Setelah Multatuli Mudik
Sama seperti di Indonesia, tak banyak lagi orang mengenal tokoh sejarahnya. Multatuli salah satu korbannya.
TAK begitu sulit menemukan bangunan tempat Multatuli alias Eduard Douwes Dekker pernah tinggal di Brussel, Belgia. Ia terletak pada sebuah sudut dari jalan bersimpang lima, tepat di seberang gereja katedral. Pintu masuk ke dalam gedung terimpit di antara dua kafe dan toko roti. Sebuah plakat peringatan terpasang di atas pintu, ditulis dalam dua bahasa: Belanda dan Prancis.
“Pada September–Oktober 1859 Multatuli (Edward Douwes Dekker) menulis adikaryanya Max Havelaar di penginapan “Au Prince Belge” yang sampai 1876, dengan alamat Bergstraat No 80, berada di bangunan ini.” Demikian bunyi plakat tersebut.
Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku di losmen tersebut. Pada 13 Oktober tahun yang sama, buku tersebut selesai ditulis. Namun ada dua versi lain tentang berapa lama naskah Max Havelaar ditulis: mulai dua minggu sampai tiga bulan.
Namun kini penginapan itu sudah tak ada lagi. Fungsi gedung sudah berubah, begitu pula dengan penomoran jalan. Kecuali bagi orang yang sengaja ingin mencarinya, plakat informasi sejarah itu agaknya bakal terlewatkan begitu saja: letaknya tersamar dan papan plakat mulai menghijau berlumut. Terkesan seperti tak ada lagi yang peduli pada kisah yang pernah terjadi di sana.
Kesan itu bukan terjadi di Belgia saja. Di Belanda tempat asal Multatuli juga demikian. Museumnya sepi pengunjung, pemerintah kurangi subsidi. Lizzy van Leeuwen, penulis di majalah De Groene Amsterdamer, beberapa waktu menulis tokoh sejarah Belanda, seperti Multatuli, mulai terdesak ke pinggiran karena memang sejarah Belanda dan Hindia Belanda sejak dulu selalu dipisah (Baca: Karya Raden Saleh Digulung dan Disingkirkan dan Cara Keluarga Kerajaan Belanda Perlakukan Karya Raden Saleh oleh Lizzy van Leeuwen).
Ada pula kesan kalau Multatuli jadi “kuda tunggangan” sebagian kalangan di Belanda tentang contoh manusia Barat beradab yang membela bangsa jajahan. Kesan tersebut justru dibangun untuk menutupi penindasan yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda. Maklum saja, sebagaimana umumnya kaum kolonialis, penguasa kolonial Belanda selalu bersembunyi di balik tujuan mulia “mengadabkan” rakyat jajahan yang tertinggal di belakang.
Padahal, “30 juta rakyat Hindia ditindas dan dihisap atas nama Anda,” kata Multatuli di dalam suratnya kepada Raja Willem III.
Soal pemisahan sejarah antara Belanda dan Hindia Belanda, tak terjadi di Belanda saja, ada miripnya dengan Indonesia. Penulisan sejarah di Indonesia terkesan menjaga jarak dengan tokoh-tokoh Belanda yang berperan dalam dinamika kehidupan warga jajahan di Hindia Belanda. Mungkin ini ada kaitan erat dengan perspektif sejarah Indonesia-sentris yang dirintis oleh para sejarawan Indonesia generasi awal pascakemerdekaan.
Narasi tersebut menempatkan orang Indonesia sebagai faktor dalam sejarahnya, membalikkan cara pandang yang pernah dibangun di dalam historiografi Hindia Belanda karya para sejarawan Belanda. Ini bisa dipahami karena konteks cara pandang tersebut dilahirkan dalam suasana semangat kemerdekaan dan anti-kolonialisme Belanda yang masih euforia. Kongres pertama sejarah Indonesia pun diselenggarakan pada 1957, 12 tahun setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Walhasil tak banyak kisah tentang orang-orang Belanda (juga orang dari bangsa lain) yang diperkenalkan kepada masyarakat, betapa pun pentingnya peranan mereka bagi pembentukan negara-bangsa Indonesia. Pemahaman terhadap sejarah memiliki kecenderungan yang bias rasisme: terbatas pada pengertian bahwa kolonialisme adalah penindasan kaum kulit putih terhadap kulit sawo matang (baca: bumiputra) dan seringkali hitam-putih.
Tidak mengherankan jika karya sastra seperti Max Havelaar tak jadi bacaan wajib di sekolahan. Tokoh-tokoh penting seperti Henk Sneevliet, J.E. Stokvis, Adolf Baars serta figur lain yang berlatar belakang ras berbeda, jarang kelihatan perannya kecuali sebagai figuran yang muncul dalam beberapa kalimat pelengkap narasi yang sepenuhnya disesaki oleh orang Indonesia. Suatu identitas kebangsaan yang baru lahir pada abad 20.
Barangkali inilah salah satu sebab mengapa, mengutip Ariel Heryanto, kita memiliki historiografi yang rasis. Kecenderungan yang sama juga akhirnya menyebarluas lebih dari sekadar perspektif sejarah, tapi juga menjadi sikap di dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam urusan politik. Jangan heran kalau belakangan muncul ego-sentrisme peran pribumi di dalam sejarah, betapapun buramnya istilah pribumi itu (Baca: Ariel Heryanto, Rasisme dalam Film Sejarah).
Sejarah memang perlu ditulis lebih gamblang. Seperti kisah Multatuli: seorang kulit putih yang menjadi advokat rakyat kecil; Poncke Princen serdadu Belanda yang berpihak kepada Republik atau malah kisah Mas Slamet, orang Jawa yang memihak kepada Ratu Belanda karena tidak “sreg” pada kemerdekaan Indonesia (Baca: Dirgahayu Poncke! dan Mas Slamet Anti Kemerdekaan Indonesia).
Dengan demikian banyak orang memahami bahwa cita-cita Indonesia merdeka dari penindasan kolonialisme, ada di banyak kepala orang dengan beragam latar belakang ras dan agama. Bukan milik sepihak dengan klaim paling berjasa bagi bangsa Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar