Perempuan Ditekan, Perempuan Melawan
Tekanan penguasa Orba terhadap aktivisme gerakan perempuan tak benar-benar berhasil. Beberapa perempuan memilih melawan.
NYONYA Margono gondok. Suatu hari di tahun 1967 seorang asisten sosial-politik (sospol) Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) memintanya mengubah organisasi istri pimpinan Nyonya Margono menjadi seperti organisasi istri di angkatan lain: struktur organisasi mengikuti jabatan suami.
Nyonya Margono, yang juga aktif di Perwari, menolak. Dia bersikeras organisasi istri angkatan bersenjata yang dipimpinnya harus tetap otonom, punya hak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Dia tidak ikhlas kalau organisasinya harus tunduk pada aturan Rezim Soeharto.
“Saya dipilih oleh anggota. Saya harus bertanggungjawab pada mereka dan menunjukkan bahwa para anggota punya hak asasi dasar untuk memilih pemimpin,” kata Nyonya Margono, dikutip Julia Suryakusumma dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru.
Keteguhan Nyonya Margono membuatnya sampai mesti enam kali bolak-balik ke kantor Hankam. Tapi apa daya, asisten sospol Hankam tadi mengatakan kebijakan itu tidak bisa ditolak. Semua orang tak punya pilihan lain.
Sejak itu, organisasi istri pimpinan Nyonya Margono kehilangan otonominya. Pengalaman Nyonya Margono merupakan akibat langsung dari agenda politik Orde Baru (Orba) dalam membatasi ruang gerak perempuan.
“Di tingkat kabupaten ke atas itu semua harus masuk organisasi korporatif, maksudnya supaya dikuasai oleh negara. Hubungan negara dan masyarakat awal Orde Baru itu dibikin kayak piramida, sangat dikuasai negara,” kata Julia Suryakusuma via telepon kepada Historia.
Pasca- G30S, gerakan perempuan mengalami kemunduran. Soeharto berupaya secara sistematis mematikan gerakan perempuan dengan mengkampanyekan politik perempuan sebagai sesuatu yang kotor, menjauhkan perempuan dari politik, dan mengembalikan perempuan ke dapur.
Upaya itu mula-mula dilakukan dengan meniadakan anggota PKI, Gerwani, dan semua yang dianggap terkait dengan G30S. Sambil terus mencitrakan perempuan anggota Gerwani sebagai perempuan cantik namun kejam dan amoral, terutama lewat Harian Angkatan Bersendjata, pemerintah Orba terus membungkam gerakan perempuan di luar Gerwani. Perempuan yang memiliki suara atau pandangan politik dianggap perempuan banal seperti Gerwani.
Berkelindan dengan trauma pembantaian masal 1965 yang membuat orang-orang takut, kampanye Orba itu berhasil menyurutkan aktivisme perempuan.
Namun, Orba membiarkan adanya representasi gerakan perempuan sebatas parsipatoris-pasif agar tak militan seperti masa sebelumnya. Untuk mewadahinya, pemerintah membuat beragam organisasi perempuan. Ninuk Murniarti membagi periode gerakan perempuan era Orba menjadi dua gelombang: Pertama, 1966-1980, di mana perempuan masuk ke dalam PKK dan Dharma Wanita dengan tujuan “berpartisipasi dalam pembangunan”. Kedua, 1980-1998, gerakan perempuan terbagi ke dalam dua kelompok besar. Mereka yang ingin ikut menyukseskan program pemerintah masuk ke dalam PKK, sementara yang lain bergerak ke dalam organisasi-organisasi yang menjunjung keadilan gender.
Pemerintah berhasil menggiring perempuan masuk ke dalam organisasi seperti PKK, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi yang disebut sukarela tapi diwajibkan. Sementara, organisasi-organisasi perempuan yang ada diharuskan masuk Kowani.
“Gerakan perempuan di tingkat desa ke atas sangat terbatas karena semua masuk Kowani. Sementara, Kowani dikuasai Dharma Wanita dengan ideologi Pancadharma Wanita, perempuan pendamping suami. Di negara fasis seperti Jerman ada juga ideologi anak, keluarga, gereja. Mirip dengan Pancadharma Wanita,” kata Julia.
Upaya menguasai organisasi perempuan secara terstruktur itu mirip model organisasi perempuan masa Jepang, Fujinkai. Soeharto memunculkan apa yang disebut Julia sebagai “ibuisme negara” untuk menekan gerakan perempuan. Perempuan baik yang dicitrakan penguasa ialah perempuan patuh, diam, dan perawat keluarga.
Nasib gerakan perempuan pun berada di tangan penguasa. Kampanye “Perempuan dan Pembangunan” yang dilancarkan pemerintah Soeharto, tulis Nunuk Murniarti dalam Getar Gender, mengaburkan perjuangan gerakan perempuan.
Namun, perempuan tak diam saja. Kungkungan pemerintahan represif mendorong beberapa perempuan membuat organisasi perempuan di luar Kowani. Desakan untuk melakukan gerakan perempuan alternatif muncul ketika efek buruk pembangunan mulai terasa merugikan perempuan. Tahun 1980-an, organisasi perempuan non-pemerintah bermunculan dan bergerak di bidang advokasi, litigasi, dan informasi mengenai masalah keperempuanan.
“Gerakan perempuan itu tidak pernah mati dan sangat hadir, di luar bayang-bayang Kowani yang sebenarnya adalah alat negara. Meski ditekan, gerakan perempuan tetap ada melalui LSM, yayasan, atau ormas. Tapi harus kucing-kucingan, harus lihai caranya. Gerakan perempuan harus lebih lentur untuk tetap tumbuh di tengah pemerintah yang represif. Di tingkat akar padi, banyak yang bergerak sendiri, nggak minta permisi sama LKMD atau PKK. Dulu segala macam kan harus harus minta izin. Jadi banyak gerakan yang setengah ilegal ya,” kata Julia sambil terkekeh.
Menurut Ninuk, kemunculan kembali gerakan perempuan independen dipelopori Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), yang berbasis di Yogyakarta, pada 1982. Kalyanamitra dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita yang berbasis di Jakarta mengikuti pada 1985 dan 1986.
Kemunculan organisasi perempuan di awal 1980-an ini menginspirasi perempuan lain. Pada 1990-an, gelombang kemunculan gerakan perempuan meningkat. Prisma tahun 1996 memuat beberapa nama organisasi perempuan baru seperti Forum Diskusi Perempuan Yogya (FDPY), Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), dan Lembaga Bantuan Hukum APIK.
Usaha pemerintah Orde Baru untuk menundukkan perempuan dan organisasi perempuan dengan begitu tak sepenuhnya berhasil. Para perempuan berserikat, membangun kembali organisasi, dan bersama organisasi-organisasi lain menentang pemerintahan represif Suharto.
“Sesuatu yang ditekan pasti ada kekuatan resistensinya, begitu juga suara perempuan,” kata Julia.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar