Prasasti Berisi Kutukan
Dua prasasti penting terkait sejarah Nusantara dibawa Inggris. Sampai sekarang belum dikembalikan.
SELAIN dijajah Portugis, Belanda, Prancis, dan Jepang, Indonesia juga pernah dijajah Inggris. Ada anggapan bangsa yang dijajah Inggris akan bernasib baik. Benarkah?
Sejarawan asal Inggris, Peter Carey menolak anggapan tersebut. Selama lima tahun menjajah Indonesia, Inggris banyak membawa kerugian.
“Banyak yang katakan mungkin jika Indonesia dijajah oleh Inggris akan lebih baik, mereka banyak berkaca pada Malaysia dan Singapura. Tapi semua itu bohong,” ujarnya dalam seminar “Objects, Museums, Histories Between the Netherlands and Indonesia: the Case of Diponegoro,” di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (18/5).
Menurut Peter Carey, ketika menginjakan kaki di Jawa, Inggris membuat kekacauan. Terlebih mereka adalah pencuri aset Indonesia nomor wahid. Dia menyoroti dua benda cagar budaya penting milik Indonesia yang masih berada di museum luar negeri. Prasasti Pucangan yang dikenal Calcutta Stone berada di Museum India dan Prasasti Sangguran atau dikenal dengan Minto Stone.
Prasasti Pucangan berasal dari tahun 1041 M. Prasasti ini memuat sejarah awal pemerintahan Raja Airlangga, pendiri Kerajaan Kahuripan. Prasasti ini ditemukan pada masa Sir Stamford Raffles menjadi gubernur saat pemerintahan kolonial Inggris di Batavia. Dia mengirimkannya kepada Gubernur Jendral Lord Minto di Kalkuta, India.
Sementara itu, Prasasti Sangguran yang berasal dari tahun 982 M ditemukan di daerah Malang. Prasasti ini dianggap penting karena menyebut raja Medang yang berpusat di Jawa Tengah, sebagai penguasa Malang. Kolonel Colin Mackenzie menghadiahkan prasasti ini kepada Raffles, yang oleh Raffles kemudian diserahkan kepada Lord Minto pada 1813.
“Lord Minto berharap prasasti ini suatu saat akan bercerita kisah dari timur tentang kita,” tutur Peter Carey.
Selama puluhan tahun, Prasasti Sangguran disimpan oleh pewaris keluarga Lord Minto di Skotlandia. Sudah berbagai cara dilakukan demi membawa pulang prasasti itu. Proses negosiasi dilakukan pemerintah Indonesia sejak 2004. Namun, hingga kini prasasti itu belum juga berhasil dibawa pulang ke Indonesia. Sudah lebih dari 200 tahun prasasti itu masih berdiri di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto dalam keadaan tertutup lumut dan lapuk.
Padahal, kata Peter Carey, prasasti itu mengandung kutukan yang mengerikan. Prasasti yang bersisi penetapan Desa Sangguran sebagai sima atau tanah perdikan itu dilarang untuk dipindahkan dari tempatnya semula. Jika itu dilakukan kutukan akan menghujani pelaku.
Nyatanya, mereka yang terlibat dalam pemindahan prasasti itu pun ketiban sial. Lord Minto sendiri, setelah menerima batu itu, dicopot dari jabatannya sebagai gubernur jenderal tanpa alasan jelas. Dia pulang ke Inggris dalam keadaan sakit dan meninggal dalam perjalanan menuju Skotlandia.
Hal serupa terjadi pada Raffles. Dia ditarik pulang ke Inggris. Pada 1818 kembali ke India dan kembali dipulangkan pada 1823. Setelahnya dia pun meninggal pada 1826.
Ranggalawe, Bupati Malang juga mengalami nasib tak lebih baik. Makam bupati ini tak pernah diketahui. Padahal dia telah memerintah sejak tahun 1770-1820. Seolah ingatan lokal atas sang bupati telah dihapus.
Sementara pengembalian dua prasasti itu masih belum mencapai kejelasan, benda yang disimpan oleh keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jean Chretien Baud telah berhasil dibawa pulang.
Setelah 180 tahun menyimpan pusaka milik Pangeran Diponegoro, pada Februari lalu tongkat pusaka milik sang pangeran dikembalikan. Kini benda itu disimpan di Museum Nasional Jakarta.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar