Petualangan Nawawi
Sebelum ikut PRRI dia pejabat penting di Palembang. Waktu ikut PRRI dia serba kekurangan meski bertahan lama.
Pendudukan Jepang memungkinkan seorang bumiputra mengambil langkah lebih leluasa untuk kehidupannya di masa itu dan masa depan. Hal yang tak bisa dilakukan setiap orang di masa kolonial Belanda itulah yang dialami pelajar di Bengkulu bernama Nawawi Manaf. Dia aktif dalam kegiatan paramiliter yang banyak diadakan penguasa pendudukan seiring kemunduran dalam Perang Asia Timur Raya alias Perang Pasifik.
Menurut Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatra, nama Nawawi termasuk dalam daftar yang direkrut menjadi calon perwira tentara sukarela (gyugun) dari Keresidenan Bengkulu. Para calon perwira dari Sumatra bagian selatan itu dilatih di Pagaralam. Dari 300 siswa calon perwira itu, 55 orang berhasil menjadi letnan dua atau letnan muda. Para lulusan itu kemudian kembali ke keresidenan masing-masing.
Baca juga: Kesaksian Seorang Heiho di Balikpapan
Waktu Jepang kalah, para bekas siswa Pagaralam itu bergabung dengan Republik Indonesia (RI). Nawawi termasuk yang menjadi tentara RI ketika melawan tentara Belanda di sekitar Bengkulu. Selama revolusi kemerdekaan (1945-1949) itu, Nawawi berpangkat kapten.
Di era 1950-an, pangkat Nawawi naik menjadi mayor. Jabatannya adalah komandan Komando MIliter Kota Besar (KMKB) Palembang. Dia dianggap dekat dengan Panglima Tentara & Teritorium III Sriwijaya Letnan Kolonel Barlian. Mereka sama-sama pernah sekolah di Bengkulu.
Jelang 29 April 1958, Nawawi sangat sibuk di luar kantornya. Kata Madjalah Angkatan Darat Nomor 12 tanggal 1 Januari 1959, Mayor Nawawi mengurus soal dagang, front anti komunis dan mengurus bantuan untuk Dewan Banteng di Sumatra Barat. Sewaktu eks Kolonel Zulkifli Lubis berada di Palembang sekitar Januari 1958, Mayor Nawawi pula yang memberi pondokan kepada Lubis.
Dewan Banteng yang dimaksud adalah organisasi daerah yang dibentuk panglima militer Sumatra Tengah Letkol A. Huseun –dan didukung politisi-politisi lokal daerah setempat– untuk membangun dan mensejahterakan daerahnya sekaligus mengoreksi pemerintah pusat yang dianggap tak adil dalam pembangunan. Dewan Banteng menginspirasi beberapa daerah lain di Sumatra membentuk dewan serupa. Satu di antaranya ialah Sumatra Selatan dengan Dewan Garuda.
Baca juga: Daerah Bergolak, Panglima Bergerak
“Perkembangan di Sumatra Selatan berawal dari Kongres Adat yang diselenggarakan di Palembang pada bulan Oktober 1956,” tulis RZ Leirissa dalam PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis.
Kongres Adat se-Sumatra Selatan itu pun mengajukan tuntutan kepada pemerintah pusat yang hampir sama dengan tuntutan Dewan Banteng. Antara lain pemberian otonomi luas kepada daerah di samping pembagian keuangan yang adil antara pusat-daerah.
“Situasi konflik meningkat setelah kejadian-kejadian di Padang maupun di Medan. Menyusul tindakan Simbolon di Medan pada 22 Desember, pada 24 Desember, Letnan Kolonel Barlian Panglima TT-II (Sriwijaya), juga menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Akibatnya, pada 27 Desember, Gubernur Winarno pun mengajukan permohonan berhenti pada Menteri Dalam Negeri,” sambung Leirissa.
Baca juga: Posisi Barlian dalam PRRI
Kisruh di Sumatra Selatan itu akhirnya melahirkan kembali kongres adat pada 15-17 Januari 1957. Hasilnya adalah keluarnya Piagam Perjuangan Sumatra Selatan dan Dewan Garuda yang mirip dengan yang dihasilkan Dewan Banteng.
Namun, gerak-laju Dewan Garuda tak seperti Dewan Banteng yang satu suara. Anggota-anggota Dewan Garuda terdiri dari dua faksi yang berbeda pandangan. Faksi pertama, terdiri dari Letkol Barlian beberapa pejabat TT-II seperti Mayor Ryacudu, tetap berhubungan baik dengan MBAD dan pusat; faksi kedua, terdiri dari Mayor Nawawi dan eks Kolonel Nuh serta para kepala adat, karib dengan Dewan Banteng dan cenderung anti-pusat.
“Tampaknya sudah sejak awal ada kertakan dalam tubuh Dewan Garuda. Secara politis, wilayah ini sesungguhnya dikuasai PNI. Selain itu, potensi masyarakat yang dominan adlaah para pegawai negeri. Di pihak lain, ada kepala-kepala adat yang juga menjadi kepala-kepala marga. Demikian kuatnya organisasi primordial itu, kaum kepala adat inilah yang mensponsori langkah-langkah ke arah perubahan seperti yang tampak dalam Kongres Adat Sumatra Selatan tersebut,” tulis Leirissa.
Lantaran adanya ketidaksatusuaraan itu, Mayor Nawawi pun bergerak sendiri meninggalkan Letkol Barlian panglimanya. Nawawi “memalingkan wajahnya” ke Letkol. A. Huseun di Dewan Banteng.
Baca juga: Sukarno dan Trauma PRRI
Pada hari-hari itu, Mayor Nawawi bersiap untuk bergerak bersama Dewan Banteng di Sumatra Tengah, yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau sekarang. Di daerah Dewan Banteng itu, Letnan Kolonel Ahmad Husein sudah bersiap. Dewan Banteng dan sekutunya lalu melahirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
“Saya waktu itu diperintahkan oleh Nawawi berangkat bersama dia. Saya mengambil pakaian dan ketika ketika saya datang di rumah Nawawi saya lihat kesibukan anak-anak buahnya mengangkat senjata dari gudang ke mobil,” aku Letnan Dua Rasjidin, anak buah Nawawi, seperti dimuat Madjalah Angkatan Darat tadi.
Mereka yang berangkat ke daerah gerakan pada 29 April 1958 adalah Mayor Nawawi, Letnan Rasjidin dan lima pengawal pribadi Nawawi. Hutan di sekitar Bengkulu termasuk rute mereka. Dalam perjalanan dari Derati ke Ujungkarang, rombongan Mayor Nawawi merekrut para pemuda untuk dijadikan pasukan. Menurut Madjalah Angkatan Darat, Mayor Nawawi memberi uang Rp.300 bagi siapa saja yang mau menjadi pasukannya.
Sementara, Rasjidin mengaku ingin minta pulang. Tapi itu urung dilakukannya sebab Nawawi mengancam jika kembali ke Palembang, anak buah Nawawi akan menggoroknya.
“Tanggal 15 Mei 1958 saya diperintahkan Nawawi berangkat ke Sumatra Tengah bersama dua orang kawan lagi guna mengantar surat kepada Perdana Menteri PRRI Sjafrudin Prawiranegara. Kami mempergunakan jeep melalui hutan belukar menuju Sungai Penuh,” aku Rasjidin.
Surat itu berisikan permintaan Mayor Nawawi kepada petinggi PRRI untuk memberinya senjata untuk 1 batalyon. Tapi bantuan senjata dari PRRI pusat, yang merupakan bantuan dari CIA Amerika, itu tak pernah datang.
Baca juga: CIA Kecewa pada PRRI
Nawawi sendiri kemudian terlibat skandal. Kisah miring tentangnya disebar Madjalah Angkatan Darat, yang menyebut Mayor Nawawi ketika berada di Sungai Penuh, Jambi, terlibat affair dengan seorang gadis bernama Halimah. Gadis terpelajar itu sering diajak Nawawi main badminton. Konon ada tindak asusila yang dilakukan sang mayor.
Anak buah Nawawi juga diberitakan sering makan tanpa bayar hingga utang mereka menumpuk di warung. Sahabat Nawawi, Zakaria Kamidan, disebut-sebut suka menzinahi perempuan yang bahkan sedang bersuami. Alhasil reputasi pasukan pemberontak dari Sumatra bagian selatan ini pun rusak di Sungai Penuh.
Pasukan Nawawi kemudian bergerak ke Bangko dan Merangin. Ketika berada di daerah Jambi itu, sebagian pasukan Nawawi memisahkan diri. Mereka kemudian berdamai dengan tentara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), yang kemudian menampung mereka dalam batalyon B.
Pengikut Nawawi pun tinggal 3 peleton pemuda non-tentara dari Rejanglebong. Mayor Nawawi lalu bergerilya di hutan-hutan dan baru sekitar 1961 berhenti melawan pemerintah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar