Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip
Sistem hukum di kerajaan-kerajaan Nusantara sudah sedemikian mapan sebelum kedatangan bangsa Eropa. Bangsa Belanda datang dan menerapkan sistem hukumnya untuk menegakkan kuasa.
Hukum di Indonesia dewasa ini banyak mewarisi produk hukum buatan Belanda peninggalan zaman kolonial. Padahal, sebelum bangsa Belanda datang untuk berdagang, negeri-negeri merdeka di Nusantara telah menerapkan peraturan hukum-hukum masing-masing. Umumnya peraturan yang ada mengatur tentang ketertiban-kejahatan kepada umum dan penguasa, perpajakan, perdagangan, peribadatan, perjanjian wilayah, dan sebagainya.
“Karena budaya tulis di kita itu terlambat dibandingkan bangsa Eropa, peraturan-peraturan hukum itu banyak ditulis pada benda-benda seperti batu, kayu, tembaga, yang disebut prasasti. Secara lisan dituangkan ke dalam pantun atau peribahasa,” terang R.P. Ugrasena Pranidhana dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional dalam “Ekspose Inventaris Arsip: Wees en Boedel Kamers Serie Ordonantie, Resolutie, en Besluiten” yang diselenggarakan ANRI pada 5 Oktober 2023.
Ugra mencontohkan peribahasa lama Jambi yang bunyinya, “Bejenjang naik, betanggo turun” (Berjenjang naik, bertangga turun). Artinya, segala sesuatu harus mengikuti jalan, aturan, dan urutannya agar tertib dan terlaksana baik. Naskah Peraturan Hukum Melayu Tanjung Tanah berisikan peraturan-peraturan di Kerajaan Dharmasraya tentang pelanggaran dan kejahatan beserta denda dan hukumannya pada abad ke-14. Naskah ini ditulis pada bahan kulit kayu daluang dalam bahasa dan aksara Melayu kuno. Di Banten terdapat Prasasti Dalung Kuripan yang berisi perjanjian tentang perdagangan, pertanian, pelanggaran, dan kejahatan di darat, laut, dan muara di wilayah Kesultanan Banten pada abad ke-16. Prasasti diukir pada bahan tembaga dalam bahasa Jawa-Banten dan aksara Arab Pegon.
Baca juga: Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip
Namun, peraturan hukum berbasis kearifan lokal di Nusantara mulai tergantikan setelah kedatangan bangsa Eropa. Orang-orang Belanda yang semula datang untuk berdagang pada akhir abad ke-16, turut membawa perangkat hukum mereka. Sistem hukum itu kemudian diterapkan di tanah koloni untuk menegakkan kekuasaan.
Peraturan hukum yang mula-mula disebut “Plakkat”. Masa Plakkat berlangsung sejak era pemerintahan kongsi dagang VOC menguasai Batavia. Ia mengikat bagi warga yang berada dalam tembok benteng Kota Batavia.
Menurut Ugra, Plakkat merupakan peraturan yang ditujukan untuk umum dan dipublikasikan dengan segel lak. Isinya berupa keputusan penguasa setempat dan biasanya ditempelkan di Kastil Batavia. VOC memaklumatkan peraturan dalam Plakkat berdasarkan hak oktroi yang diterima dari pemerintah Kerajaan Belanda.
“Hak penuh untuk melakukan perjanjian kepada penguasa-penguasa di seberang, menyatakan perang, membuat angkatan perang sendiri, membuat mata uang sendiri, itulah oktroi yang dibuat pada 1602 dan diperpanjang per 21 tahun. Tapi, nyatanya diperpanjang terus sampai 1799,” jelasnya.
Baca juga: Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan tetapi pengumuman (plakat) itu luput dari pengarsipan. Ketika suatu peraturan sudah diumumkan, pengumuman itu dilepas sehingga tidak diketahui lagi peraturan mana yang masih berlaku dan yang tidak berlaku. VOC akhirnya mengumpulkan pengumuman-pengumuman yang pernah ditempel kemudian disusun secara sistematis dan diumumkan di Batavia dengan nama Bataviase Statuten (Batavia Statuta) pada 1642.
Sejarawan Achmad Sunjayadi menyebut, banyak peraturan aneh yang termaktub dalam Plakkat. Salah satu contohnya pelarangan penggunaan topi bagi kaum mardijkers atau budak yang dimerdekakan. Kecuali mereka bisa berbahasa Belanda, peraturan ini bersifat mengikat dan berkekuatan hukum.
“Peraturan ini dibuat oleh salah satu gubernur jenderal. Aturan ini tentunya tidak masuk akal, tapi berkaitan dengan status karena pegawai VOC memakai topi,” ulas Achmad yang juga pengajar Sastra Belanda FIB Universitas Indonesia.
Baca juga: Perbudakan di Bawah Koloni VOC
Kendati VOC bangkrut pada 1799, tanah koloni yang sudah meliputi berbagai wilayah di Kepulauan Nusantara diambil oleh Kerajaan Belanda. Masa inilah yang disebut sebagai periode pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Produk hukum yang diterbitkan di Hindia Belanda terus berkembang mengikuti situasi zaman. Lembaga-lembaga peradilan dibentuk, baik yang mengatur hukum bagi warga Eropa, timur asing, maupun bumiputra.
Di bawah pemerintah kolonial, peraturan hukum di Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh keputusan raja. Raja dengan bantuan gubernur jenderal, menteri urusan jajahan, atau menteri lainnya setelah mendengarkan Raad van State (Dewan Negara) menerbitkan Koninklijk Besluit (KB) sebagai peraturan umum. Ia disebarkan melalui publikasi lembaran negara atau koran. Pada masa ini ditetapkan Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum), Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), Burgerlijke Rechtsvordering (Hukum Acara Perdata), dan Strafvordering (Hukum Acara Pidana). Hingga tahun 1855 banyak dibuat Besluit oleh Raja sehingga periode ini disebut pula masa Besluiten Regering (Keputusan Pemerintah).
Pergantian sistem pemerintahan Monarki Konstitusional ke Monarki Parlemen, turut mendorong peran Parlemen dalam penyusunan tatanan hukum di Hindia Belanda. Peran raja atau ratu dalam mengatur perundang-undangan di negeri koloni semakin dibatasi. Sementara itu, warga negeri Hindia Belanda sudah mulai dilibatkan dalam penyusunan undang-undang memasuki abad 20. Periode ini dikenal sebagai masa Indische Staatsregeling yang berlaku hingga runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda pada 1942. Peraturan perundang-undangan disebut Ordonantie. Ia dibentuk oleh gubernur jenderal bersama Volksraad di Batavia dan berlaku bagi wilayah Hindia Belanda.
Baca juga: Harta Peninggalan dalam Arsip Perwalian
Sehimpun dokumen yang memuat peraturan hukum tersebut tersimpan dalam khazanah arsip Wees en Boedelkamers (WBK) Serie Ordonantie, Resolutie en Besluiten koleksi ANRI. Sebanyak 2645 nomor arsip setebal 77,6 meter linear yang terentang dari tahun 1794--1937. Arsiparis Jajang Nurjaman, ketua Tim Pengolahan Arsip WBK mengatakan arsip tersebut diharapkan dapat menuntaskan dahaga masyarakat yang ingin tahu tentang dasar hukum maupun legal standing dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh WBK.
“Misalkan, dasar hukum dari dikeluarkannya keputusan mengenai adopsi atau perwalian seseorang, ataupun dasar hukum dari dikeluarkannya keputusan pengawasan terhadap eksplorasi perusahaan,” kata Jajang.
Arsip WBK sendiri jumlahnya sekitar 1200 meter linear arsip. Pengolahannya telah dimulai sejak 1995. Dan menurut Jajang, diperkirakan akan rampung pada 2024 mendatang untuk dapat diakses seluruhnya oleh masyarakat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar