakili PNI.
Baca juga: Riwayat Berdirinya PNI
Uniknya, dalam Pemilu 1955 yang dihelat oleh panitia yang dipimpinnya, Sukri juga mencalonkan diri menjadi anggota DPR sebagai wakil PNI. Partai sang ketua dalam Pemilu 1955 menjadi pemenang. Setelah perhitungan suara, PNI mendapat 57 kursi di DPR. Maka Sukri pun duduk lagi sebagai anggota DPR sejak 1956.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar