Harta Peninggalan dalam Arsip Perwalian
Hukum perwalian di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Tertata di masa kolonial, namun sekarang justru terpinggirkan.
Hak perwalian anak kerap kali menjadi persoalan pelik. Kasus Gala Sky, putra pasangan selebritis Bibi Adriansyah dan Vanessa Angel, adalah satu contoh yang pernah menghebohkan publik beberapa waktu silam. Gala menjadi yatim piatu setelah orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Namun, perwaliannya berbuntut konflik antara keluarga besar ayah dan ibunya yang saling klaim hak asuh. Itu hanyalah segelintir perkara perwalian anak yang mencuat ke permukaan. Belum lagi kasus penyalahgunaan hak perwalian yang jamak terjadi di tengah masyarakat.
Sejatinya, lembaga perwalian sudah diatur sejak zaman kolonial. Ia bernama Weeskamer, yang dibentuk pada masa Gubernur Jenderal VOC Pieter de Carpentier tertanggal 1 Oktober 1624. Setelah Weeskamer, dibentuklah Boedelkamer atas resolusi Gubernur Jenderal Antonio van Diemen pada 26 Mei 1640. Pada masanya, kedua lembaga inilah yang berperan mengatur urusan perwalian anak.
“Weeskamer mengurus kepentingan anak yatim dan yatim piatu selama mereka belum akil balik, serta mengelola harta peninggalan tak terurus orang-orang Eropa. Sementara itu, Boedelkamer mengurus pewarisan golongan Cina, Mor (Islam India), dan Arab. Kini, lembaga tersebut menjadi Balai Harta Peninggalan di bawah Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU),” jelas Muhammad Ardiningrat Hidayat, kurator keperdataan Harta Peninggalan dan Kurator Negara Ditjen AHU, dalam “Ekspose Inventaris Arsip Wees- en Boedenkamers Serie Voogdijdraden, Senin (2/12/2022) di Jakarta.
Baca juga: Khazanah Arsip Kolonial yang Melimpah
Pendirian lembaga Weeskamer bertujuan untuk memecahkan persoalan penduduk koloni di Batavia. Salah satunya berkaitan dengan kelahiran-kelahiran anak di luar pernikahan resmi, buah perkawinan pria Eropa dengan perempuan pribumi. Dalam hal itu, Weeskamer melakukan pengawasan terhadap perwalian anak-anak di bawah umur, termasuk pengelolaan harta anak tersebut guna menjamin tumbuh kembangnya.
Adapun Boedelkamer beririsan dengan tradisi orang Tionghoa yang mewariskan hartanya kepada anak laki-laki. Jika keluarga tersebut tak melahirkan putra pewaris, maka sudah jadi kebiasaan pula untuk mengangkat anak laki-laki lain demi meneruskan marga mereka. Pemicu lainnya, oleh karena timbulnya masalah penipuan dan penggelapan uang di rumah duka orang Tionghoa.
Weeskamer dan Boedelkamer kemudian disatukan menjadi Wees-en Boedelkamers (WBK) yang berlangsung hingga tahun 1885. Dalam perkembangannya, Boeldelkamer sering merugi akibat kepengrusan harta warisan yang banyak terpotong utang. Akhirnya, Boedelkamer dibubarkan dan semua urusannya dialihkan kepada Weeskamer Batavia.
Baca juga: Alkisah Kertas Tua dari Kastil Batavia
Pada masa pendudukan Jepang, WBK masih menjalankan tugas dan fungsi yang sama. Hanya saja namanya berganti menjadi Zaisan Kanri Kyosu. Memasuki era Republik Indonesia, Balai Harta Peninggalan (BHP)-lah yang melaksanakan fungsi Wali Sementara dan Wali Pengawas dalam perwalian. Turunan dari tugas BHP meliputi berbagai ranah, mulai dari melakukan penyumpahan terhadap wali, menyelenggarakan pendaftaran harta kekayaaan, hingga meminta laporan keuangan dan pertanggungjawaban dari wali yang bersangkutan.
Namun, menurut Ardi, upaya BHP menjalankan perwalian dewasa ini kerap mengalami kendala. Di lapangan, BHP kerap tumpang tindih lembaga yang lain seperti misalnya, Komnas Perlindungan Anak yang juga punya orientasi yang sama. Belum lagi kalau ada penolakan dari masyarakat dengan alasan tertentu, seperti pembayaran pajak penghasilan dari harta yang diwariskan.
“Kadang kala kami disangka mau melakukan penipuan oleh pihak wali ketika hendak menginformasikan berita acara penyumpahan,” tutur Ardi. Padahal, lanjutnya, BHP melakukan pencatatan mendetil untuk mengawasi perwalian. Mulai dari akta kematian, akta wasiat, penetapan pengadilan tentang pengangkatan wali, berita acara penyumpahan wali, daftar pencatatan harta, hingga laporan penghitungan dan pertanggungjawaban wali.
Baca juga: Membaca Sejarah Bangsa dari Arsip Sukarno
Sebagai sumber sejarah, khazanah arsip perwalian WBK pun masih asing kedengarannya. Namun, arsip-arsip itu tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) setebal 1200 linear meter. Arsip WBK kaya dengan informasi yang menyangkut pengelolaan harta anak yatim dan yatim piatu. Selain itu, Arsip WBK juga berisi dokumentasi tentang salinan surat warisan, buku lelang, buku induk, jurnal modal, dan ekstrak resolusi.
Arsiparis ANRI yang mengelola Arsip WBK, Bayu Tanoyo, menyebut arsip perwalian meliputi 3008 nomor arsip. Ia terentang dari periode VOC hingga zaman Republik Indonesia sampai tahun 1954. Menurut rencana, arsip ini sudah bisa diakses oleh pengguna arsip pada Januari 2023 mendatang.
“Arsip perwalian ini bertujuan untuk membantu dalam mengungkap sejarah perwalian sebagai sebuah entitas dan penyatuan dari berbagai kepingan puzzle sejarah, baik untuk perwalian maupun genealogi,” ujar Bayu. Arsip ini juga diharapkan mampu menyuguhkan informasi sejarah yang autentik sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar