Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin
Sekolah Dokter Djawa diikuti anak bangsawan rendahan hingga dicap sekolah miskin. Darinya justru lahir pribadi-pribadi yang peduli nasib bangsanya.
DEMI mempertahankan laba pengusaha dan kas Kerajaan Belanda, pemerintah kolonial Hindia Belanda amat memperhatikan bisnis-bisnis di Hindia Belanda. Kesehatan pribumi sebagai penunjang, di mana mereka menjadi mayoritas tenaga kasar dalam bisnis-bisnis itu, pun mau tak mau ikut diperhatikan. Salah satunya dengan mendirikan sekolah kedoktera pada pertengahan abad ke-19.
“Sekolah dokter pertama di Hindia Belanda adalah Sekolah Dokter Djawa, yang didirikan pada tahun 1851,” tulis Hans Pool dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia.
Ide adanya dokter dari kalangan pribumi sendiri datang dari dr. W. Bosch. Dalam “Tujuh Puluh Lima Tahun Pendidikan Kedokteran di Weltevreden” di buku Perkembangan Pendidikam Kedokteran di Weltevreden, A. de Waart menyebut Bosch dalam suratnya tanggal 9-11 Oktober 1847 menyarankan pemerintah kolonial mempertimbangkan adanya pendidikan pemuda Jawa yang bisa baca tulis Jawa dan Melayu sebagai tenaga kesehatan bagi masyarakat lokal.
Baca juga:
Berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor 22 tanggal 2 Januari 1849, sekolah kedokteran berasrama itu diadakan dan mulai beroperasi pada Januari 1851. Para calon tenaga kesehatan di sekolah itu mendapat uang saku 15 gulden tiap bulan. Sekolah itu menerima murid dengan usia paling muda 16 tahun dan mereka didik selama dua tahun. Ilmu yang mereka dapatkan di sana yakni ilmu ukur, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu tanaman, ilmu hewan, ilmu kebidanan, ilmu bedah, ilmu sambung tulang, anatomi, fisiologi, patologi, dan ilmu lain terkait kedokteran, semua dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Pendeknya masa belajar menjadi masalah di awal sejarah sekolah kedokteran itu. Pada 1853, sekolah tersebut sudah punya 11 lulusan untuk menjadi petugas vaksin dan tenaga medis. Berdasar Keputusan Pemerintah Nomor 10 tanggal 5 Juni 1854, mereka diberi gelar Dokter Djawa.
Baca juga:
Masa belajar di sana lalu ditambah dari masa ke masa. Pada 1860-an, masa belajarnya sudah tiga tahun. Pada dekade berikutnya, menjadi lima tahun lebih. Dengan masa belajar lebih dari lima tahun, sekolah tersebut lalu dikenal dengan nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) alias Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Di antara lulusan STOVIA lalu belajar lagi ke Belanda untuk disamakan dengan dokter Belanda.
STOVIA mulanya kurang diminati anak-anak bangsawan Jawa. Gajinya kalah dari guru rendahan. Hans Pool mencatat pendapat CD de Langen pada 1927 bahwa Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA pernah dicap Sekolah Miskin sebab didatangi banyak anak dari golongan bangsawan rendah. Salah satu yang terkenal adalah Radjiman Wedyodiningrat yang anak kopral.
Setelah bekerja sebagai dokter Djawa, anak-anak priayi yang terpelajar sehingga dihormati di masyarakat itu lebih baik hidupnya. Menurut Hans Pool, anak priayi yang jadi dokter itu belakangan menganggap golongan bangsawan tinggi sebagai “orang malas tak berguna.”
Banyak bangsawan rendahan yang jadi dokter memainkan peran penting di masyarakatnya. Belakangan, mereka peduli dan memperjuangkan nasib bangsanya hingga terjun ke dunia politik, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Bahder Djohan di samping Radjiman sendiri.
“Salah satu sumber yang menghasilkan anggota elite-elite baru adalah Sekolah Dokter Djawa,” tulis Robert van Niel dalam Munculnya Elit Modern di Indonesia.
Dokter Radjiman di zaman pendudukan Jepang menjadi sosok cukup dipandang pemerintah militer Jepang. Dia tak kalah populer dari raja-raja Jawa yang masih ada. Pasca kemunduran Jepang dalam Perang Pasifik, Radjiman dipercaya menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang membuat dasar negara Republik Indonesia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar