Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda
Sebenarnya yang pertama belajar hukum di Belanda seorang Tionghoa. Namun, dia menjadi warga negara Belanda.
Oei Jan Lee lahir di Banda Neira, Maluku, pada 1863. Ayahnya seorang Letnan Tionghoa yang membantu Kapitan Tionghoa, pemimpin komunitas Tionghoa di Banda Neira. Setamat pendidikan dasar Belanda di Banda Neira, dia mengikuti pendidikan dan pelatihan swasta di Banda Neira, untuk persiapan mengikuti tes penerimaan HBS (sekolah menengah Belanda) di Batavia.
Setelah lulus HBS, pada 1882, Oei Jan Lee pergi ke Negeri Belanda. Dia mengikuti pendidikan gymnasium selama dua tahun sebagai syarat masuk universitas. Dia menjadi orang pertama dari Hindia Belanda yang belajar hukum di Universitas Leiden dan lulus pada Januari 1889.
Menurut Patricia Tjiook-Liem dalam “The Chinese from Indonesia in the Netherlands and their heritage,” jurnal Wacana Vol. 18 No. 1, 2017, Oei Jan Lee kembali ke Hindia Belanda pada 1892. Pada umur 29, dia diangkat sebagai pengacara dan penasihat di Mahkamah Agung Hindia Belanda, salah satu jabatan tertinggi dalam peradilan kolonial. Ini adalah pengangkatan yang luar biasa dan karier yang sangat cepat pada masa kesenjangan hukum dan sosial yang besar antara Belanda (Eropa) dan Tionghoa (Timur Asing). Jabatan penting jarang diberikan kepada orang Tionghoa.
Baca juga: Tio Oen Bik, Tokoh Tionghoa yang Terlupakan
Oei Jan Lee menikah dengan perempuan Eropa, Christina Johanna van Wijk, pada 1889. Pada waktu itu, orang yang bukan Eropa menikah dengan seorang perempuan Eropa, maka dia masuk ke golongan Eropa.
“Contohnya Rd. Ismangoen Danoe Winoto dan Mr. Oei Jan Lee (Johan Lee); keduanya dipersamakan dengan orang Eropa, malahan yang tersebut belakangan menjadi Nederlander (warga negara Belanda, red.) karena naturalisatie (naturalisasi),” tulis Sudargo Gautama dalam Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran: (Staatblad 1898 No. 158).
Oleh karena itu, kendati Oei Jan Lee yang pertama kuliah hukum di Universitas Leiden. Namun, sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, menyebut orang Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum adalah Raden Mas Gondowinoto pada 1918.
Gondowinoto lahir pada 1889 di Yogyakarta. Putra dari Pangeran Notodirodjo, saudara Pakoe Alam VI. Ayahnya sangat peduli dengan pendidikan. Karenanya dia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Belanda. Setelah lulus pendidikan ELS dan HBS pada 1907, dia menyusul kakaknya, Raden Mas Notokworo, meneruskan pendidikan ke Negeri Belanda.
Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda.
Pada 1910, Gondowinoto, yang menguasai bahasa Latin dan Yunani, mengikuti langkah kakaknya yang lain, Noto Soeroto, mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Noto Soeroto menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, dia gagal meraih gelar Mr. Sehingga Gondowinoto yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar Mr.
Setelah lulus tahun 1918, Gondowinoto kembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Kehakiman di Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di Makassar.
Dari Makassar, Gondowinoto bertugas di Kalimantan. Di sana dia pernah menjadi pembela Idham Chalid (kelak menjadi ketua PBNU) yang ketika itu menjadi penghulu di Setui, Kalimantan Selatan.
Dalam biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah karya Arief Mudatsir Mandan, disebut bahwa Idham Chalid berhenti sebagai penghulu Setui karena perkara perkelahian dengan Haji Bakri. Penyebabnya tidak diketahui pasti. Kasus itu sampai ke pengadilan (Landraad) di ibu kota onderafdeling (Kawedanaan) Kota Baru, Pulau Laut. Hakim Landraad seorang Belanda agak memihak kepada Haji Bakri, kabarnya karena Idham Chalid pernah ikut mengurus Sarikat Islam dan Nahdlatul Ulama.
Baca juga: Idham Chalid Membentuk KPK Melawan DI/TII
“Seorang advokat sahabatnya, Mr. R.M. Gondowinoto, menjadi pembelanya di pengadilan. Akhirnya, keputusan perkara Upau alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, dua-dua bebas, disuruh bermaaf-maafan. Keduanya menjadi bersahabat kembali,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Malahan sehabis persidangan, Haji Bakri menginap di rumah Idham Chalid. “Demikianlah orang-orang tua dahulu, tidak ada yang menyimpan dendam walaupun pernah bersengketa.”
Selain di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat dalam pergerakan lewat media massa. Dia menjabat direktur surat kabar Soeara Kalimantan yang mulai terbit pada 1 April 1930. A.A. Hamidhan sebagai kepala redaksi, dan A. Atjil sebagai redaktur keliling (reizende redacteur) dan penanggung jawab. Surat kabar ini diterbitkan oleh Drukkerij en Uitgevers Mij. Kalimantan. Pada 1934, susunan redaksi ditambah M. Hadhriah sebagai pejabat redaktur (plaatsyervangend redacteur) dan A. Madjidi sebagai kepala administrasi.
Baca juga: Pers Perjuangan di Kalimantan
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, mengenai haluannya, mingguan itu cenderung bercorak nasionalis dan berusaha memperjuangkan kepentingan Islam, umpamanya dalam artikel yang ditulis oleh redaksi tanggal 1 April 1930, antara lain mengemukakan: “Mementingkan soal-soal segenap kawan”; “wajib Pemoeda Islam sekarang ini menjelma warta”; “Angan angan kemerdekaan diharapkan Oemat”; “Boeatlah tjonto kepada Oemat”.
Ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai Soeara Kalimantan, Gondowinoto menulis artikel “Soeara Kalimantan Berbahaja” tanggal 15 November 1930, yang antara lain mengemukakan bahwa Soeara Kalimantan:
“Membela kehormatan bangsanya tanah airnya dari tindasan yang sewenang wenang dengan jalan yang patut … Akan mempertimbangkan dan memuji kepada siapa saja yang berbuat kebaikan dalam pekerjaannya tetapi mencuci sampai bersih pada segala perbuatan yang berbau busuk …. Mengajak rakyat bangsanya memperbaiki perekonomian dengan jalan memberi pandangan yang menarik hati mereka.”
Pada masa pendudukan Jepang, Gondowinoto kembali ke Jawa. Dia menjadi penuntut umum di Mangkunegaran. Dia meninggal dunia pada 1953.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar