Rusuh Napi Era Revolusi
Di Bekasi dan Bandung, para tahanan pro Republik melakukan pemberontakan. Keduanya menemui kegagalan.
Kedunggede dibekap ketegangan pagi itu. Suara teriakan yang bersanding dengan bunyi tembakan membuat suasana sangat mencekam. Tak ada satu pun warga yang berani keluar rumah kecuali sekelompok kecil kaum lelaki dan ribuan serdadu Belanda bersenjata lengkap yang berderap menuju gedung penjara.
“Dalam sikap siap tempur, mereka mengepung penjara Kedunggede yang sudah dikuasai kaum Republik,” kenang Haji Siddin, lelaki berusia 90 tahun.
Hingga kini Siddin tak pernah mengetahui musabab pasti mengapa para napi (narapidana) itu mengamuk dan melakukan pemberontakan. Secara samar lelaki yang dulu bekas pedagang beras di Pasar Tambun tersebut hanya mendengar kerusuhan itu awalnya dipicu oleh perlakuan kasar seorang sipir kepada salah satu napi.
Namun Insiden Kedunggede itu sempat dicatat oleh A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 8. Disebutkan pada awal September 1948, militer Belanda melakukan pembersihan “kaum ekstrimis” di wilayah Cibarusa yang dikenal sebagai basis BBR (Barisan Bamboe Roentjing). Itu salah satu lasykar bersenjata yang tidak mengakui kesepakatan Perjanjian Renville dan memilih untuk tetap melawan Belanda.
Singkat cerita, militer Belanda berhasil menangkap 1000 orang yang dicurigai sebagai anggota BBR. Mereka lantas ditempatkan di Penjara Kedunggede, Bekasi (sekarang masuk dalam wilayah Karawang) yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi menerima tahanan. Akibatnya suasana sumpek, panas berkelindan dengan rasa marah karena diperlakukan tidak baik oleh para sipir penjara.
Sabtu pagi, 4 September 1948 meledaklah kerusuhan di Penjara Kedunggede. Terjadi bentrok massal antara napi dengan para penjaga. Disebabkan kalah jumlah, para sipir akhirnya menyerah dan otomatis penjara langsung dikuasai oleh para napi. Bala bantuan pun didatangkan. Selama sehari semalam gedung penjara dikepung oleh pasukan bersenjata.
Pukul 4 pagi pada 5 September 1948, para napi mencoba untuk kabur dari penjara tersebut dengan cara menyerang para pengepung secara bersama-sama. Alih-alih berhasil, yang ada mereka menjadi umpan peluru-peluru tajam.
“Menurut sumber Belanda, insiden itu mengakibatkan 47 napi tewas dan 24 lainnya luka-luka. Sedangkan sisanya yang kemudian menyerah dipindahkan ke Jakarta,” ujar A.H. Nasution.
Kurang lebih sebulan sebelumnya kejadian yang sama terjadi juga di Penjara Bantjeuj, Bandung. Ceritanya, suatu hari beberapa pentolan napi Penjara Bantjej mendatangi salah satu napi terkemuka yakni Kapten TNI Soegih Arto. Kepada pimpinan kaum gerilyawan di wilayah pinggiran Bandung itu, mereka menyatakan akan memberikan “kejutan” kepada pihak Belanda pas RI memperingati kemerdekannya yang ke-3.
“Mereka berencana berontak dan kembali ke hutan guna meneruskan perjuangan,” ungkap Soegih Arto dalam biografinya, Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto.
Para pentolan napi itu awalnya mendapuk Soegih untuk menjadi pimpinan pemberontakan. Namun mengetahui persiapannya yang sangat minim, dia menolak permintaan mereka dan menyarankan agar rencana tersebut dibatalkan saja. Alih-alih, sebagian dari para pentolan napi itu malah menganggap Soegih sebagai seorang pengecut.
Pada 17 Agustus 1948, meletuslah pemberontakan di Penjara Bantjeuj. Kerusuhan dimulai oleh para napi dari Blok J dan berhasil merebut sepucuk pistol dari seorang anggota MP (Polisi Militer). Namun para penjaga lain lebih sigap. Mereka langsung menutup akses-akses menuju keluar secara ketat. Tak beberapa lama kemudian sirene meraung-raung, diikuti oleh kedatangan bertruk-truk anggota MP. Pemberontakan pun mengalami kegagalan.
Sebagai hukuman, para napi yang terlibat pemberontakan dikenakan sanksi isolasi. Jadwal jalan pagi dan jalan sore para napi ditiadakan untuk jangka waktu yang tak tentu. Kiriman dari keluarga dihentikan secara total.
“Saya sendiri dipindahkan ke Blok M,” kenang Jaksa Agung Republik Indonesia periode 1966-1973 itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar